biem.co — Rangting pun tak rela, jika dengan sengaja kau patahkan, katamu. Aih ngomong apa sih kamu, kataku. Sesaat kemudian aku dan Nike terdiam, menikmati suara sendu yang ditimbulkan hujan gerimis senja itu. Kau tahu, jika kau memiliki ajian sabda pangrungu bahkan daun kering yang kau injak—kau akan mendengarnya; ia merintih kesakitan, pula dengan hati yang kau sakiti—ia kan kau dengar menjerit-jerit—mengadu pada Tuhan, hati yang kau sakiti akan mendoakan kau agar kau terlunta-lunta di dunia dan alam baka, ujarmu kemudian. Dan aku tambah tidak mengerti.
Aku hanya lelaki yang berpikiran sederhana, tidak seperti kau yang selalu berpikiran rumit, Nike, kataku sejurus kemudian.
Bukan pikiranku yang rumit, namun kau perlu waktu untuk memahami kata-kataku, balasmu tak mau kalah.
Pernahkah engkau merenung?” tanyanya.
Buat apa aku merenung? Aku balik bertanya.
Agar kau mengerti, kenapa kau ada di sini, untuk apa kau di sini, dan apa tujuanmu merangkak-rangkak di muka bumi? Nike menjelaskan. Namun, aku semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya.
Jika demikian, sebelum kau mencintaiku, maka cintailah kesunyian itu!
Maksudmu?
Nike tak menghiraukan tanyaku, selanjutnya ia bangkit dari duduknya, seraya masuk kedalam kamarnya, sebelum menutup pintu, ia berujar; Eka, aku akan bercinta dulu dengan kesunyian, kau tak boleh menggangguku, kau jangan marah jika selulerku tak dapat kau hubungi. Sebelum aku berujar, namun pintu kamar Nike telah tertutup dengan rapat. Tanpa pamitan terlebih dahulu; akupun bergegas pulang—dengan tentunya dengan membawa perasaan—yang sedikit dongkol.
⃰
Timbul juga rasa kepenasarananku. Apa yang dilakukan Nike dengan kesunyian. Ia begitu asyik menikmati kesendirian menikmati setiap liku detik-detik dalam kesunyian, bahkan ia menolak berkomunikasi dengan siapapun baik secara tatap muka maupun melalui seluler.
Pada suatu malam, di mana rembulan sedang menunjukkan kejelitaannya. Tampak awan-awan putih berarak terbang laksana malaikat tanpa sayap. Bintang-gemintangpun bercahaya laksana mata yang dikejap-kejapkan.
Seperti kucing yang hendak mencuri pepesan ikan, aku berjingkat-jingkat mendekati jendela kamar Nika. Melalui pentilasi jendela itu aku dapat memperhatikan Nike secara bebas.
Aku lihat, Nike duduk tercenung di bibir ranjangnya. Sebentar-sebentar ia berdiri dan mondar-mandir seperti sebuah setrikaan yang sedang melicinkan gaun. Kemudian ia duduk lagi, kali ini di bangku menghadap sebuah meja, kemudian ia membuka laci mejanya dan mengambil sehelai polio dan sebuah pulpen. Ia tampak asyik menulis, karena kegemerannya menulis puisi—aku yakin kali ini pun ia sedang menulis puisi.
Sial! Gumamnya.
Aku tidak dapat fokus malam ini! Desahnya.
Seperti ada yang sedang memperhatikanku, katanya. Sambil mengedarkan tatapannya kesekelilingnya.
Akupun, terperanjat—seolah Nike mengatahui bahwa ia sedang diamat-amati. Namun, aku bertahan, tetap berada di balik jendela. Jendela pun terbuka, untung saja gerakanku lebih cepat, dan aku sempat bersembunyi di balik semak-semak. Siapakah yang telah berani menodai kesunyianku, katanya, suaranya lantang, karenanya sangat terdengar olehku. Aku pun seperti seekor tikus yang ketakutan oleh eongan seekor kucing. Aku tak bergeming dari tempat persembunyianku. Hatikupun lega, setelah jendela itu kembali tertutup.
⃰
Kau dari mana semalam? Tanya Nike padaku. Oh, aku? Kataku terbata. Ia, siapa lagi!? Aku semalam di kamar saja, nggak ke mana-mana! Ujarku. Tapi kok kenapa selulermu tak dapat dihubungi? Ungkapnya bernada ketus. Aku sengaja mematikan selulerku, aku ingin bercinta dengan kesunyian, tukasku.
