Menjaring Angin
oleh
Lufti Avianto*
“Selama ini kau ke mana saja?”
Aku hanya tercenung mendengar pertanyaan istriku, ketika aku takjub melihat anak sulungku yang berusia sembilan tahun, sudah setia menekuri buku cerita setebal empat ratus halaman, si Nomor Dua yang tujuh tahun, mahir menggambar dengan aneka warna, si Nomor Tiga yang empat tahun, telah mandiri makan sendiri –meski remah-remahnya berceceran di mana-mana- dan si Bungsu yang dua tahun, telah fasih berbicara, “Aku sayang ayah.”
Sindiran itu tak aku tanggapi. Tentu saja aku tak ke mana-mana, aku menjawab dalam hati, sambil menikmati rehat kopi siang itu.
Aku ada bersama istriku dan empat anak-anak kami di rumah. Menjalani rutinitas sebagai pejuang keluarga, berangkat sejak matahari belum terang benar, bekerja di kantor nyaris seharian, lalu pulang ke rumah ketika gelap telah pekat. Begitulah aku setiap Senin sampai Jumat, delapan jam sehari, lima sampai enam hari sepekan. Kalau tak lembur, akhir pekanku juga akan tersedot pada gawai yang seolah menjadi belahan jiwaku, selain istri dan empat buah hatiku. Setidaknya, sebelum wabah virus korona menerkam kota.
***
Sebulan lalu atau kemarin, aku lupa tepatnya, mungkin karena pertanyaan ini selalu mengemuka. Istriku bertanya, atau lebih tepatnya mengeluh dengan rasa menyindir. “Sepertinya kau tak bisa, ya, hidup tanpa gawai?”
Mataku, juga konsentrasi dan pendengaranku, masih menancap pada gawai. Sehingga, pertanyaan istriku akan lamat-lamat terdengar seperti dengungan. Dan biasanya, aku akan merespons, “Ah, kenapa, sayang?”
Dan setelah itu, terbitlah pertengkaran-pertengkaran kecil di antara kami berdua.
Baca Juga
Istriku merasa, ragaku ada di rumah, tapi ruhnya tidak. Sehingga ia merasa bicara dengan mayat hidup saja. Jangankan perhatian, permintaan bantuan kecil untuk mengurus pekerjaan rumah saja kerap tak kupenuhi.
Aku dan gawai memang sulit dipisahkan. Jauh lebih akrab ketimbang aku dengan istri juga anak-anakku. Keluhan, pertanyaan atau sindiran, selalu aku tangkis dengan alasan, ini semua kulakukan demi keluarga, demi anak-anak, dan juga demi istriku.
Sebagai manusia yang hidup di era teknologi, kehadiran gawai pintar sangat membantu merantasi banyak tugas dan memberi banyak kemudahan. Mulai dari urusan domestik rumah tangga, hingga urusan pekerjaan. Untuk urusan terakhir ini, aku benar-benar fokus dan tak bisa diganggu. Ia bisa membantuku melakukan apa pun; koordinasi dengan kolega di grup WhatsApp, menulis dan menyunting dokumen, mengirim surel, membuat materi presentasi, bahkan rapat melalui video conference yang sangat berfaedah saat masa swakarantina di tengah pandemi ini.
Karena gawaiku bisa melakukan itu semua –demi alasan menunjang pekerjaan- ia begitu menyedot semua perhatian, dan mungkin kasih sayangku. Dan di bagian pamuncak menuju akhir pertengkaran rutin itu, aku akan merapal mantra yang akan membuat kami berhenti berdebat, “Toh, aku melakukan ini semua karena perusahaan tempatku bekerja, aku digaji, dan itu semua untuk kalian.”
Kalau sudah begitu, istriku diam saja. Ia jadi merasa remuk dan tak berarti, lantaran aku selalu mengatakan –meski tidak secara eksplisit- akulah di rumah ini yang menghasikan rupiah sehingga bisa menafkahi keluarga, yang itu semua ditunjang oleh gawai pintarku.
