Perpisahan
Oleh: Nasrul M. Rizal
Aku bertemu dengan lelaki itu di halte. Dia buru-buru memalingkan wajah saat aku balik menatapnya. Dia pura-pura tidak melihatkuku padahal sedari tadi lelaki berambut ikal itu curi-curi pandang. Dasar laki-laki! Meskipun sedang membaca buku bukan berarti aku tidak memperhatikan sekelilingku.
Awan hitam memayungi halte. Sepertinya sebentar lagi langit akan menumpahkan kesedihan yang dirasakannya sedari siang. Di halte hanya ada kami berdua, aku dan lelaki itu. Entah mengapa tidak ada siswa lain yang menunggu angkutan kota di halte. Padahal dulu halte ini penuh oleh anak-anak berseragam putih abu.
Kendaraan bermotor berlalu-lalang di depan halte, bagai rombongan semut hendak berpindah sarang, baris tak beraturan. Bunyi klakson saling bersahutan, ramai sekali. Namun keramaian itu tidak menular ke halte. Kami asyik dengan dunia masing-masing. Aku membaca buku Hujan di Bulan Juni, karya Sapardi Djoko Damono. Sedangkan lelaki itu bergumam tidak jelas. Sepertinya dia sedang bernyanyi atau entahlah.
Hujan benar-benar turun.
Beberapa pengendara sepeda motor berteduh di halte. Lelaki itu membalas senyuman seorang perempuan yang baru datang. Mempersilakan perempuan berambut panjang itu duduk di sebelahnya. Pintar sekali dia memanfaatkan keadaan. Kenapa dia tidak menyuruh perempuan itu duduk di sebelahku? Dasar lelaki!
Dari penampilannya aku menduga kalau lelaki itu anak nakal. Lihat saja seragamnya kotor dan rambutnya berantakan. Kalau saja tidak turun hujan, bau badannya pasti merusak indera penciumanku. Dia terlihat gelisah. Mungkin gara-gara angkot yang berhenti selalu penuh. Kalau mau kosong mah ya naik ambulan saja.
Langit kian redup. Hujan tak kunjung reda.
Aku kembali membaca buku. Sedap sekali menikmati Hujan di Bulan Juni saat turun hujan. Dan lebih sedap lagi membaca buku ini di bulan Juni. Sajak-sajak yang terpatri di dalamnya menyejukkan dan menenangkan. Tak peduli berapa kali pun membacanya, rasanya tetap sama, menyenangkan.
Sudah beberapa jam kami terperangkap di halte ini. Lelaki itu semakin gelisah. Berkali-kali dia melihat jam di layar ponselnya. Samar terdengar dia mengaduh. Pengendara motor yang tadi singgah nekat menembus hujan. Apakah mereka tidak punya waktu untuk menunggu hingga hujan reda? Atau menunggu itu buang-buang waktu? Tinggallah kami berdua di halte biru ini.
Hujan mulai reda. Lelaki itu berdiri, menghentikan angkot berwarna merah dengan telunjuknya. Tak lama kemudian dia beranjak dari halte. Meninggalkan aku tanpa sepatah kata pun. Ia orang yang entah ke berapa yang melakukannya, menghiraukan keberadaanku.
Langit sempurna gelap dan aku masih setia dengan Hujan di Bulan Juni.
***
Hari berganti.
Tepat sebelum hujan semakin deras aku tiba di halte biru. Aku mengibas air yang membasahi baju. Lagi-lagi lelaki itu curi-curi pandang. Rupanya hari ini dia datang lebih dulu. Dia membalas senyumanku, kaku sekali. Aku duduk di tempat biasa, pojok kiri halte. Sementara dia di sebelah kanan. Aku membuka ransel, mengambil buku. Lagi dan lagi kubaca Hujan di Bulan Juni. Selain sajak-sajaknya yang indah, buku itu menyimpan kenangan manis dengan seseorang. Orang itu yang membuatku jatuh cinta pada puisi. Dia yang mengenalkan aku pada Sapardi Djoko Damono. Dia yang memberikan buku ini. Dia yang sering membacakan sajak-sajak di buku ini. Dia yang membuatku berada di sini.
Tidak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucap
diserap akar pohon bunga itu
Mataku beranjak dari buku, mencari sumber suara. Sepertinya aku tidak asing dengan suara itu, jangan-jangan itu suara dia?
Hmm ternyata suara itu berasal dari bibir lelaki yang menemaniku empat hari terakhir. Aneh sekali tingkah lelaki berambut ikal itu. Dia membaca sajak Hujan di Bulan Juni sambil memejamkan mata dan mengangkat tangannya. Tanpa sadar aku malah tertawa melihatnya.
Sepersekian detik kemudian dia sadar aku menertawakannya, lalu berkata, “Kenapa?”
“Coba ulangi sekali lagi.”
“Ulangi?” tanya lelaki itu.
Aku mengangguk.
“Engga ah aku malu.” Dia memalingkan wajah.
“Yahhh,” ucapku kecewa.
Padahal sudah lama aku tidak mendengar seorang lelaki membaca sajak hujan di bulan Juni dengan cara seperti itu. Seperti yang sering dilakukan lelakiku dulu. Andai saja dia…
“Kamu suka Hujan di Bulan Juni?” pertanyaan itu memupus lamunanku.
Sejenak aku melihat buku di pangkuanku, lalu mengangguk.
Lengang beberapa saat.
“Namaku Reihan. Panggil saja Rei.” Lelaki yang empat hari terakhir curi-curi pandang di halte mengenalkan diri. Ia mengulurkan tangan. “Siapa namamu?”
Reihan? Sepertinya aku tidak asing dengan nama itu.
“Namaku Raini.” Aku menyalami Reihan, simpul senyum terpatri di bibirku.
