biem.co — Perempuan yang duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan itu sudah habis. Matanya sembab karena hampir setiap jam ia menangis. Rambut panjangnya tidak pernah disisir, berantakan seperti rambut singa di padang sabana. Ia juga tidak doyan makan. Karena itu badannya jadi tidak menarik untuk dipandang. Orang-orang mengutuknya. Seperti tai, perempuan itu seolah tak bernilai sama sekali.
Dengan raut wajah mengiba ia bertanya kepadaku, “Wahai dinding yang dingin, kenapa aku dipenjara di sini?”
**
Tanpa sepengetahuan warga sekolah, sudah sebulan ini aku menjalin hubungan istimewa dengan seorang guru yang mengajar di sekolahku. Guru laki-laki favorit yang menjadi idola siswa perempuan di sana. Tubuhnya yang gagah membuatnya lebih layak menjadi atlet binaraga daripada guru pelajaran kimia.
Hubungan kami baru seumur jagung. Tapi dia berencana menikahiku saat aku lulus SMA nanti. Dia akan membiayai segala urusanku termasuk membiayaiku masuk kuliah, membayar uang tiap semester, membeli buku dan sepatu, serta keperluan kuliah lainnya.
Mamah dan Bapak tidak tahu hubungan istimewaku dengan Herman, guru sekaligus pacarku. Teman-temanku pun tidak kuberitahu. Seminggu sekali, aku bilang ke Mamah harus mengikuti les kimia. Alasanku, ini adalah tahun terakhir, demi persiapan ujian nasional aku harus semakin giat belajar. Begitulah caraku meluangkan waktu bersama Herman
Beberapa kali Herman kuminta untuk datang ke rumah, tetapi ia selalu menolak. Herman bilang mau kasih kejutan buat Mamah Bapak di hari kelulusanku kelak. Katanya, setelah lulus aku mau dilamar. Sudah itu Herman mau ngajak aku menikah. Dia kasih janji ke aku bakal menggelar pesta pernikahan yang meriah.
Aku menurut saja Herman bilang apa. Seperti udara di pegunungan, kalimat yang keluar dari mulut Herman membuat sekujur tubuhku merasakan kesejukan dan ketenangan yang alami adanya.
Senja hari itu aku sudah berada di kos Herman. Hari Jumat pulang sekolah aku masih pakai seragam pramuka. Mamah sudah bolehkan aku bawa sepeda motor ke sekolah, jadi aku bisa langsung ke tempat Herman. Aku juga bilang Mamah sore ini pulang terlambat karena ada les kimia.
Baca Juga
Herman tinggal di sebuah kamar kosan yang tidak lebih besar dari kamarku di rumah. Di sana Herman tinggal sendirian. Di dalam kamarnya ada satu buah kasur, kipas angin, televisi kecil, dan laptop. Buku-buku tersusun rapi di rak yang menempel dengan dinding kamar berwarna hijau rumput laut. Meski tidak ada pendingin ruangan, kamar kosan Herman terasa sangat nyaman.
Di ruangan yang sempit itu, aku melihat Herman menatapku dengan cara yang berbeda. Matanya yang menjorok ke dalam mirip betul dengan mata elang yang sedang mengincar kelinci di rerumputan liar. Herman tersenyum, dan membuyarkan lamunanku,
“Mawar, kamu gapapa kan?”
“Gapapa Pak, eh Mas Herman.”
Langit di luar lebih pekat dari biasanya. Ini masih pukul lima, alih-alih menampakkan keindahan semburatnya, awan senja sama sekali tidak terlihat di mega. Biasanya, pukul segini aku sudah di rumah. Menikmati segelas teh bikinan Mamah sambil mendengarkan kisah apa saja yang keluar deras dari bibirnya.
Tetapi sore ini, aku menghabiskan senja di sebuah kamar kosan bersama seorang pria, tanpa segelas teh hangat dan kisah apa saja dari Mamah. Hanya ada aku, Herman, suara kipas angin dan televisi yang sengaja Herman besarkan.
**
Tiga minggu setelah senja di kosan itu, ada penghuni baru di dalam perutku. Herman adalah orang pertama yang kuberi kabar ini. Sepulang sekolah, kami bertemu di kafe dekat kosannya.
“Mas Herman, aku hamil.”
“Jangan becanda kamu Mawar.”
“Cuma Mas Herman yang taruh benih di rahimku.”
“Sialan kamu.”
“Mas Herman, nikahi aku sekarang. Sebelum benih ini tumbuh jadi bayi.”
“Tidak segampang itu, kamu muridku.”
“Aku juga pacarmu, Mas.”