“Jadi, atas nama itu semua dan keberlangsungan hidup kita, kalian harus maklum!”
Kantor, kantor dan kantor selalu yang aku bela meski aku berada di rumah, atau tengah jalan-jalan menghabiskan akhir pekan dan waktu libur bersama keluarga. Gawai itu selalu menemani. Di kantor, di kantin saat makan siang, di rumah, di kamar tidur, bahkan di toilet. Ke mana pun dan di mana pun.
Gawai itu seolah menjadi separuh nyawa. Ketiadaannya, membuatku seperti orang yang kehilangan asa dan cinta. Pernah suatu ketika, gawai berlayar enam inch itu tertinggal di rumah saat tengah diisi daya. Aku bingung setengah mati setiba di kantor, ketika aku tak menemukan gawai itu tak ada di saku, tempat ia biasanya disimpan. Aku panik, sebab di saku celana, dan tas kerja, juga tak aku temukan di sana. Aku segera mengontak istriku dengan telepon kantor, meminta ia mengirimkan gawai itu dengan jasa ojek daring ke kantor, meski dengan biaya ratusan ribu rupiah. Jumlah yang biasanya akan sangat kuperhitungkan bila salah satu dari empat anakku meminta dibelikan mainan atau jajanan.
***
“Siapa yang mengizinkan kamu nonton You Tube di gawai ayah?”
Aku murka ketika mendapati anak sulungku dengan asyiknya menonton entah video apa. Aku merampas gawai kesayangan itu, dengan mata yang hampir meloncat. Si Sulung mengkerut.
“Aku yang tadi mengizinkan. Si Abang, kan, sedang dapat tugas dari sekolah untuk nonton video itu,” istriku menyela, berusaha mendinginkan suasana.
“Kenapa nggak pakai gawai Bunda saja?” aku makin sewot ketika melihat notifikasi kuota internet mulai menipis.
“Kuota internetku baru saja habis, Yah. Kan sejak belajar di rumah, materi belajar dan tugas si Abang, lewat internet…”
Akhirnya dengan berat hati, kurelakan gawai itu dipakai si Sulung menonton video, hingga kuota internet itu benar-benar tandas tak bersisa. Aku mendengus kesal, ketika harus mengisi pulsa untuk kedua kalinya di bulan yang sama.
Baca Juga
Tengah hari, saat makan siang, emosiku kembali memuncak manakala si Bungsu memuntahkan sisa makanan dan percikannya menodai layar gawaiku.
“Adek, hati-hati dong!” tanganku sigap meraih gawai di meja makan, mengusap-usapnya dengan tisu, lalu menyimpannya di saku. Si Bungsu lalu menangis.
Istriku geleng-geleng kepala melihat peristiwa itu. Ia mungkin setengah tak percaya, aku bisa menghardik anak sendiri yang masih berusia dua tahun.
Hardikan dan protes juga tak segan aku keluarkan bila di antara mereka dengan tak sengaja menjatuhkan gawai kesayangan, atau memegangnya dengan tangan berminyak penuh kotoran.
***
Sudah lebih dari sebulan, aku bekerja di rumah alias work from home (WFH). Istilah itu nge-trend saat Covid-19 yang mematikan ini, mengancam dunia, termasuk kota kami. Wabah ini memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menutup kantor-kantor, membatasi transportasi umum dan pribadi, serta pergerakan masyarakat yang dibuat berjarak sedemikian rupa.
Dampaknya bagi dunia usaha sungguh berdarah-darah. Jangankan meraup laba, mempertahankan agar tidak rugi saja sudah luar biasa. Apalagi di zaman dengan sistem ekonomi kapitalistik ini, mana ada perusahaan yang mau membiarkan para karyawannya berleha-leha di rumah dengan bayaran gaji utuh setiap bulan?
Maka atas nama penyehatan perusahaan, dimulailah drama pemutusan hubungan kerja.
