Opini

Anis Nur Nadhiroh: Covid-19 bagi Indonesia dalam Kacamata Medis, Ekonomi, dan Hukum

biem.co — Sudah beberapa kali wabah muncul di dunia ini, di antaranya Sars, Mers dan Covid-19. Menariknya kemunculan semua wabah tersebut berawal dari negara tirai bambu. Pada dasarnya kesemuanya virus tersebut tidaklah jauh berbeda satu dengan yang lainnya, terlebih di Wuhan telah diketahui sendiri terdapat institusi virus yang cukup besar di sana. Sekali pun demikian, yang menjadi fokus pembahasan kali ini adalah mengenai penyebaran Covid-19 dipandang dari kacamata medis, ekonomi, dan hukum.

Covid-19 telah dinyatakan sebagai wabah pandemi sejak Maret 2020 silam. Penyematan identitas virus ini dikarenakan pada sistem penyebaran dan keamanannya telah memberi dampak pada bidang sosial dan ekonomi. Sehingga hukum sebagai regulasi yang mengatur hadirnya Covid-19 tersebut harus mencari titik temu keadilan dan keamanan bersama.

Covid-19 dari Pandangan Medis

Perjalanan Covid-19 sejauh ini, 40 persen adalah tanpa gejala atau gejalanya ringan. Sedangkan menurut data statistik medis, perjalanan virus yang sampai tahap kritis hanya mencapai 3 sampai 5 persen dari total pasien yang terpapar Covid-19. Sekali pun begitu angka ini sudah dianggap cukup berbahaya. Masuk kategori berbahaya karena Covid-19 ini yang diserang bukan hanya satu dua orang saja, namun masyarakat banyak kemudian menjadi terpapar. Bahayanya jika Covid-19 menyerang secara bersamaan, namun rumah sakit yang diamati untuk menampung pasien yang terpapar ini tidak mampu untuk melaksanakan atau menampungnya.

Melihat kondisi tersebut, Covid-19 pada dasarnya adalah penyakit virus yang menyebar pada masyarakat, karena obat-obat yang tersedia sejauh ini adalah obat-obat yang ada pada masyarakat. Sedangkan keberadaan tenaga medis adalah sifatnya untuk mem-back up saja. Pada dasarnya, jika kita menjumpai banyak tenaga medis yang terpapar Covid-19, sesungguhnya pada lingkup bagian medis. Yang paling banyak tetap ada pada masyarakat. Covid-19 ini adalah masalah komunitas atau lingkungan. Jadi di sini bukan karena satu orang menularkan ke orang lain, tapi satu orang dapat menularkan ke banyak orang. Ini yang menjadi masalah. Jadi masalahnya bukan hanya pada kesehatan saja, tapi bagaimana menghindari dari pergerakan manusia.

Jadi, di Indonesia ini jika penguasa ingin mengerti betul atau menurut betul untuk menerapkan personal distancing itu dilakukan dengan betuul-betul sebenarnya kita mampu mengendalikan dengan waktu yang relatif singkat. Tapi, ya, karena dampaknya sudah meluas yakni dampak agama, kesehatan dan dampak ekonomi sehingga membutuhkan pemasukan dari banyak ahli.

Jika melihat Indonesia ini pengendalikan dilakukan tapi tidak begitu ketat. Jadi, pergerakan manusia ini masih dapat dimungkinkan dan ini masih sangat berbahaya. Nah, solusinya itu ya kita melakukan pemutusan penularan. Jika masalah penyakit seperti jantung itu jelas pengobatannya. Kalau Covid-19 ini ya obatnya di masyarakat. Bukan di rumah sakit, kalau di rumah sakit itu sebenarnya sudah terlambat. Intinya bahwa penyakit ini kuncinya ada pada masyarakat.

Covid-19 dari Pandangan Ekonomi

Hadirnya Covid-19 ini juga memberi dampak pada ekonomi, yang ditandai dengan adanya rendahnya tingkat konsumsi masyarakat. Kemudian membuat fiskal mandiri, seperti pembuatan grup sumbangan. Seperti ta’mir masjid membuat sumbangan, ranting-ranting dan ormas. Demikian juga pada sektor konstruksi juga sudah tidak ada lagi pembangunan.

Demikian juga dalam hal investasi juga mengalami penurunan. Amerika juga parah sampai minus jumlah pertumbuhan ekonominya. Cina masih positif sekitar 1 sampai 2. Demikian juga Indonesia sama dengan Cina. Semua hal ini tentu saja karena adanya pengurangan kerja. Pendapatan menurun, jika pendapatan menurun maka konsumsi juga menurun. Kalau konsumsi menurun, maka produksi pun menurun. Jadi ketiga hal adalah equivalent.