Herman diam saja. Pelipisnya mengucurkan bulir air beberapa tetes. Herman mengatupkan jari-jari tangannya di depan mulutnya. Matanya terpejam.
“Gugurkan saja Mawar. Demi kebaikan kita.”
Aku membisu. Suaraku seolah hilang bersama harapan yang pernah Herman ucapkan dulu. Tentang lamaran, kejutan kelulusan, dan pernikahan yang mewah. Mengingat itu semua, dan kejadian di senja yang tanpa semburat itu, membuat sudut-sudut mataku menjadi basah.
“Mawar, aku harus pergi. Gugurkan, atau kamu akan hidup dengan penyesalan.”
Itu kalimat terkahir Herman. Kalimat yang terus hidup di kepalaku. Mengendap jauh di jurang otak hingga menjadi kerak. Setelah itu, seperti debu yang ditiup, Herman hilang bersama angin.
**
Aku berbohong sama Herman. Sebetulnya aku juga tidak tahu sedang mengandung anak siapa. Tepat tiga hari setelah aku dan Herman mengadu tubuh, laki-laki lain juga turut menindih aku di kamar Mamah. Waktu itu Mamah sedang pergi. Aku baru pulang sekolah. Tiba-tiba laki-laki lain itu masuk ke kamar Mamah.
Dengan gerakan yang sangat cepat, laki-laki lain itu sudah duduk di atas perutku. Selangkangannya mengeras. Benda tumpul nan keras di selangkangannya itu ia tempelkan di atas perutku. Sambil begitu, mulutku dibungkam tangannya yang besar. Suara yang kukeluarkan, malah masuk lagi ke dalam tenggorokan. Aku mencoba berkelit dari laki-laki itu. Tapi usahaku sia-sia. Tenaganya terlampau kuat. Rasanya semua sendi di tubuh ini sudah dikunci. Laki-laki itu semakin menjadi. Sepintas aku mencoba menatap matanya dengan genangan air mata yang sudah terlanjur tumpah. Di tengah nafasnya yang terengah-engah, berahinya tumpah, mata laki-laki itu menyala merah.
**
Kata Mamah -setelah kuberitahu aku sedang hamil- calon bayi yang ada di dalam perutku yang semakin hari semakin bunting adalah bayi suci yang harus dijaga dan dibesarkan. Tetapi Bapak tidak setuju. Di meja makan, sambil menggebrak meja Bapak bilang kalau janin di rahimku ini adalah anak setan. Mamah ingin aku menjaganya sampai betul-betul jabang bayi ini bisa menyapa dunia. Bapak tidak begitu. Secepat mungkin aku diminta membunuhnya, atau Bapak sendiri yang akan mengobrak-abrik janin di dalam perutku yang sedang bunting.
Malam itu, hidangan yang Mamah masak tidak ada yang kusentuh. Satu-satunya yang kusentuh adalah perut mungilku yang semakin hari semakin membuncit. Di dalam perut ini, darah dagingku akan semakin tumbuh. Menjadi seorang pahlawan, atau bajingan.
**
Aku tidak bisa menutupi perutku yang semakin membuncit. Rasanya, gumpalan daging di dalam rahim ini tumbuh cepat sekali. Sudah dua bulan aku tidak masuk sekolah. Usia kandunganku sekarang sudah tiga belas minggu. Tapi perutku lebih buncit dari usia seharusnya. Badan dua ini sudah tidak bisa kusembunyikan lagi. Dari tetangga, atau teman sekolahku yang dengan sengaja mampir ke rumahku.
Hampir setiap hari, Bapak memaksa aku untuk mengeluarkan gumpalan daging di dalam perutku. Bapak juga pernah mendorong aku sampai jatuh bersimpuh. Namun, Tuhan masih baik. Aku dan janinku diberi selamat. Hampir setiap hari pula Mamah tak pernah lelah membelaku. Bapak selalu bilang, “Janin setan. Kamu sedang mengandung anak setan. Kalaupun bukan setan, ya bajingan.” Setelah puas mengutuk jabang bayi yang kukandung, Bapak akan pergi ke pasar menagih setoran para pedagang kemudian berjudi sampai kantungnya tandas atau mabuk-mabukan sampai nalar di otaknya lepas.
Malam Jumat Mamah sedang pengajian. Bapak entah di mana. Aku teringat ucapan Herman tentang masa depanku dan tunas bayi yang sedang kukandung. Kalimat terakhir itu masih bersarang sempurna di dasar otak seolah menjelma menjadi kerak. Malam itu, udara di kamar terasa panas. Aku memutuskan keluar menuju dapur, mencari segelas air dingin.
