The Bravery Team

The Bravery: Masalah-masalah Jurnalisme Indonesia, Wartawan Wajib Baca!

Upgrading Kode Etik Jurnalistik

biem.co – Sobat biem, pernah ‘gak sih nonton televisi atau baca berita dari media cetak atau on-line yang kadang bikin kita kesel atau ‘ilfil’. Gimana nggak, beritanya suka asal, memojokkan satu pihak, provokasi, vulgar, kejahatan ditampilkan secara detail, pokoknya jauh deh dari kode etik jurnalistik.

Di televisi, radio, koran cetak, media on-line serta banyak flatform lain, tak sedikit kita temukan sebuah karya jurnalistik (berita) yang ditulis oleh wartawan yang jauh dari kesan informatif apalagi edukatif, bahkan penulisnya sama sekali tidak memperhatikan kaidah-kaidah dan prinsip dasar jurnalistik.

Tim biem.co menilai hal ini sebagai bagian yang harus diperhatikan oleh jurnalis. Di-upgrade langsung oleh Pemred, kami ingin berbagi hasil upgrading kami kemarin (01/06/2020), menyoal bagaimana sejatinya setiap jurnalis menulis berita dengan baik.

Agar sobat biem tahu, berita yang dibaca itu berkualitas atau tidak, hoax atau fakta. Karena banyak jurnalis yang dalam peliputan dan penulisan beritanya juga mengabaikan kode-kode etik jurnalistik. Karena itu, sebagai pembaca, sobat biem juga wajib bantu ngawasin setiap berita yang dibaca biar ‘gak tersesat sama berita itu.

Setidaknya, ada beberapa masalah yang muncul saat jurnalis membuat berita:

  1. Sumber berita yang tidak kredibel
    Pernah dengar atau lihat tayangan berikut?:

    Sumber: remotivi
    Sumber: remotivi
    Sumber: remotivi

    Yap! kasus Bom Thamrin tahun 2015. Jam-jam’ pertama ledakan, banyak berita tersebar di kanal media. Ini kenapa?! karena media ‘gak ngelakuin beberapa hal:

    Pertama AKURASI. Salah satu cara paling mudah ‘tuk bisa ngakurasi suatu berita diantaranya adalah dengan melihat sumber berita. Sumber berita harus punya otoritas dan harus bisa dipertanggungjawabkan; lalu lihat konteks apa yang dibicarakan. Apakah temanya sesuai dengan ilmu atau bidang ilmu yang dipakai narasumber?

    Trus, berita, kalau sumbernya ‘kata orang’ atau hanya WA atau SMS beruntun, patut kita pertanyakan. Lebih baik utamakan sumber berita yang otoritatif. Karena sumber berita ini setidaknya bisa kita pertanggungjawabkan.

    Kedua yaitu, Verifikasi. Coba, deh perhatiin jurnalisme Indonesia, kebanyakan berita yang dibuat berdasarkan pernyataan satu narasumber. Memang sih satu narasumber itu mungkin saja otoritatif dan ahli, tapi kemungkinan salah tetap pasti ada. Karena itu verifikasi itu penting.

    Misal, ada satu narasumber yang menyatakan bahwa ‘ribuan imigran China masuk melalui jalur laut dan berpotensi mengambil alih lapangan kerja untuk warga Indonesia’.

    Itu tak masalah, mungkin saja itu fakta lapangan, yang penting jurnalis bisa memperlihatkan data, misal foto saat mereka (TKA China) masuk Indonesia, atau data jumlah TKA dari Kantor Imigrasi atau dinas tenaga kerja setempat yang nyantumin, emang ada ribuan imigran China masuk Indonesia.

  2. Berita tidak berimbang
    Dalam Kode Etik Jurnalistik, media dituntut untuk Cover Both Sides. Misalnya, lagi beritain soal konfllik. Media diwajibkan memberikan porsi yang sama untuk pihak A dan B yang sedang berkonflik. Media dikatakan tidak berimbang kalau ia memberitakan porsi yang lebih untuk salah satu pihak.Cover Both Sides itu penting untuk membantu khalayak menilai independensi sebuah media atau karya seorang wartawan. Tapi yang perlu kita ingat, berimbang itu bukan berarti netral, karena jurnalis juga manusia yang punya nilai subjektif.Misalnya dalam meliput berita kekerasan. Kebanyakan media akan condong terhadap korban, apalagi jika korban adalah anak-anak. Ini tak masalah, asal jurnalis atau media bisa mengedepankan dua hal: argumentasi yang kuat dan melakukan perbandingan dari berbagai sudut pandang.

