Opini

Ali Faisal: PSBB; Filosofi Kawaluh dan Leuit Baduy

biem.co — Tinggal menghitung hari, tiga daerah di Provinsi Banten akan segera diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Mekanisme pelaksanaan PSBB ini seperti lockdown yang sudah terlebih dulu diberlakukan di beberapa negara terdampak virus corona.

Bedanya, jika lockdown benar-benar menghentikan seluruh aktivitas masyarakat, alhasil seperti yang kita lihat di TV, Kota Wuhan waktu itu menjadi seperti kota mati. Sedangkan PSBB yang sudah diberlakukan di Jakarta misalnya, masih menoleransi beberapa aktivitas sosial dengan ketentuan-ketentuan yang diatur model Indonesia.

Rasa prihatin dan perasaan sedih, dimana dalam hari-hari ke depan saudara-saudara kita di Tangerang Raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) akan lebih terbatas lagi beraktivitas, meskipun sebelumnya sudah terbatas secara keseluruhan dengan arahan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah, ketat menjalankan protokol dengan sosial-physical distancing, semuanya sedang kita jalani, tetapi tentu akan lebih ketat dan mengandung konsekuensi bila daerahnya dalam status PSBB.

Saya ingat betul, 12 hari sejak pertama kali Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama terhadap dua orang Indonesia yang terpapar virus corona. Di hari ke-12 itu, jumlah orang yang positif baru berjumlah 117 kasus, yang satu diantaranya menimpa Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi.

Waktu itu, sebagai warga negara, saya mengapresiasi langkah pemerintah yang dengan cepat mengeluarkan Keppres Gugus Tugas dan berbagai kebijakan lainnya, sambil mengingatkan bahwa tren penyebaran virus ini tak terkendali oleh karenanya harus dibendung dengan cara-cara penuh kendali dan pemerintah harus mengambil peranan dominan garda terdepan.

Lebih lanjut, tulisan menguraikan kemungkinan pilkada kita yang diundur, karena jika suasana menjadi semakin tak menentu dan membahayakan maka kaidah fikih menghilangkan kemudaratan lebih didahulukan daripada mengambil maslahat sudah cukup alasan melakukan penundaan, dan nyatanya kemudian pilkada ditunda berdasarkan Keputusan KPU No. 179, sebagai respons perkembangan virus yang menjadi bencana nasional.

Berkejaran Waktu

Waktu berganti, seiring penyebaran virus yang meluas, berdasarkan update data Covid-19 di Indonesia (13/4/2020) terkonfirmasi positif sebanyak 4.557 terjadi penambahan 316 kasus dalam 24 jam terakhir, dengan rincian 3.778 di awat, 399 meninggal, dan 380 orang dinyatakan sembuh.

Data di atas termasuk yang terpapar di Provinsi Banten dengan jumlah korban terbanyak di Tangerang Raya. Maka patutlah dimaklumi jika kemudian kebijakan PSBB diberlakukan, sekali lagi demi kebaikan bersama melawan penyebaran virus mematikan ini.

Menyikapi kebijakan PSBB, sebaiknya jangan radikal, horor dan ketakutan berlebihan dengan cara memborong bahan makanan dan kebutuhan pokok atau istilahnya panic buying, agar sirkulasi distribusi berjalan alami dan berkesinambungan.

Menyikapi hal ini, baik kiranya disimak tayangan video berjudul ‘Selalu Ada Nasi Telor Ceplok’ karya Edward Suhadi yang tersebar di grup-grup WhatsApp. Video ini menarasi audio-visual soal telor ceplok panas dicampur kecap, makanan kesukaan kebanyakan orang Indonesia.

Panic buying akan membuat harga naik dan stok kosong, lebih dari itu membuat suasana mencekam. Barang itu cukup asal tidak dibeli berbarengan, jika orang-orang membelinya bergantian maka kurvanya landai pasti lebih dari cukup.

Hargai semua keringat yang sedang berupaya menghalau virus, atau setidaknya kita menghargai para tenaga medis yang bertarung nyawa digaris depan. Sungguh sebuah ajakan yang penuh empati dalam video singkat itu.

Belajar dari Baduy

Jika kita menepi sebentar saja, tak jauh dari kita, ada masyarakat adat yang terlebih dahulu melaksanakan PSBB, orang-orang Baduy Dalam. Masyakarat Kanekes menutup diri selama tiga bulan sejak tanggal 25 Februari sampai tanggal 30 Mei 2020 atau 1 Kawaluh Tembey sampai 1 Safar menurut penanggalan Baduy. Mereka sedang berjibaku dalam ritual kawaluh yang digelar setiap tahun.

