Opini

Catur Nugroho: Representasi Suara Rakyat dalam Lirik Lagu Didi Kempot

biem.co — Di masa pandemi Covid-19 ini telah dua kali kita kehilangan musisi besar, pertama ketika Glenn Fredly meninggal dunia pada 8 April 2020. Tak lama berselang, sang legenda tembang Jawa juga dipanggil Yang Maha Kuasa pada 5 Mei 2020.

Kepergian penyanyi yang dijuluki The Godfather Of Brokenheart ini begitu mengejutkan masyarakat dan para penggemarnya yang dijuluki dengan Kempoters dan Sobyat Ambyar. Penyanyi spesialis lagu Jawa ini meninggal setelah memberikan persembahan konser “pamitan” dalam penggalangan dana bagi masyarakat terdampak wabah Covid-19.

Konser luar biasa yang mampu menggalang dana lebih dari Rp5 miliar hanya dalam waktu 3 jam, dan bertambah menjadi Rp7,6 miliar setelah diperpanjang beberapa hari. Sebuah pertunjukan yang menghibur sekaligus menunjukkan kepedulian Didi Kempot terhadap masalah sosial yang terjadi.

Lagu-lagu Didi Kempot yang mencapai 700 lebih lagu memiliki berbagai macam tema, mulai dari tema komedi seperti lagu Kuncung dan Cucak Rowo, atau lagu-lagu yang menyebutkan nama tempat, seperti lagu Solo Balapan, Parangtritis, Angin Malioboro, hingga yang terbaru lagu Kangen Nickerie.

Namun yang menjadikan seorang Didi Kempot sebagai penyanyi fenomenal dalam dua tahun terakhir adalah lagu-lagu bertema patah hati dan sakit hati seperti lagu Cidro, Layang Kangen, Sewu Kutho, Kapusan Janji, Suket Teki hingga Pamer Bojo dan Tatu.

Di antara ratusan lagu Didi Kempot, mungkin tidak banyak masyarakat atau penggemarnya yang mengetahui lagu-lagu bertema sosial dan mengandung pesan-pesan moral. Seperti kita ketahui, lagu yang berisi nada dan lirik adalah media penyampai pesan yang cukup efektif.

Lirik atau teks dalam lagu dapat digunakan untuk mempresentasikan secara langsung pesan-pesan yang ingin disampaikan penulisnya, atau pun menyampaikan pesan secara tersirat (representasi). Stuart Hall (1997) menyampaikan representasi adalah menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna.

Beberapa lagu Didi Kempot yang menyampaikan pesan sosial dan moral melalui liriknya, misalnya lagu Bakso Sarjana, Pak KPK (Ada Orang Korupsi), dan lagu Bapak Gubernur. Lirik lagu sebagai sebuah teks, tidak dapat lepas dari kejadian sosial yang dialami oleh pengarang atau penulisnya.

Teks, sebagaimana disampaikan Norman Fairclough (2010), adalah elemen dari kejadian sosial yang memiliki efek, salah satunya adalah perubahan. Didi Kempot (DK) sebagai salah seorang penulis lirik yang memiliki banyak penggemar juga memanfaatkan keunggulan lagu sebagai media penyampai pesan untuk menyuarakan masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

Namun di antara ratusan lagu Sang Maestro, terdapat satu lagu baru yang diciptakan DK dan menurut interpretasi penulis membawa pesan sosial, bahkan politik adalah lagu Tatu.  Sebuah lagu yang diciptakan oleh DK untuk seorang anak penyandang tunanetra bernama Ardha Krisna Pratama.

Penulis mencoba membuat interpretasi berbeda terhadapa lirik lagu yang secara tersurat bercerita mengenai seseorang yang ditinggal pergi setelah diberikan janji-janji manis oleh pasangannya ini.

Lagu yang dinyanyikan bukan oleh DK sendiri, namun “meminjam” suara emas seorang anak penyandang disabilitas, orang yang seringkali terpinggirkan di negeri ini. Jika dianalisis kata dan kalimatnya, lirik lagu Tatu (Bekas Luka) ini memiliki makna yang cukup mendalam sebagai sebuah pengingat bagi penguasa.

