TEMA BUDAYA
Desember merambat gersang di layar android
sayapnya dibanduli besi
beberapa koloni debu datang menjajah
sekumpulan bait puisi rindu pun menjadi absurd
mereka memaksa anakanak puisi mati muda di tubuh metafora
dan musim belum ingin mengganti tema di sebuah peragaan busana
dan seorang penyair sibuk menyinyir tentang kebijakan kota
merasa paling berbudaya sebagai subyek kata
aku sejenak berhenti dan menggaruk punggung yang tidak gatal
hanya sugesti tentang mikrofon yang distorsi
aku ingin lepas dari tempat ini
dan hidup beranak pinak di sebuah cerpen minggu
Gang Mawar, Desember 2019
BUDAYA BARU
Sekelebat senyum di antara kibar bendera, Ia masih menahan getir. Penat sekali berbulanbulan menyimak berita politik. Tubuhtubuh pikiran terseret ke dalam perdebatan. Mereka berdendang lagu menang kalah dan kesejahteraan, namun amnesia di meja jamuan.
Lihatlah kemari sayang, manusia memilih jalan. Lubanglubang menganga menanti mangsa. Ladang kangkung dan bayam bimbang menyimak saham pabrik. Mereka tergadai sebagai evolusi ekonomi. Ikanikan pun yatim piatu. Invasi serombongan truk tanah telah menarik garis pantai yang baru. Kita di sini di depan laptop ini begitu gagap menelan budaya baru. Kita membeli pita suara untuk terdiam lagi sebagai sebuah akun. Sungguh di luar ekspetasi.
Bukubuku berdebu masih meratapi gelak tawa di ujung sebuah ruangan. Seperti suara ledakan di bangku taman yang terhalau suara sirine. Tubuhtubuh pikiran ringkih, rebah menindih arsip sejarah. Mereka menjadi buta di masa ini, tidak mampu mencegah anakanak kita terculik sebagai kebisuan dalam aplikasi game online.
Kota ini lalu terbersit sebagai diksi. Konstruksinya bergenit ria menggelar pentas sastra. Dicelup ke dalam hangat seduhan susu sore hari sebagai penawar luka di siaran berita. Aku terpaku menatap air susu yang belum berhenti berputar. Pusarannya melemparkan lamunanku ke riuh pasar. Pasar itu menjajakan aneka macam daging republik yang sudah tidak bugar. Penuh luka yang setiap hari memenuhi konstruksi kota. Luka dan kita begitu menikmatinya.
Kamu aku ada di lingkungan seperti apa dan bagaimana, sayang ?
Gang Mawar, 14 September 2019
KEGUGUPAN SEPOTONG DAGING
Sebuah pisau berbinar lapar. Dengusnya merapal darah dari daun kamar. Dan pandanganmu sedikit bergeser, memindai kegugupan kipas angin yang diremehkan debu. Radar dari bawah perut menangkap raut sinyal. Seperti ikan paus yang mengendus bau besi kapal selam.
Sepotong daging berdenyut sepanjang waktu. Lalu dengusnya merambat naik hingga ke pinggang. Di situ dosadosa sedikit membanduli tarikan napas. Wajahmu yang pisau ingin sesekali merobeknya. aku sedikit bingung mengabulkan keinginanmu
Di bentangan dompet kulit itu, lembaran uang menyapa ramah. bertabur gemerlap sepotong memoar. Gemerlap ketika suasana hatiku terlalu temaram. Tak ada alasan untuk ditengok lagi ke belakang waktu
Ruang telah berpindah debar. Sekian bulan teronggok dalam diskusi. Tentang racun di paruparu kota. Beragam mata memegang tragedi. Dan melemparnya lagi ke lingkaran api. Ia berlari mengikuti aliran kuas yang kau saputkan. Hingga kota tak terlihat lusuh sebagai lukisan di sebuah galeri.
