KOTA SERANG, biem.co – Seren Taun (upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan setiap tahun) di Kasepuhan Adat Banten Kidul ternyata tidak hanya peristiwa kebudayaan semata lho sobat biem. Melainkan kegiatan tersebut menjadi wahana komunikasi politik masyarakat adat.
Nah upaya lobi-lobi tersebut dibangun untuk sebuah upaya penegakan eksistensial pengakuan dari negara, dan pemerintah daerah atas keberadaan masyarakat adat, serta pengakuan atas hutan adat Kasepuhan Banten Kidul.
Pernyataan di atas mengemuka dalam Seri Diskusi Girang mingguan yang digelar oleh Laboratorium Banten Girang dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Banten saat membahas buku “Berjuang Menegakan Eksistensi (Komunikasi politik masyarakat Kasepuhan Banten Kidul)” hasil disertasi dosen Universitas Serang Raya (Unsera) Abdul Malik, Senin (22/06/2020).
“Sebab Seren Taun di sisi lain menjadi wahana yang bisa dikatakan juga sebagai wahana lobi-lobi dan negosiasi kepada pejabat publik di Lebak, serta kepada setiap calon anggota eksekutif dan legislatif yang memiliki kepentingan suara pada masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul. Dalam artian Seren Taun bukan hanya memiliki makna budaya reflektif atau rekreatif, namun lebih dari itu Seren Taun merupakan media komunikasi menegakan eksistensi,” kata Malik sambil mengingat-ingat kembali saat melakukan penelitian sembilan tahun lalu di Kasepuhan Adat Cisungsang.
Tukar guling kepentingan antara masyarakat adat kasepuhan dan pejabat publik serta calon anggota legislatif dan eksekutif, memilik capaian kepentingannya masing-masing. Pada masyarakat adat, mereka memiliki kepentingan agar Pemkab Lebak membuat Perda tentang perlindungan, penghormatan, dan pengakuan, hukum adat.
“Sebab muncul permasalahan, wilayah kasepuhan yang terancam tersingkir dari tempat yang ditinggali sekian ratus tahun akibat ekspansi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Serta terancam hilangnya identitas adat sebagai pelestari lingkungan dan peladang. di pihak calon anggota legislatif dan eksekutif, kepentingannya adalah basis suara untuk kemenangan salah satu calon pada saat pemilu,” ujarnya.
Menurut Wakil Rektor I Universitas Serang Raya ini, strategi kebudayaan seperti Seren Taun yang kemudian menjadi strategi politik tidak dapat dihindari, sebab ada capaian-capaian yang harus terpenuhi di antara kedua pihak.
Perwakilan Kasepuhan Banten Kidul, Hendriana menambahkan, bahwa ada beberapa sesi ritual pada saat Seren Taun yang memang tidak diikuti oleh orang-orang di luar kasepuhan.
“Rangkaian acara Seren Taun akan selalu dilakukan pada hari Senin. Dan acara keramaian yang mengundang banyak orang akan dilaksanakan pada hari Minggu. Dan biasanya Seren Taun akan dihadiri oleh para calon eksekutif dan legislatif yang memiliki kepentingan suara,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, Seren Taun merupakan pertanda selesainya siklus bercocok tanam, dan berlanjut pada acara syukuran. Dalam artian Seren Taun jjuga dapat dikatakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada yang maha esa pada panen tahun ini. Dengan demikian, makna lain Seren Taun adalah usaha menegakan eksistensial. Dalam buku Abdul Malik, kata Hendriana, Seren Taun hanya sebagai sub bagian dalam pengkajian.
“Sebab komunikasi politik yang dilakukan masyarakat kasepuhan tidak hanya dilakukan pada saat Seren Taun saja. Namun juga berlangsung dalam berbagai momentum dan medium. Sisi positif pada cakupan buku ini adalah terbangunnya pemahaman secara komprehensif tentang apa, siapa, dan bagaimana masyarakat Kasepuhan Banten Kidul dalam menegakkan eksistensinya,” tandasnya. (*/red)