Lirik awal lagu adalah “Senajan kowe ngilang, ra biso tak sawang, Nanging neng ati tansah kelingan”, Manise janji-janjimu kuwi nglarani ati” (meskipun kamu menghilang, tidak dapat aku lihat lagi, namun di hati selalu teringat, manisnya janji-janjimu menyakitkan hati).

Penggalan lagu tersebut mengingatkan kita bagaimana para pejabat dan penguasa di negeri ini yang hanya muncul ketika mereka membutuhkan suara rakyat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Ketika hajatan pemilu atau pilkada telah selesai, mereka akan lupa pada janji-janji yang telah disampaikan saat kampanye.

Satu hal yang telah menjadi “habitus” di negara demokrasi ini. Dapat kita lihat ketika terjadi pandemi Covid-19, banyak wakil rakyat dan pejabat yang seakan menghilang dan tidak memberikan solusi atau bantuan kepada konstituen yang telah memilihnya.

Dalam lagu Tatu, DK juga menuliskan “Senajan aku lara, ning isih kuat nyonggo, Tatu sing ono ndodo, Perih rasane yen eling kowe, Angel tambane” (Meskipun aku sakit, tetapi masih kuat menahan, bekas luka yang ada di dada, perih rasanya jika ingat kamu, susah obatnya)”.

Satu baris kalimat yang menggambarkan  sakit yang dirasakan oleh rakyat kecil akibat janji-janji palsu penguasa. Meskipun harus merasakan perih dalam kehidupan, namun rakyat tetap bertahan dengan segala keterbatasan.

Melalui lirik lagu ini, DK ingin mengingatkan para pejabat dan penguasa agar sadar bahwa rakyat tidak akan melupakan apa yang telah mereka perbuat, karena telah meninggalkan bekas luka (Tatu) yang dalam.

Lirik selanjutnya lagu Tatu, Didi Kempot menyinggung tentang penyampaian aspirasi oleh rakyat. Lirik “Opo aku salah yen aku crito opo anane, wong sing neng sandhingmu ben melu krungu piye tenane, opo aku salah yen aku kondho opo anane (Apakah aku salah jika aku bercerita apa adanya, orang yang ada di sampingmu supaya ikut mendengarkan seperti apa sebenarnya, apakah aku salah jika aku berkata apa adanya).

Sebuah kalimat tanya yang ingin menyampaikan pesan tentang rakyat yang ingin menyampaikan aspirasinya kepada para pejabat, agar orang lain mendengarkan apa yang mereka keluhkan.

Para pejabat dan penguasa seharusnya dapat mendengarkan apa yang menjadi kesulitan rakyatnya, tanpa harus takut “orang yang di samping” mendengarkan. Orang yang di samping ini dapat kita interpretasikan sebagai media, atau lapisan rakyat lainnya yang seringkali memberikan kritikan terhadap kinerja penguasa.

Sebuah pesan tentang transparansi dan kejujuran yang harus dimiliki oleh penguasa agar dapat mensejahterakan rakyatnya.

Lagu yang diciptakan DK beberapa bulan sebelum meniggal ini ditutup dengan kalimat “Ceritane tresno naliko biyen Aku lan kowe, Senajan aku lara, ning isih kuat nyonggo Tatu sing ono ndodo, Perih rasane” (Ceritanya ketika dahulu aku dan kamu, meskipun aku sakit, tetapi masih kuat menahan).

Sebuah kalimat yang memberikan gambaran bagaimana penerimaan seorang DK terhadap keadaan yang belum membaik di negeri tercinta. Rakyat masih harus menanggung beban dan perihnya janji-janji yang pernah disampaikan oleh penguasa, namun hingga kini banyak yang tak ditepati.

Namun, sekali lagi ini adalah hasil interpretasi penulis terhadap lirik lagu Didi Kempot. Sebuah lagu yang diciptakan di tengah kondisi ekonomi negara yang kurang baik, serta masih tingginya kemiskinan dan pengangguran. Lagu tentang sakit hati dan perasaan kecewa karena janji-janji yang tak ditepati.

Semoga gelontoran dana desa, Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, hingga Kartu Prakerja dapat menghilangkan Tatu di hati rakyat Indonesia, sehingga Sang Maestro dapat beristirahat dengan tenang di persemayaman terakhirnya di Ngawi. (*)


Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjahmada Yogyakarta, Dosen Ilmu Komunikasi Telkom University Bandung.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button