Gang Mawar, November 2019
KLIMAKS KATAKATA KOSONG
Orang butuh sarapan. Biar ruang kosong tidak terisi gulungan kabel. Nanti batu bisa melayang mencari pembenaran. Batu itu mungkin jatuh di meja sarapan. Disantap oleh logika dan filsapat. Entah filsapat seperti apa yang membenarkannya. Seperti ia yang tengadah dan terengah ketika batu menggarapnya sebagai sarapan. Malam itu cukup membahagiakan mungkin untuk sprei putih di ruang kosong tadi. Tempat logika mencari pembenaran untuk desah tertahan seekor filsafat.
Aku tak punya puisi seindah tubuhnya. Dia memintaku membunuh cahaya di dalam kepalaku supaya logika ini menuju kata klimaks. Dia seperti rima di susastra pujangga lama. Begitu indah discreenshoot walau berbohong terlalu akrab menambah dosa. Dia meminta puisi keluar dari kepalaku supaya penjajahan itu sempurna. Aku sulit mengabaikan permintaannya saat ruang begitu gelap. Aku tahu aku salah mengikuti katakata yang kosong, tapi tubuh telah berbicara. Kabelkabel kusut menggulungku dan memberi arus. Terlampau besar arus hingga puisi kekeringan sebagai sarapan. Aku kembali melayang bersama batu.
Utara Jakarta, 13122019
RUANG LAPANG DI ALIRAN DARAH
Penamu dan ide itu. Aku masih limbung. Sesaat menghirup dalamdalam udara dan membuka gerendel jendela. Tumpukan sampah masih memenuhi jarum jam. Sedangkan aroma embun hanya menitip kemarau. Orangorang tersenyum dari bilik pikiran mereka yang memikirkan lain hal dan belum pernah terpikirkan. Tentang dunia yang kecanduan insulin dan pewarna rambut. Dunia yang tak ingin padam sebagai bangkai.
Suasana kami di sini seperti ini. Bergerombol mengelilingi gelas kopi menjelang senja, hingga menyambung patahan waktu yang memar oleh kesunyian di sehelai prosa. Entah kau menatapku saat aku melemparkan seribu kata gulali di panggung itu semalam. Aku membiarkan suarasuara bergema di kepalaku lebih keras. Melepaskan tirai agar jalan terbuka lebar lalu kita mencair sebagai remah kesadaran.
Hutanhutan bersahutan sebagai alarm. Aku tak mampu lagi untuk fokus. Lembar puisimu mengeluhkan sesak asap yang mengepung sebagai metafora. Bahkan udara ingin mencari ruang lapang di aliran darah. Sementara kita tertatih menata kata di antara bising klakson dan fitnah media sosial. Kita pun meracuni polos wajah lingkungan masa kecil silam. Betapa ringkihnya sebuah situasi ketika kepingkeping ingatan menyatu di satu titik. Berbagai wajah mengirim gambar mereka sebelum siaran berita berganti topik. Bermacam peristiwa mencari tahu letak kesalahan demi keseimbangan urat syaraf. Dan tetap saja baik buruk menjadi tanya jawab yang tak pernah usai.
Jalan didepan sana tibatiba begitu menyempit. Semua kendaraan mengobral asap dari lambung dapur pacu. Kita menjadi suntuk dan mengutuk, mengapa waktu semakin jauh berlari saat kita terjebak dalam diam yang memasung roda. Udara di sini semakin mengoyak luka di jantung kota. Anakanak semestinya tidak beranjak melupakan naungan. Terperosok begitu dalam di jurang android dan tumbuh tanpa empati kepada dunia sekeliling yang ingin memeluknya sebagai manusia.
Mendadak lingkungan di sini begitu asing untuk dituliskan. Aku semakin limbung menggenggam pena ide.
Gang Mawar, 14 September 2019
Wahyu Toveng, lahir di Jakarta 16 januari 1977. Alumni Akademi Teknologi Grafika Indonesia. Seorang penikmat sastra dan puisi.