Selanjutnya dalam hal politik ekonomi. Maksudnya di sini adanya rekayasa ekonomi, bukan masalah berpikir negatif tapi masalah keenomian. Misalnya, Jakarta mengawali untuk mengusulkan lockdown. Tapi tidak langsung disetujui. Diikuti Jawa Barat, kemudian diikuti Kendal. Berhubung lockdown adalah kebijakan pusat, makanya untuk daerah-daerah tidak berani membicarakannya. Setelah berbagai diskusi dilakukan, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kebijakan tersebut diambil berdasarkan perhitungan bahwa anggaran tidak cukup untuk memberi biaya lockdown. Lockdown itu artinya di rumah tanpa kerja. Nah, di sini ada politiknya, seperti hutang Indonesia terhadap IMF sebesar 400 Trlliun IMF sebenarnya sejak Januari sebelum ada isu lockdown di Indonesia. Padahal sejak reformasi, IMF sudah disapih dari Indonesia, tapi sekarang muncul kembali.

Nah, kemudian muncul isu kenapa tidak menggunakan dana dari lembaga lain misal, itu ditahan dulu dan ini yang dinamakan politik ekonomi. Politik ekonomi itu pilihan atas kebijakan yang harus dilakukan.  Sejuah ini pabrik Sampoerna, Kretek, Parrel, Jarum dan Pabrik Tas di Jepara milik Korea masih banyak karyawan yang masih padat dan belum ada teguran.

Keresahan ada dua macam, yakni pertama tidak diterapkan lockdown sehingga memperpanjang masa inkubasi. Kedua, jika diterapkan lockdown, saya akan makan apa? Sehingga terdapat dua pernyataan yang menyatakan apakah saya mati karena kelaparan atau saya mati karena corona. Atau mending mati karena kena virus corona daripada mati karena kelaparan? Kalau mati karena kelaparan itu memalukan, sedang mati kena virus corona diantar oleh kepolisian.

Dalam hal anggaran, jika produksi mandeg itu dapat menyebabkan chaos. Nah, kenapa kemarin tidak menggunakan UU Kesehatan, namun malah menggunakan UU Sipil? Saya pribadi melihat alasan menggunakan UU Darurat Sipil karena produksi yang mandeg tapi masyarakat masih tetap berjalan.

Bagi saya pribadi, virus corona ini belum menjadi kategori berbahaya. Seperti di luar negeri, kenapa mayat-mayat berserakan di jalan? Anehnya padahal ada tentara, kok dibiarkan berserakan di jalan? Ternyata beberapa hari berikutnya isu itu pun hoaks. Ada beberapa daerah yang sangat melonggarkan aturan PSBB tidak ditutup portal, dan sebagainya. Sedang beberapa daerah lainnya menerapkan PSBB begitu ketat sehingga ada penolakan penguburan mayat. Nah, inilah yang dinamakan kebijakan politik ekonomi.

Dalam segi ekonomi yang menurun tersebut, terdapat hikmahnya, yakni adanya kemandirian dari masyarakat karena berkurangnya impor. Jadi, menuntun adanya kemandirian ekonomi. Misal karena adanya pabrik tutup banyak usaha yang tutup petani tidak begitu masalah karena mereka mampu mandiri ekonomi. Dia hidup dalam masyarakat setempat kemudian jalannya sirkulasi moneter pun juga berjalan di tempat tersebut saja. Ada toko-toko yang dibuka oleh masyarakat setempat.

Bisa jadi kondisi pandemi ini dijadikan politik pencitraan, seperti virus corona adalah tunggangan, yakni tunggangan untuk menutupi kegagalan. Hal ini tidak pernah terungkap, karena sejauh ini semua orang banyak geger karena penerapan lockdown atau PSBB. Karena para dokter disibukkan dengan pasien-pasiennya, demikian juga para ahli atau pemerhati disibukkan dengan jumlah kenaikan korban dan perubahan iklim ekonominya, sehingga jarang sekali yang menyoroti persoalan ini.

Laporan exxon yang menurun, kemudian luxim menurun sampai 25 persen, eksplorasi minyak tidak menurun karena industri tutup. Ada limpahan produksi sehingga menurunkan produksi minyak. Nah ini yang dinamakan mengistirahatkan bumi sejenak dengan adanya corona ini. Dengan bumi ini melakukan refreshing, maka dia akan mereproduksi bumi, menjadikan bumi menjadi besar lagi sebagaimana seharusnya. Contohnya ketika gunung merapi meletus itu adalah bencana bagi yang terkena lahar. Tapi selanjutnya akan ada pasir yang melimpah ketika sudah habis meletus. Ini yang dinamakan keseimbangan alam.