Baca Juga
Di dapur, aku melihat seperangkat obat yang pernah Bapak perlihatkan tempo hari yang lalu. Bayangan Herman, dan laki-laki lain itu kembali mencuat di pikiranku.
“Gugurkan, demi masa depanmu.”
**
Mamah menemukan aku dalam kondisi selangkanganku sudah berdarah. Mata Mamah merah, dan basah. Aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal di selangkanganku. Kurentangkan cukup lebar supaya aku dan Mamah bisa melihat benda apa yang ada di sana. Mamah menutup mulutnya. Matanya semakin basah. Di balik selangkanganku yang merah dan basah, seonggok daging bercampur lendir dan berlumur darah segar teronggok pasrah.
**
Dinding sel penjara yang dingin menjadi kawan setiaku. Aku suka bercerita tentang apa saja kepadanya. Ketika penjaga penjara datang, aku akan memanggil penjaga itu masuk dan mengenalkannya kepada teman setiaku ini. Dinding sel yang dingin membuat aku tidak kesepian. Meskipun ia tidak suka menjawab bila kutanya sesuatu. Tapi tidak mengapa. Aku tidak butuh dinding sel yang dingin itu menjawab, cukup mendengarakan aku bercerita itu sudah membuatku bahagia.
“Wahai dinding yang dingin, kenapa aku dipenjara di sini?” kataku kepada dinding sel dingin itu.
“Orang-orang itu bilang aku pembunuh, perempuan kasar yang tidak punya peri kemanusiaan. Ada juga yang menyebutku binatang liar, jalang, dan perempuan sundal. Tapi aku diam saja, tidak membalas. Apa perempuan sepertiku layak membela diri?”
Seorang penjaga melihat ke arahku. Nampaknya, obrolan kami menarik perhatiannya. Aku tetap melanjutkan.
“Malam itu, Mamah langsung membungkus benda yang mengganjal di selangkanganku dengan kain. Mamah minta aku segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tapi aku menolak. Aku ikut Mamah keluar dan menggali di kebun belakang. Saat lubang galian sudah cukup dalam, seorang tetangga tiba-tiba datang mendekat. Matanya terbelalak. Pagi harinya, dua orang polisi datang. Mereka minta Mamah dan aku menggali lubang di kebun belakang …”
“Dasar lonte! Sekarang waktunya istirahat! Berhenti ngomong sama temboknya!” Penjaga penjara berperut buncit itu membentakku. Tangannya menggenggam stik hitam yang sering ia gunakan untuk memukuliku saat aku menolak untuk makan.
“Satu minggu setelah polisi ke rumah, Mamah jatuh sakit. Jiwanya terguncang hebat, sama sepertiku. Bapak tidak mau urus Mamah di rumah. Akhirnya, Mamah pergi selamanya. Jadilah sekarang aku di sini. Duduk dan menceritakan semuanya ke kamu. Hidupku sudah habis.”
Kuakhiri ceritaku malam itu. Cerita yang sama, setiap malam. Penjaga yang hendak bangkit dari kursi untuk menghampiriku mengurungkan niatnya. Ia mendaratkan lagi bokongnya ke kursi semula.
Malam ini adalah kali pertama aku melihat dinding sel di depanku tersenyum, bahkan sedikit tertawa melihat tingkah penjaga penjara yang sedari tadi hanya duduk-duduk bermain gawai sambil sesekali berteriak kepada para penghuni sel yang berisik.
Meski menjadi sahabat terbaikku, tetapi dinding sel yang dingin ini seperti menghambat saluran mimpiku. Setiap malam, aku tidak pernah bermimpi. Siang hari pun demikian. Saluran mimpiku seolah sudah terputus entah oleh apa atau siapa.
Tapi malam ini berbeda. Aku bisa bermimpi lagi. Mimpi pertamaku selama menjadi penghuni tahanan atas dakwaan praktik aborsi ilegal.
Dalam mimpi yang singkat itu seorang bocah laki-laki berusia 3 tahunan berlari menghampiriku. Wajahnya bersinar. Dua sayap mungil hinggap di punggungnya. Ia mengenakan pakaian serba putih, membuatnya seperti peri kecil yang Tuhan kirim dari surga. Dari mulutnya terbit sebuah senyuman. Senyum itu milik Bapak, dan dia memanggilku Mamah. (*)
Tentang Penulis:
Wildan Kurniawan, lahir di Tegal 22 September. Suka membaca sejak masa SMP hingga sekarang. Aktif menulis cerpen dan tulisan ringan lainnya. Penulis asal kota Tegal ini sekarang sedang merantau di tanah Jogja. Wildan Kurniawan bisa dihubungi di instagram @mohwildankur.