biem.co — Ya, Banten tak hanya Kesultanan yang sudah runtuh puluhan tahun lalu itu. Banten juga punya Cisungsang dan Baduy yang turut membangun identitas manusia Banten. Dua masyarakat adat ini terus bertahan, dengan kearifan lokalnya, seraya menunjukkan kelenturannya untuk tetap berdaya di tengah perubahan zaman.
Adat Cisungsang
Masyarakat adat Cisungsang, Lebak cukup fenomenal, mereka mempertahankan adat kesundaan dengan cukup baik, beragama Islam, dan adaptif terhadap tuntutan zaman. Saat Orde Baru mewajibkan semua masyarakat menanam padi IR, mereka ikut membuka sawah dan menanam padi itu sebagai pendamping padi huma. SDM Cisungsang tak mengasingkan diri dari dunia modern, mereka mengenyam bangku sekolah modern hingga dapat mengakses peluang alam demokrasi, misalnya beberapa SDM Cisungsang ada yang menjadi wakil rakyat di Banten. Cisungsang memberikan idenitas Banten sebagai yang bisa bertahan sambil terus beradaptasi, seperti gerak silat “papat kalima pancer”—sanggup bergerak lincah ke arah empat penjuru angin, sambil mempertahankan adat istiadat.
Diskusi tentang Cisungsang berlangsung menarik pada 22 Juni 2020 berdasarkan disertasi Dr Abdul Malik (dosen Universitas Serang Raya Banten). Pada diskusi itu hadir pula –via Zoom– perwakilan Cisungsang, Henriana Hatra, yang melengkapi gambaran Banten versi Cisungsang. Henriana diam di kaki Gunung Halimun, Kabupaten Lebak, namun dengan fasih dapat mengakses Zoom seraya mengemukakan sejumlah prinsip hidup masyarakatnya. “Prinsip kami tak hanya harmoni dengan alam, juga dengan tata hukum kehidupan manusia: Mokaha, Syara’, Negara,” ujar Henriana. Maka Cisungsang tak hanya lestari alam, namun taat adatnya, damai dalam berisalam, dan ngigelan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demi tetap bisa bergerak bersama arus zaman ini, sejumlah ritual dijadikan media komunikasi politik. Seren Taun sebagai upacara penghormatan pada Nyi Pohaci, kata Abdul Malik, bukan sekadar ritual adat, namun ruang negosiasi masyarakat adat dengan negara, juga dengan masyarakat luas. Ada komunikasi politik di sana yang menarik negara untuk ikut serta memelihara eksistensi masyarakat adat. Upacara selama 7 hari 7 malam itu menyediakan momen-momen profan agar bisa dinikmati oleh anak-anak muda, sambil tetap mempertahankan momen sakral.
“Jangan sampai terjadi poho mana wetan, poho mana kidul, makna lainnya sebagai manusia ada yang dilahirkan duluan dan ada yang belakangan, hal ini melahirkan sifat menghormati yang lebih tua dan menghargai yang lebih muda,” ujar Abah Usep, Ketua Adat Masyarakat Cisungsang pada Seren Taun 2018.
Adat Baduy
Baduy berbeda dengan Cisungsang, mereka mempertahankan adat istiadat dengan ketat. Namun Baduy menyediakan panamping, kampung adat yang menjadi ruang liminal antara dunia luar dan dalam, dunia modern dan tradisi. “Masyarakat panamping ini jadi laboratorium masyarakat Baduy mengenai perubahan sosial yang sedang terjadi yang akan menentukan produksi hukum adat di masa depan,” ujar Aliyth Prakarsa (Dosen Untirta Banten) pada diskusi tentang “Di Lumbung Kita Menabung”, 29 Juni 2020, juga via Zoom. Urang Tangtu (sebutan warga Baduy Dalam) menyadari perubahan tak bisa dicegah, maka yang tak tahan ada dalam adat dibiarkan tanpa dimusuhi atau dibully, bahkan diberi ruang berdampingan dan menjadi panamping.
