biem.co — Lebaran kali ini akan berbeda. Bapak yang sudah lima tahun merantau di Jakarta akan pulang. Ibu yang mendengar kabar itu segera disibukkan dengan membuat kue. Salah satunya kue kering kacang kegemaran bapak. Kue-kue itu Ibu masukan ke dalam kaleng bekas biskuit tahun lalu. Kemudian disembunyikan dalam lemari.
“Boleh aku mencicip sedikit, Bu?” ujarku.
“Jangan, Jani. Kue-kue ini untuk bapakmu!” sergah Ibu.
Aku memang suka mengintip Ibu saat sedang membuat kue. Dan berharap ia mau mengajakku untuk membantu atau sekadar mencicipi. Tapi Ibu tidak mengizinkannya. Kue-kue itu dibuat sendiri oleh tangannya yang ringkih. Aku hanya bisa menontonnya dari balik pintu.
“Untuk apa buat kue banyak-banyak, Bu. Jangan sampai gara-gara membuat kue ibadah Ibu terlupakan!”
Seketika itu Ibu yang sedang mengaduk adonan berpaling ke arahku. “Bikin kue juga ibadah. Bapakmu akan terhibur dengan kue-kue ini saat pulang nanti. Dan kita akan banyak kedatangan tamu saat bapakmu pulang.”
Aku diam saja. Mencari kebenaran dalam sorot matanya. Ibu kembali mengaduk adonan. Dan hasratku semakin tinggi untuk mencuil kue kacang itu.
*
“Seminggu sebelum lebaran, aku akan pulang!” suara bapak terdengar enteng di telepon.
Aku beralih melihat Ibu di seberang meja. Wajahnya menyerakkan kebahagiaan. Tak lama di ujung pelupuk mata bulatnya tersimpan begitu banyak genangan air mata.
“Jaga kesehatan ya, Pak. Kami menunggu kepulangan Bapak.”
Setelah itu kami mengakhiri sambungan telepon. Aku melirik wajah Ibu kembali. Ia segera mengusap pelipis matanya yang basah. Lalu Ibu pergi ke dapur. Membuat adonan kue.
Saat kami tahu bahwa bapak akan pulang, Ibu tak pernah bisa diam. Ia selalu sibuk membuat kue dan kue. Padahal begitu banyak kue dalam kaleng yang telah Ibu sembunyikan dalam lemari. Aku hanya iba melihatnya. Kue-kue itu Ibu kerjakan sendiri dengan peralatan seadanya. Semua serba manual.
Baca Juga
“Buka puasa dulu, Bu!” kataku pelan saat pelantang musala menyerukan perintah salat.
“Kamu buka duluan saja. Ibu lagi tanggung!”
“Tapi sudah azan, Bu.”
“Kamu duluan saja!”
Tetiba tubuh ringkih Ibu tersungkur. Aku segera berlari meninggalkan meja makan. Aku memekik memanggil nama Ibu dengan tubuh yang bergetar. Lalu bersimpuh di sampingnya. Wajah Ibu begitu pucat. Begitu dingin.
*
Wajah Ibu yang mulai dijangkit keriput masih terpejam di atas dipan. Dokter bilang ia hanya kelelahan. Ibu telah memaksakan tubuhnya sendiri untuk bekerja di luar batas. Tapi aku juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Ibu. Aku begitu mafhum atas apa yang dilakukannya. Kabar kepulangan bapak adalah sesuatu yang tidak kami duga-duga. Membuat kami menyimpan euforia yang berlebih.
Lima tahun kemarin bapak memang tidak bisa pulang. Ia bilang tidak punya modal. Upahnya sebagai kuli proyek di Jakarta hanya cukup untuk membiayai kebutuhan hidup kami. Bahkan bapak juga bilang ia sering menahan lapar. Tapi Ibu tidak pernah mengetahui hal itu. Bapak berpesan agar aku mengunci mulut.
Ibu hanya tahu bahwa lima tahun kemarin bapak terlalu sibuk bekerja sehingga tidak sempat mudik. Maka saat bapak bilang lebaran sekarang akan pulang, Ibu seperti kejatuhan bulan.
“Jani….”
Tetiba mata Ibu terbelalak. Sontak aku memeluknya penuh lega. Terlalu banyak dugaan-dugaan buruk yang bersarang dalam kepalaku.
“Sudah Jani bilang, Ibu jangan terlalu cape!”
“Aku hanya ingin menyambut kedatangan bapakmu, Jani. A-aku sangat merindukannya. Aku takut lebaran sekarang adalah kesempatan terakhir bisa melihatnya.”
Seketika aku menatap mata Ibu. Air bening berkumpul di sudut matanya. Aku melihat ada gelagat yang aneh dari sorot mata itu. Tapi tidak dapat aku pahami.
*
Lebaran tahun ini memang sangat berbeda. Semua berlalu dengan sangat cepat. Dan hari ini adalah hari yang telah bapak janjikan kepada kami. Sejak pagi Ibu sibuk di dapur dengan kue keringnya. Beberapa kaleng kue yang Ibu sembunyikan dalam lemari pun dikeluarkan tanpa sisa. Aku bisa melihat raut wajah penuh bahagia itu. Getarannya bisa kurasakan pada detak jantungku.
Tetiba ponselku berdering. Kulihat nama bapak tertera pada layar ponsel. Aku cepat-cepat menekan tombol hijau dengan perasaan yang kacau.
“Apa benar ini keluarga dari Bapak Maruso?”
Aku terkejut saat pertama kali suara berat lelaki itu masuk ke telinga.
“Bisa beri tahu saya alamat rumah Bapak Maruso?”
Lelaki di ujung telepon itu terus mencecarku dengan pertanyaan. Perasaan gugup yang menjalar membuatku hanya bisa menjawab tanpa berani balik bertanya. Setelah itu sambungan telepon terputus. Tubuhku bergetar hebat.
Saat Ibu sibuk menyusun kaleng kue di atas meja, mobil jenazah masuk ke halaman rumah kami. Suara nyaring sirene mengundang para tetangga untuk datang dan bertanya. Namun, kami hanya bisa mengangkat bahu.
Tak lama kemudian beberapa orang keluar dari mobil. Lalu menggotong keranda yang berisikan mayat. Dan setelahnya kami tahu bahwa itu adalah mayat bapak.
Mendengar hal itu tubuh Ibu seketika limbung. Ia termangu di depan jenazah bapak yang sudah terbungkus kain kafan. Suara azan berkumandang. Aku menyodorkan segelas air putih untuk membatalkan puasanya.
Ibu bersimpuh di depan jenazah bapak. Tangisannya serupa air bah yang tak kunjung surut. Sedangkan aku masih dalam keadaan setengah linglung. Bapak akan pulang, dan akan banyak tamu yang datang ke rumah kami. Itu yang dikatakan Ibu tempo hari. Dan sekarang bapak benar-benar telah pulang seperti janjinya. [*]
Tentang Penulis:
Ede Tea lahir di Bogor tahun 1998. Cerpennya telah tersebar di media cetak dan media daring. Karya-karyanya juga tergabung dalam beberapa buku antologi. Merupakan alumni Klinik Menulis yang juga bergabung di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Ig/Facebook: @dhegol27/Dede Soepriatna. Atau bisa dijumpai di deberceloteh.wordpress.com.