Opini

Muhammad Hidayat: Mudik; Jalan Pulang ke Diri Sendiri

Mudik: Jalan Pulang ke Diri Sendiri
oleh
Muhammad Hidayat

biem.co – Tahun lalu, sewaktu masih bermukim di Australia Selatan, saya membayangkan bahwa lebaran tahun ini bakal jadi momentum paling istimewa. Dua tahun jauh dari kampung halaman tentu saja membuat saya harus menumpuk-numpuk resah-gelisah. Ibarat seorang pengembara, tak ada yang paling dirindukan selain datangnya kesempatan untuk pulang. Dan saya percaya sebagian dari Anda sekalian juga memikirkan hal yang serupa.

Waktu itu, beberapa orang rekan saya sesama mahasiswa Indonesia juga punya harapan yang sama. Memendam keinginan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri di tengah orangtua, saudara, tetangga, handai tolan. Meskipun di tanah rantau kami tetap mampu merayakannya bersama komunitas masyarakat Indonesia di sana, namun tetap saja ‘roh’ kebahagiaan tak akan pernah sanggup dilukiskan dengan sempurna. Ketika kami menikmati semangat saling mengasihi di antara sesama perantau di kota pelajar Adelaide, saya sendiri merasa seperti masih ada sesuatu yang ‘hilang’.

Kebersamaan itu tetap saja tak kuasa mewakili perasaan seekor burung yang pulang ke sarangnya dengan riang gembira. Apalagi perjalanan pulang akan semakin syahdu dengan senandung gema kebesaran Tuhan, setelah bertahun-tahun mengembara mencari penghidupan di atas bumi-Nya.

Hari ini, ratusan ribu jiwa orang Indonesia barangkali mengalami apa yang saya alami. Harapan tinggal harapan. Keinginan untuk berkumpul bersama keluarga besar harus ditunda lagi. Ya, manusia memang diberi kemerdekaan untuk merencanakan apa-apa akan tetapi Tuhanlah yang berkuasa menentukan segalanya.

Wabah Covid-19 yang menggemparkan dunia sejak tahun lalu telah mengubah peta kehidupan di banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Hingga Jumat (22/05/2020) jumlah orang yang terkonfirmasi positif virus ini mencapai 4.962.707 di seluruh dunia dan 326.459 orang yang meninggal. Sementara di Indonesia, jumlah korban meninggal mencapai 1.326 orang dengan pasien positif 20.796 orang.

Semua negara kemudian bekerja keras untuk menghentikan laju penyebaran Virus mematikan ini. Berbagai aturan, instruksi, kebijakan dibuat dengan responsif sebagai usaha melawan Virus Corona. Lalu, ada negara yang telah menuai kabar baik atas usaha itu, sebut saja Selandia Baru, sedangkan yang lain masih terus mengupayakan yang terbaik dengan memaksimalkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Tradisi mudik setiap bulan puasa tak bisa dipungkiri sudah mendarah daging dalam diri orang Indonesia. Terutama bagi para perantau setelah hampir setahun meninggalkan kampung halaman. Di sisi lain hal ini mencerminkan rasa keterpautan yang kuat antara kita dengan tanah dimana kita dilahirkan. Dan mencintai tanah kelahiran sebenarnya sudah jadi kodrat kemanusiaan.

Akan tetapi, pandemi yang masih berkembang di beberapa daerah di Indonesia ini seolah menantang kita sejauh mana bisa menahan diri untuk tak bepergian kemana-mana selama periode waktu yang telah ditentukan. Mudik, yang dalam tindakannya menciptakan gerak pindah manusia dalam jumlah yang besar tentu saja harus dihindari atas nama kebaikan bersama. Lagi, semangat gotong royong yang telah menjadi ciri orang Indonesia saat ini benar-benar diuji.

Apakah sebagai warga negara kita mampu membuat pilihan-pilihan yang bertanggung jawab, untuk kebaikan bersama. Ataukah tunduk pada ego sesaat dengan mengabaikan aturan/instruksi yang ada.

Kita sadar bahwa dalam banyak aspek, puasa tahun ini memang sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Wabah Covid-19 begitu menguras tenaga kita sekaligus membuat segala sesuatu makin tak menentu. Hampir seluruh sektor kehidupan publik sekarang diuji kemapanan dan eksistensinya.

Lalu kembali pada judul tulisan di atas, pada hemat saya inilah kesempatan yang baik untuk membuat semacam refleksi dan introspeksi diri. Bisa jadi sekaranglah saatnya bagi kita untuk memulai perjalanan ke dalam diri sendiri. Menjalani ibadah puasa sebulan penuh, apa benar telah mempersiapkan diri kita menjadi pribadi yang siap menghadapi kemungkinan musim paceklik berkepanjangan esok hari? atukah hanya ritual tahunan yang sia-sia belaka?

Kepadatan beribadah di bulan Ramadan sudah sewajarnya menghadirkan kemenangan sekaligus kerelaan dalam menghadapi kenyataan, karena orang yang kuat adalah mereka yang berani menerima realitas. Untuk itu tugas kita adalah memberi makna (meaning) pada momentum seperti ini, sehingga pada saatnya semua benar-benar memiliki makna (meaningful).

Terakhir, saya legowo tahun ini belum bisa berlebaran dengan keluarga besar saya di Pulau Sumbawa sana. Mungkin juga Anda di kampung halaman masing-masing. Satu yang pasti, dimana pun kita berada, lebaran yang akan kita rayakan esok hari wajib menghadirkan optimisme bahwa masa-masa sulit selalu mengandung peluang pembelajaran sekaligus penyelesaian. Bukankah selalu ada cahaya di ujung terowongan. Blessing in disguise.

Selamat menempuh perjalanan pulang ke diri sendiri. Ridho Tuhan senantiasa menyertai kita semua. Semoga.


Muhammad Hidayat, perantau asal Pulau Sumbawa, tinggal di Cilegon

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button