Kata Alyth, pada masyarakat Baduy, orang modern mestinya malu. Mereka telah memiliki hukum dan budaya hukumnya. Tak ada hukum tertulis di sana, karena telah tertulis dalam hati. Tapi semua orang mematuhi aturan adat. Adat menyatakan tanah tak boleh dijual, mereka tak menjual. Padi tak boleh dijual, mereka taat. Sementara orang modern memiliki ratusan produk hukum tertulis dengan tingkat kesadaran hukum yang rendah. Jaro Suadi bilang, mengutip cerita Aliyth, jika hukum mengandalkan tulisan ia akan hangus terbakar dan basah terkena air, namun hukum yang ada di hati akan terus bertahan sampai kapanpun.
Baduy berbeda dengan Cisungsang, tak mau menerima perubahan di jantung masyarakatnya. Perubahan bisa dilakukan di Panamping. Konon pemerintah pernah mendorong agar mereka menggunakan pupuk kimia dan obat-obatan. Juga agar bertani di atas sawah. Agar bisa panen setahun dua kali. “Tapi adat melarang,” ujar Urang Tangtu, “lagipula nanti kami bisa kelelahan bila sepanjang tahun bekerja”.
Betapa arifnya cara hidup mereka, sadar batas kekuatan diri dalam harmoni alam. Cisungsang walaupun membuka sawah, tetap hanya menanam satu kali dalam satu tahun, “Karena Seren Taun tak mungkin dua kali dalam setahun,” ujar Henri.
Ketahanan Pangan
Ketaatan pada hukum adat ini membuat masyarakat adat memiliki ketahanan pangan. Mereka tak pernah kelaparan, karena hasil panen mereka diperuntukkan untuk 4 hal: pangan, adat, hajat, dan darurat. Setiap rumah punya simpanan makanan pokok, juga persiapan untuk kebutuhan adat, kenduri, dan cadangan saat darurat. Lagi-lagi masyarakat modern harus mengaku kalah, gaji bulanan orang-orang kota tak pernah dikelola untuk 4 kebutuhan itu. Jangankan menyimpan gaji untuk adat dan darurat, tengah bulan saja gaji orang kota sudah menguap untuk bayar cicilan.
Dua kali diskusi Serial Banten Girang ini terus menyadarkan apa makna menjadi Manusia Banten. Tentu tak hanya kesultanan, ada juga unsur lain yang terus-menerus membentuk identitas manusia Banten. Sesekali boleh jadi masyarakat Banten mengenakan pakaian seperti orang-orang kampung adat, hitam dan putih. Sesekali boleh jadi mengenakan merah seperti China Benteng di Tangerang yang juga Banten, atau Arab seperti pakaian para sultan. Identitas terus dibentuk bersamaan dengan penemuan kesadaran untuk terus ngigelan zaman.
Minggu depan, ya diskusi ini terus berlangsung setiap minggu sekali, akan ada diskusi lagi di Laboratorium Banteng Girang, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (DPK) Banten, dan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Banten. Sebagai penutup, nikmatilah sisindiran kampung Adat Cisungsang pada masa orde baru ini:
Patromak mah nu geulis, lampu patromak
Patromak mah si Bapa peupeus kacana
Ngahormat mah geuningan abdi ngahormat
Ngahormat ti Abdi kasadayana, geuningan kasadayana….
Sanes hideung mah nu gede ku bajuna
Hideung soteh si Nyai ku calanana
Sanes nineung si Bapa mah ku lucuna
Nineung soteh ka Abdi sok ku belana, geuningan sok kubelana….
Tong ka leuweung nu geulis sok seuur sireum
Ka cai mah si Nyai geura mandikeun
Tong ka deungeun nu geulis sok Abdi nineung
Pasini jeung Abdi geura jadikeun,
Silanglai…. Sidulaela…
*Diskusi Mingguan Lab. Banten Girang, DPK Banten dan IPI Banten
Bambang Q Anees, Dosen Filsafat UIN SGD Bandung.
Ijin mengutip ya artikelnya