Demikian juga  ada keseimbangan ekonomi, nanti juga ada ekonomi yang runtuh dan ada ekonomi yang muncul dalam dunia ini. Maka jika kita ingin melihat moneter menurun, yang hanya tumbuh 2,9 persen per tahun ini per laporan bula Maret. Demikian juga laporan ekspor impor juga menurun. Hal ini bagi saya adalah positif karena terdapat kemandirian ekonomi. Sebab kemarin sebelum ada corona, orang pada mengeluh karena adanya impor yang dari Cina. Karena adanya Pandemi ini makanya impor ditutup dan mestinya Petani akan menjadi senang.

Bawang merah dan bawang putih impor dari Cina, padahal kita puny sentranya. Demikian dengan jargon work from home atau bekerja dari rumah. Sejak zaman Kerajaan Demak hingga Mataram, sebenarnya kita sudah melakukan kerja dari rumah sebelum adanya pabrikan. Investor masuk menjadi pabrik besar, orang kemudian bekerja di pabrik pekerjaan rumah ditinggalkan. Akhirnya pekerjaan home industri kekurangan tenaga. Bangkrut akhirnya beralih ke industri besar.

Misalnya di home industry Jepara, ini mengalami gulung tikar karena adanya pabrik Korea yang hadir di Jepara. Sekarang pabrik pada tutup orang mengalami kacau lagi. Tapi kondisinya sudah berbeda, sudah terbiasa bekerja di pabrikan sama pemerintah dipaksa bekerja dari rumah lagi. Mulai dari Lasem itu pusat home industry batik dan konveksi. Ke barat lagi ada Kudus tempat border konveksi. Kemudian ke barat lagi di Jepara ada tenun, ada monel, ada rotan, dan ukiran. Ke barat lagi ada pekalongan batik. Semuanya ini harusnya dikembangkan apalagi dengan kondisi pandemic Covid-19. Sebenarnya secara historis Indonesia ini sudah sangat kuat dengan adanya work from home.

Covid-19 dari Pandangan Hukum

Indonesia dalam masa pandemi sebenarnya juga telah diatur dalam substansu Hukum dalam penanganan Covid 19, diantaranya:

  • UUD NRI 1945
  • UU 4/84 : Wabah Penyakit Menular
  • UU 24/07 : Penanggulangan Bencana
  • UU 36/09 : Kesehatan
  • UU No. 6/18 : Kekarantinaan Kesehatan
  • Perppu 1/20 : KKN & SSK untuk Penanganan Pandemi Covid 19
  • PP 21/08: Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
  • PP 21/20: PSBB Covid 19
  • Permenkes 9/20: Pedoman PSBB Penangan Covid 19
  • Permekumhan 10/20: Asimilasi & Integrasi Napi Drk Covid
  • Kepres 7/20 jo 9/20: GTPP Covid 19
  • Kepres 11/20: Penetapan Darkesmas Covid 19
  • Kepres 12/20: Penetapan Covid 19 sebagai Bencana Nasional

Dalam berbagai peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden, yakni kekarantinaan kesehatan, anehnya Jokowi malah memilih menetapkan UPP tentang PSBB. Dalam UUD 1945 terkait kesehatan telah diatur dalam Preambule tujuan kesejahteraan umum benar satunya melalui unsur kesehatan. Kemudian Pasal 28H Ayat (1) yakni hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Terakhir Pasal 34 Ayat (3) yakni negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Terkait dengan UU 4/84 yang menjadi acuan terkait karantina atau PSBB ini yang bertanggung jawab adalah Menteri Kesehatan. Sedangkan menteri kesehatan menyatakan bahwa daerah tertentu yang terjangkit wabah adalah daerah wabah.

Yang kedua bagi yang dirugikan akibat adanya penanganan wabah dapat diberikan ganti rugi. Artinya memang sudah harus ada kompensasi bagi mereka yang terkena dampak atau korban. Kemudian dalam UU Nomor 24/07 tentang penanggulangan bencana. Di sana dijelaskan terdapat tiga jenis bencana, yakni bencana alam, non alam dan sosial. Nah, terkait dengan Covid-19 ini adalah masuk dalam kategori bencana non alam yang mana maksudnaya bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.