Belum ada tanda-tanda hujan berhenti. Meskipun tidak sederas tadi, ia lebih dari cukup untuk mengurung aku dan Reihan di halte ini. Untungnya kami sudah berkenalan jadi kami bisa mengobrol. Dia pintar memilih topik pembicaraan. Kami membicarakan Sapardi Djoko Damono. Sastrawan hebat yang kukagumi. Beliau menerima berbagai penghargaan bergengsi. Karyanya tidak hanya dinikmati di Indonesia, tetapi sudah menjelajahi dunia. “Hujan di Bulan Juni adalah salah satu karya terbaik yang pernah ditelurkannya.” itulah yang diucapkan Reihan.
Aku tidak banyak mengomentari. Apa yang dikatakan Reihan semuanya benar. Aku membiarkan lelaki itu berkata hingga berbusa-busa. Sesekali aku tersenyum. Melihat raut wajahnya yang sangat antusias. Wajah itu mengingatkan aku pada lelakiku, Deni.
Perlahan tapi pasti hujan mulai reda. Kali ini waktu seakan berlalu lebih cepat daripada sebelumnya. Reihan beranjak dari tempat duduk, menghentikan angkot merah dengan telunjuk. Aku tersenyum, sopan menolak bujukan pulang bersama Reihan. Aku hanya ingin duduk di halte, menikmati hujan lebih lama, mengenang Deni.
***
Aku tiba di halte tepat sebelum hujan kian deras. Reihan menyambutku dengan senyuman. Aku bahagia. Bertahun-tahun lamanya tidak ada yang melakukan hal itu, menantiku penuh harap dan menyadari keberadaanku. Kini halte biru tidak sesepi sebelumnya.
Kami mengobrol. Reihan mendominasi obrolan. Awalnya dia sebatas basa-basi menanyakan kabar. Dia pandai mengembangkan pembicaraan. Ia menggiring kami ke dunia tulis. Aku sangat menyukainya, terutama yang berhubungan dengan puisi. Reihan lebih suka menulis cerpen daripada puisi. Dia menceritakan alasan kenapa mencintai cerpen.
“Bagiku cerpen adalah dunia alternatif yang kuciptakan karena muak dengan omong kosong di dunia ini.” Lelaki berambut ikal itu menjelaskan.
Aku mengernyitkan dahi, tidak paham apa yang dia maksud.
“Dunia nyata itu penuh omong kosong, Raini. Banyak yang orasi perihal keadilan, nyatanya sampai detik ini kakakku tidak mendapat keadilan. Mereka tidak berusaha mencari pelaku yang menabrak kakakku. Aku yakin itu bukan sekedar kecelakaan. Pasti ada unsur kesengajaan. Keadilan sebatas omong kosong, bukan?” Dia menatapku. “Nah, lewat cerpen, aku bisa menciptakan dunia lebih baik. Bahkan ada sesuatu yang mustahil di dunia nyata bisa dengan mudah aku ciptakan dalam cerpen. Kamu mau tahu Raini?”
Baca Juga
Aku mengangguk. Yang memantik rasa ingin tahuku bukanlah dunia alternatif yang ingin Reihan ciptakan, melainkan kakaknya yang tertabrak. Siapa kakaknya Reihan?
“Aku bisa menghidupkan kakakku yang lima tahun lalu meninggal dunia di sini, di depan halte ini,” Reihan diam sejenak, “jadi, aku bisa menyapanya setiap saat. Ketika aku merasa kesepian kakak menemani dalam untaian kata.”
Mataku mendung. Perakataan Reihan memanggil kembali sebuah kenangan, mengingatkan aku pada kejadian yang teramat menyakitkan.
Kala itu, lima tahun silam, emosi membakar hatiku. Aku tidak menerima penjelasan dari Deni perihal foto perempuan yang ada di ponselnya. Aku memaksa pulang meskipun hujan terlalu deras untuk ditembus. Hujan itu berhasil menyembunyikan air mataku, tapi tidak bisa menyembunyikannya dari Deni. Karena hal itu Deni tidak mampu mengendarai motor dengan baik. Sehingga kehilangan keseimbangan. Kami jatuh tepat di depan halte.
Di sini, di depan halte ini, lima tahun lalu, mobil tanpa ampun menabrak kami yang terkapar di jalan. Terakhir kali yang bisa kulihat ialah darah yang mengucur dari kepala Deni. Tak lama kemudian kesadaranku hilang.
Apakah yang dimaksud Reihan itu, Deni?
Aku memberanikan diri untuk bertanya, “Rei, siapa nama kakakmu?”
Reihan menatap langit yang kelam.
Detik demi detik berganti.
“Deni Mahardika Putra.”
Hujan mulai reda. Yang deras ialah air mataku. Pantas saja aku merasa tidak asing pada Reihan. Pantas saja saat melihatnya aku teringat Deni. Reihan benar, tabrakkan itu bukan sebatas kecelakaan, akulah penyebabnya, akulah yang membuat mereka harus berpisah, akulah yang membunuh kakaknya.
Hujan di bulan Juni sempurna reda. Tanpa berkata sepatah kata pun aku pergi meninggalkan Reihan dan tidak akan menemuinya lagi. Semoga dia tidak bersedih berpisah denganku. Sebagaimana aku yang bersedih karena berpisah dengan Deni, kakaknya. Perpisahan yang tidak aku harapkan. Semoga dia tidak menungguku, apalagi sampai mencariku. Karena aku tidak akan pernah kembali lagi ke halte. Dan semoga Reihan tidak akan pernah tahu kalau aku adalah Raini yang mati bersama kakaknya lima tahun lalu.
Nasrul M. Rizal seorang guru yang mengajar dan belajar pada waktu yang sama.