Tak terkecuali di perusahaan tempat aku bekerja. Mereka melakukannya secara bertahap agar karyawan tidak shock berjamaah. Ada yang langsung di-PHK, ini menimpa karyawan kelas bawah. Ada pula yang dirumahkan untuk sementara waktu sambil menunggu wabah mereda. Bila kondisi perusahaan tak kunjung membaik, akan berujung sama: dipecat. Ini menimpa karyawan kelas menengah, seperti staf senior hingga manajer sepertiku.
Dan pagi itu, setelah hampir lima puluh hari work from home, surat pemberhentian dengan hormat itu tiba. Dengan langkah ceria, si Nomor Tiga melambai-lambaikan surat yang diterimanya dari Pak Pos di beranda rumah. Aku membacanya di kamar seorang diri, surat yang membuatku sebagai lelaki sekaligus kepala keluarga kehilangan harga dan kepercayaan diri.
Rasanya seperti palu godam menghantam dadaku. Pukulan yang menyisakan perasaan sakit tak terperi. Air mataku tak lagi bisa keluar, sebab sedih telah bersalin rupa menjadi kecewa yang begitu berat. Kilasan peristiwa seperti film berputar di hadapanku. Seolah pengorbananku belasan tahun di perusahaan itu tak berarti apa-apa. Bekerja melebihi delapan jam tiap hari, atau lembur di akhir pekan dengan senang hati kujalani. Seperti menjaring angin, ternyata usahaku itu sia-sia. Air susu yang selama ini kuberi justru dibalas tuba. Aku tahu persis kondisi keuangan perusahaanku tak buruk-buruk amat. Hanya saja, aku tahu dari sumber tepercaya, kalau perusahaan telah berencana melakukan perampingan dan penghijauan. Karyawan tetap yang memiliki banyak tanggungan akan diganti dengan karyawan kontrak yang lebih muda dan belum menikah.
Istriku mendekat, di saat aku ingin menjauh dan menyendiri. Bukankah setiap lelaki perlu ruang pribadi yang tak seorang pun boleh mengusiknya? Tapi okelah, kali ini, kubiarkan ruang itu terisi. Setidaknya otak sadarku masih mengatakan bahwa ini bukan hanya soal aku yang kehilangan pekerjaan, tetapi soal nasib anggota keluarga yang lain di masa depan. Ini bukan cuma tentang aku, tapi kami.
“Sabar ya, Yah. Kita pasti bisa keluar dari cobaan ini,” ia berbisik, sambil memelukku dari belakang. Dagunya disandarkan pada pundak kiriku. Ia meraih tanganku, lalu dijalinnya jadi satu dengan tangannya.
“Apa rencana Ayah selanjutnya?” ia bertanya hati-hati.
“Uang pesangon dan tabungan kita cukup untuk biaya hidup sederhana selama dua tahun ke depan. Aku mau buka usaha jasa konsultasi saja. Pengalamanku jauh dari cukup. Aku tak mau jadi sapi perah perusahaan lagi.”
Karena pintu kamar setengah terbuka, si Sulung menyelinap masuk. Ia heran melihat raut wajah kedua orangtuanya yang mendung tak bercahaya. “Ayah sama Bunda kenapa?”
“Nggak apa-apa…” istriku menyeka air mata yang hampir menggenang. “Ayah punya rencana buka usaha, jadi punya banyak waktu untuk kita.”
“Jadi kantornya nanti di rumah gitu ya, Yah?” ia melirikku.
Aku mengangguk, sembari memaksakan senyum.
“Hore… aku bisa main seharian sama Ayah, dong,” ia menghambur keluar, lalu bilang ke adik-adiknya kalau ayahnya bakal sering menemani mereka bermain dan belajar.
“Aku ingin melunasi hutang pengasuhanku dan lebih banyak waktu menyaksikan mereka tumbuh,” aku berbisik.
Istriku memeluk lebih erat lagi.
—-
29 April 2020, Sawangan, Depok, Jawa Barat
*Lufti Avianto adalah pendiri gerakan literasi @books4care. Karya fiksinya antara lain Peti Mayat Koruptor (Gong Publishing, 2020) dan Pitu Loka (Diva Press, 2019).