Kini aku dan Nike sama-sama pencinta kesunyian. Jika kita berjumpa nyaris tak ada kata antara aku dan Nike—kita sama-sama menikmati sunyi. Bahkan aku menemukan keriuhan dalam kesunyian, aku pula menemukan kesunyian dalam keriuhan. Dan aku beru mengeti—pada hakikatnya semesta kita merupakan semesta yang sunyi, maka kebahagiaan pun hanya dapat diraih melalui kesunyian itu. Ingar-bingar dunia hanya sesuatu yang diciptakan manusia, sehingga dalam ingar-bingar itu terdapat kepalsuan.
Jika sunyi telah menjadi teman kita yang akrab, maka kita tak akan merasa kesepian di dunia ini, katamu.
Kita telah tertipu oleh ingar-bingar dunia. Oleh karenanya ketika kita tidak menemukan ingar-bingar hidup kita berasa sepi—kita telah candu oleh ingar-bingar, bahkan kita menjadi anti sunyi, bahkan sebagian besar orang menanggap kesunyian yakni kesepian, dan orang yang dilanda kesepian berarti ia sedang menjaani hidup yang tidak bahagia. Sungguh itu kesalahan besar manusia, sambung kata Nike.
Lantas buat apa kita bertemu? Tanyaku sejurus kemudian.
Untuk mengetahui, bahwa makna yang mendasar dalam hidup kita adaah sunyi, jawab Nike.
Jika sunyi dapat menyatukan kita, buat apa kita bertemu? Tanyaku selanjutnya.
Biar kita sadar, bahwa dibalik pertemuan ada kesunyian, sebagaimana pertemuan selalu ada perpisahan, sebagaimana kehidupan pasti ada kematian. Perpisahan dan kematian sekelumit kesunyian yang sering kita saksikan, tukas Nike.
Bukankah perpisahan dan kematian adalah penderitaan? Tanyaku—kali ini aku tak sepakat dengan pendapat Gadis Sunyi, Nike.
Ya. Kematian dan perpisahan adalah penderitaan. Penderitaan bagi mereka yang anti kesunyian. Bagi mereka yang sudah akrab dengan kesunyian; kematian dan perpisaham merupakan kebahagiaan. Kematian menghantarkan kita pada kemaha sunyian, dan perpisahan menghantarkan kita kemaha perenungan sebab isi kesunyian tak lain perenungan itu sendiri, jawabnya—yang menurutku jawaban yang cukup rumit, dan aku kesulitan untuk mencernanya.
⃰
Kenapa kau tinggalkan aku? Tanya Nike setelah aku putuskan untuk berpisah dengannya. Agar kau bahagia, jawabku singkat. Kau merupakan Gadis Sunyi, kau tak akan berduka kendati aku pergi, sambungku—sejurus kemudian. Aku tidak menerima suatu perkataan lagi dari Nike. Dan jelas terlihat olehku; dari sudut-sudut matanya keluar air jernih. Air yang menandakan bahwa ia sedang bercengkrama dengan kesunyian, suatu air yang menjadi teman akrab bagi mereka yang kesepian.
Bahkan daun kering yang kau injak—kau akan mendengarnya; ia merintih kesakitan, pula dengan hati yang kau sakiti—ia kan kau dengar menjerit-jerit—mengadu pada Tuhan, hati yang kau sakiti akan mendoakan kau agar kau terlunta-lunta di dunia dan alam baka, demikian kata-kata Nike yang selalu terngiang-ngiang di telingaku. Dan aku menggumam dalam hatiku; semoga aku tidak menyakiti hati gadisku, Nike—si Gadis Sunyi.
Panggarangan, 5 Juli 2017-2020
Tentang Penulis:
Agus Hiplunudin adalah lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten, Jurusan ADM Negara dan telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Adapun karya penulis yang telah diterbitkan yakni:
- Kumpulan Cerpen Edelweis yang Merindu 2019, Spektrum Nusantara
- Kumpulan Cerpen Lelaki Paruh Baya yang Menikah dengan Maut 2019, Spektrum Nusantara
- Novel Dendam yang Indah 2018, Jejak Publisher
- Kumpulan Puisi Nya 2019, Spektrum Nusantara
- Novel Orang Terbuang 2019, Spektrum Nusantara
- Novel Derita 2019, Spektrum Nusantara
- Novel Cincin Perak 2019, Spektrum Nusantara
- Novel Awan 2019, Spektrum Nusantara.