Selain saya sendiri beberapa kali melakukan kunjungan baik pada Masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam, dan bertanya langsung tentang pelaksanaan upacara kawaluh, keterangan ilmiah empiris dicatat dengan rapi. Salah satunya oleh Syukri Batubara dalam Disertasi berjudul Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Baduy (UII, 2010). Ia jelaskan bahwa lingkaran kehidupan orang Baduy dalam setahun setelah panen adalah kawaluh, ngalaksa dan seba.

Nilai Filosofis

Kawaluh merupakan sebentuk ungkapan rasa syukur atas keberhasilan perladangan, dan selama tiga bulan mereka menutup diri dari orang asing, wisatawan atau tamu dari luar kecuali beberapa yang dikecualikan, seperti perwakilan pemerintah atau tamu dengan keperluan khusus. Di dalam, mereka menyibukkan diri dengan ritual adat, puasa dan kontemplasi.

Upacara Kawaluh meliputi Mitembeyan, yang memilik makna menjemput Dewi Sri, kemudian Kawaluh Panengah adalah proses memilih padi terbaik untuk benih masa tanam berikutnya. Kawaluh Tutug, proses membersihkan diri, dengan cara mandi disungai dan memercikkan daun hanjuang. Proses terakhir ini bermakna membersihkan diri dari segala kotoran diakhiri menyalakan obor tanda kebersamaan dan kekeluargaan (Syukri, 2010).

Mengapa Kawaluh dilakukan? Mengapa orang luar dilarang memasuki wilayahnya selama tiga bulan? Ternyata mereka sedang melakukan proses keseimbangan, mereka sedang membangun sikap rendah hati pada sang Tuhan yang selama ini memberikan berbagai kemurahan, maka ritual, puasa dan doa-doa adalah hal yang layak dipanjatkan, hasil panen mereka syukuri dengan kesyukuran yang melibatkan Tuhan dengan sepenuh sungguh.

Hasil panen juga dirayakan dengan cara kebersamaan lagi membahagiakan, dan yang memahami itu semua adalah mereka sendiri. Kawaluh bernilai dua, satu hal merayakan kesyukuran atas melimpahnya hasil bumi, hal berikutnya memanjatkan doa agar hasil berikutnya juga berkah dan melimpah.

Kawaluh merupakan perenungan dan semacam evaluasi diri hubungan antara Tuhan, manusia dan alam semesta, lebih dari itu kawaluh merupakan momentum yang sengaja di buat se-orisinil mungkin dengan konsep oleh-dari dan untuk masyarakat sendiri, sebentuk konsep berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana kebutuhan logistik mereka selama masa PSBB Kawaluh? Pada bagian ini juga kita memetik pembelajaran, jika diperkotaan apalagi yang sedang diberlakukan PSBB kita harus bisa cukup makan telor ceplok panas ditambah kecap manis sebagaimana gambaran video yang diceritakan di atas, maka  masyarakat Baduy telah memitigasi dirinya dengan kebiasaan prihatin, tetapi memilik cadangan logistik yang disimpan dalam lumbung/leuit.

Pare huma/padi hasil ladang pantang mereka perdagangkan, diperuntukkan untuk kebutuhan sehari-harinya dan disimpan dengan apik yang kuat hingga puluhan tahun dalam leuit. Pada umumnya, setiap keluarga memiliki minimal satu leuit, dari sinilah pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan upacara adat tercukupi secara mandiri.

Terakhir, tanpa bermaksud secara persis mempersamakan atau bahkan membandingkan satu keadaan dengan keadaan lainnya, satu entitas sosial dengan entitas lai, meskipun juga tidak secara diamtral berbeda sama sekali.

Intinya, di masa sulit seperti saat ini, kita harus selalu empati pada sesama. Yakinlah bahwa PSBB, WFH,  sosial-physical distancing ini hanya sementara, ikhtiar kita memindahkan dari satu takdir Allah ke takdir yang lain.

Semoga kita semua bisa menjadi pahlawan dengan banyak mengambil pelajaran, agar tidak merasa sendirian, termasuk memaknai teladan dari saudara-saudara kita dari tanah Baduy. Wallahu a’lam bil showab. (*)


Tentang Penulis:

Ali Faisal. Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Banten.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button