Nah, mengenai Covid-19 ini apakah masuk ke dalam kategori gagal teknologi atau apa? Sebab sejauh ini India dan Amerika telah melakukan gugatan terhadap Cina, yang kemudian Cina melakukan gugatan balik terhadap Amerika. Kemudian dalam UU nomor 36/09 tentang kesehatan ini, judulnya kesehatan, namun dalam implementasinya tidak diacu dalam PP dalam penanganan Covid-19.

Kemudian pemerintah harus menyediakan fasilitas informasi, edukasi, fapelkes untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan yang setingg-tingginya. Kemudian yang bertanggung jawa atas adanya Covid-19 yang menular ini, terutama adalah pemerintah pusat, pemda, dan masyarakat yang bertanggung jawab melakukan upaya cegah kendali dan berantas penyakit menular dan akibat yang ditimbulkan dengan cara PPKR.

Kemudian dalam UU nomor 6/18 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bentuk karantina kesehatan masyarakat ini dapat berupa rumah, rumah sakit, isolasi dan wilayah. Ya memang konsekuensinya jika yang diambil adalah UU kekarantinaan kesehatan, maka setiap masyarakat ini harus mendapatkan ffasilitas kesehatan, kemudian ketersediaan pangan, dan kebutuhan sehari-hari selama karantina itu. Yang tentunya ini sangat berat untuk dipenuhi. Sehngga pilihan yang terjadi adalah pada pilihan PSBB ini. Yang mana dalam aturan ini yang dibatasi hanya dalam kegiatan sekolah, beribadah dan di tempat umum.

Yang menarik adalah, dalam UU kekarantinaan kesehatan ini ada sanksi pidana bagi pelanggarnya, namun dalam PSBB tidak terdapat sanksi pidana. Namun dalam PP 21/20 tentang PSBB Covid 19 ini malah lebih aneh lagi. UU Kesehatan tidak diacu sama sekali, namun prosedurnya samalah.

Kemudian untuk asimilasi dalam Permenkumham 10/2000 ada semacam kesalahpahaman. Di sini itu maksudnya pidana tidak dalam penjara, namun berada di luar penjara. Di alam Permenkumham 10/2000 ini yang mendapatkan asimilasi adalah napi biasa, dan yang bukan napi terorisme, narkotika, psikotropika, korupsi, keamanan negara, HAM berat, transnasional terorganisasi, dan WNA.

Yang jadi pertanyaannya adalah, mengapa harus adanya asimilasi, jika jawabannya dikhawatirkan adanya penularan? Sebenarnya bukan malah tertular, kalau dijaga kan harusnya lebih aman. Kemudian asimilasi yang dilakukan di rumah dengan adanya bingwas Bapes, namun sejauh mana pengawasannya tersebut. Kemudian yang diasimilasi itu apakah bisa kerja, makannya dari mana. Nah ini yang kemudian dapat menyebabkan kejahatan baru.

Kemudian dalam Perpu nomor 1/2020 yang sekarang sedang di JR oleh Pak Amin Rais dan Edy Swasono, memang ada beberapa hal yang menjadi keanehan sendiri.  Di situ juga tidak terdapat sanksi administrasi, hanya satu sanksi, yakni sanksi pidana saja terkait dengan pelanggaran suatu korporasi yang tidak mematuhi perintah dari OJK.

Yang menarik adalah ada semacam ketakutan dari pemerintah karena terdapat penggunaan anggaran yang luar biasa maka, setara dengan limitative yang setara dengan perpu dinyatakan bahwa segala hal yang menyangkut dengan itu bukan merupakan kerugian dari negara. Ini aneh. Dalam UU ini dinyatakan bukan merupakan bagian dari kerugian negara.

Yang kedua, dinyatakan secara limitatif juga bahwa anggota sekretaris KSKK, BI, OJK, serta LPS tidak dapat dituntut baik secara perdata mau pun secara pidana, jika melaksanakan tugas didasarkan pada iktikat baik. Ini menurut saya yang seharusnya tidak masuk dalam UU. Yang lebih parah lagi adalah berdasarkan perpu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke dalam peradilan TUN. Nah kalau begini kan bisa seenaknya sendiri nanti membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan keuangan negara?

Nah menurut saya dalam struktur hukum kita ini terjadi kegamangan dan legislatif yang tidak responsif. Dan yang menarik sekarang aparat penegak hukum hanya bisa menhimbau dengan maklumat, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum untuk memaksa. []


*Penulis adalah Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, email: anis.nadhiroh25@gmail.com.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button