    Ada beberapa cara untuk menguji keberimbangan suatu media. Yang pertama, kita bisa lihat Proporsinya, baik dari segi wakil atau durasi, seperti gambar berikut:

    Sumber: FB Katakita

    atau berikut:

    Sumber: Youtube remotivi

    Kedua, kita bisa lihat Pembingkaian (framing). Maksudnya adalah bagaimana berita itu disusun oleh jurnalis atau media. Perhatikan pernyataan narasumber. Apakah isi berita terkesan membingkai informasi dan terkesan mengarahkan citra pembaca terhadap isi berita. Seperti ini:

    Sumber: SS Youtube Remotivi

    atau ini

    Sumber: SS Youtube Remotivi
  3. Berita kejahatan ditampilkan secara detail
    Sobat biem mungkin termasuk pembaca yang kerap kesal dengan bagaimana media memberitakan peristiwa kejahatan. Ketika menulis berita jenis ini, tidak sedikit wartawan yang lalai dan abai pada kode etik, sehingga berita yang disajikan dirasa dapat mengganggu psikologis pembaca.Contohnya ketika menayangkan wajah, identitas, dan keluarga korban kekerasan, atau sekedar mengilustrasikan secara grafis atau video korban, dengan melakukan blur hanya pada gambar wajah dan video rekonstruksi detail oleh polisi. Sementara detail lain seperti proses, kondisi, diperlihatkan dengan detail.Hal ini tentu saja berbahaya. Mengingat hal-hal detail seperti ini akan mengganggu psikologis pembaca. Dalam kasus perkosaan misalnya, ketika korban atau keluarga korban membaca berita dengan ilustrasi atau teks yang terlalu detail, korban akan merasa diperkosa ‘dua kali’, oleh pelaku dan oleh pers (karena korban ingat kembali detail kejadian).

    Informasi yang detail memang menjadi ukuran kualitas suatu berita. Tapi dalam hal kekerasan, kita harus mempertimbangkan faktor psikologis itu.

    Berbeda dengan tayangan masak-masak atau ‘makan-makan’. Kalau tayangan makan-makan seperti Icip-icip di biem.tv adalah tayangan yang memang harus ditiru oleh pemirsa/penonton jadi harus detail ditayangkan, tapi kalau kasus kekerasan, kan bukan untuk ditiru.

  4. Wartawan tidak berempati dengan korban
    Dalam meliput suatu kejadian, tidak sedikit wartawan yang tidak berempati terhadap korban. Misalnya ketika meliput suatu kejadian pembunuhan, banyak wartawan yang mengajukan pertanyaan ‘norak’ seperti “bagaimana perasaan ibu melihat anak ibu dibantai seperti itu?’, atau dalam kasus bencana alam, ‘bagaimana perasaan itu, apakah sedih, melihat rumah ibu hancur diterjang banjir’.Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang, sih, sebagai tambahan informasi. Tapi jika kita mau berempati, seharusnya wartawan tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan mengingatkan mereka kembali pada kejadian yang telah dialami.Simak ilustrasi berikut: 
    (Ilustrasi: kasus pembunuhan)
    “Bagaimana perasaan ibu melihat anak ibu dibantai seperti itu?’. Secara langsung, ibu korban akan mengingat kejadian yang telah lalu dan sebagai keluarga korban penyintas pembunuhan, maka narasumber akan mengingat detailnya kembali.

    (Ilustrasi: kasus bencana alam)
    “Apakah ibu sedih melihat rumah ibu hancur diterjang badai?”. Narasumber sebagai penyintas bencana alam akan mengingat kembali detail kejadian rumahnya hancur dan mengingat bahwa dirinya sudah kehilangan rumah satu-satunya.

    Alih-alih mencari informasi tambahan, hal seperti ini menunjukkan bahwa wartawan tidak memiliki empati pada korban.
    Selain pertanyaan semacam itu, media juga sering kali melakukan kesalahan terhadap korban. Misalnya, kalau ada korban kecelakaan, dalam ilustrasi, diperlihatkan jenazahnya, lukanya di mana, dan lain-lain.

    Hal ini tentu saja akan mengganggu kenyamanan pembaca. Salah satunya akan mengganggu psikologis anak-anak atau remaja, karena pembaca anak-anak atau remaja bisa saja membuat itu sebagai rujukan atau mereka akan mengingat-ingat kejadian tersebut sehingga menimbulkan trauma psikologis.

    Dalam isu sensitif misalnya. Kalau wartawan ingin menghadirkan anak-anak korban kejahatan sebagai narasumber, ada dua hal yang harus diperhatikan: Stigma dan Penghakiman yang harus dihindari. Usahakan jika ingin mengajukan pertanyaan hindari dua hal tersebut, karena itu akan menggagu proses rehabilitasi mereka.

    Semoga para jurnalis senantiasa menjaga kode etik dan prinsip-prinsi jurnalistik, ya, Sob!
    Jangan lupa ikuti juga kegiatan internal biem.co lainnya di kanal The Bravery.

    Salam berkarya dan berbagi inspirasi ^_^




Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button