biem.co — Menyaksikan jalanan kota yang sibuk dan berisik selama 24 jam, kadang terlintas iseng di kepalaku untuk menuliskan segala jenis kesibukan orang-orang di kota ini selama 24 jam itu, dalam buku catatan yang selalu kubawa dalam tas punggung ke manapun aku pergi. Agar aku juga terlihat sangat sibuk seperti yang lainnya.
Meski pada kenyataannya aku sebenarnya adalah pengangguran yang tengah berusaha menemukan sebuah tempat yang mau menerimaku bekerja. Sebab aku baru lulus SMA dan tanpa banyak pertimbangan nekat memutuskan merantau ke kota ini, tanpa memiliki pengalaman bekerja di bidang apapun, kecuali pengalaman membantu ayah menggarap kebun tomatnya di kampung.
Sebetulnya ayah melarang keras aku merantau. Ia menyuruhku untuk membantunya menggarap kebun tomat saja, sembari mencari informasi lowongan kerja yang tak jauh, dan melihat dengan sedikit iri teman-temanku yang lain pergi melanjutkan pendidikannya di universitas. Tapi aku menolak tawarannya dan memilih pergi ke kota. Walau aku sebetulnya paham bahwa hidup di kota ini sangat berat. Terlebih aku yang tak menguasai keterampilan khusus dan tak pula punya sanak saudara.
Aku hanya bermodal keyakinan dan tekad kuat bahwa aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak di kota ini, serta sejumlah uang yang ayah berikan. Hingga nanti bisa membantu ayah membiayai sekolah adikku yang masih duduk di bangku SMP sampai ia bisa menamatkan kuliahnya, agar tidak seperti aku. Ya, seperti yang kubaca di koran, kota ini menjanjikan masa depan yang cerah.
Pekan pertama aku menginjakkan kaki di kota ini semuanya terasa indah dan menakjubkan. Aku menyaksikan gedung-gedung tinggi berdiri kokoh mencakar langit, mengagumkan. Deretan toko yang ramai dikunjungi pembeli, kendaraan lalu-lalang yang tak sudah-sudah, orang-orang yang tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, dan lampu-lampu gemerlapan yang begitu meriah pada malam hari.
Aku merasa gembira sekali berada di tengah keramaian ini. Karena hal-hal seperti ini sudah tentu tak bisa kusaksikan di kampungku yang sepi.
Namun, pada pekan ketiga aku merasa hari-hariku mulai pelik. Uang yang diberikan ayah semakin menipis setelah kubagi-bagi sesuai kebutuhan. Membayar kos kecil di gang sempit untuk sebulan, membeli makan dan minum, dan ongkos kendaraan yang aku tumpangi tiap menuju tempat yang tampaknya membuka lowongan pekerjaan.
Hal ini membuatku cemas akan menjadi gelandangan di kota besar, sementara aku sendiri sengaja tak mengabari ayah dan ibu di kampung soal apa yang sedang kualami. Sebab aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Tapi aku tak mau merasa kalah oleh keadaan. Karena jika ayah dan ibu tahu soal ini, mereka pasti langsung menyuruhku pulang dan tak mengizinkanku pergi merantau lagi.
Maka kuputuskan untuk ketat dalam mengelola uang yang ada dan belajar hidup seperti kebanyakan orang yang telah bertahun-tahun hidup di kota ini. Aku memilih berjalan kaki, berpanas-panasan, mencoba menahan lapar dan dahaga sampai aku benar-benar butuh air dan makanan untuk menambah tenaga, lalu berhenti di tempat-tempat yang teduh atau di dekat pedagang es misalnya. Seperti yang kulakukan saat ini.
Aku rehat di bangku tepi jalan, di sebelah warung makan kecil yang cukup ramai pengunjungnya di bawah pohon rindang berbatang besar. Melepas dahaga dengan meneguk sedikit air mineral yang tinggal separuh dalam botol. Tubuhku pun semakin terasa gerah. Keringat mengalir hingga menembus kemeja yang aku kenakan. Kupikir penampilanku sudah sangat berantakan. Jadi peluang untuk mendapat pekerjaan hari ini kandas.
Aku pun memilih pasrah dan merasa kecewa sembari memandang jalan kota yang betul-betul terlihat sibuk dan berisik siang ini. Hingga tiba-tiba seorang pria keluar dari warung makan kecil itu, setelah kupikir aku telah duduk selama sepuluh menit, menghampiriku seraya tersenyum. Kupikir ia adalah pemilik warung makan kecil itu. Sebab handuk kecil tersampir di satu pundaknya.
“Kayaknya lagi butuh pekerjaan ya, Mas?” tanyanya
“Iya, Pak.” Aku mengangguk tak perlu berpanjang kalimat dan merasa sedih. Tampaknya penampilan lusuhku kali ini telah mengundang seseorang untuk merasa iba di antara orang-orang yang lewat di hadapanku. Mungkin bapak ini akan menawariku bekerja di warung makan kecilnya itu, pikirku.
“Ini, Mas,” kata bapak pemilik warung makan itu sambil mengulurkan selembar kertas. “Mungkin Masnya mau mencoba ngelamar di sini. Kantor yang ada di belokan pertama jalan ini lagi butuh pegawai, Mas. Bagian bersih-bersih. Office Boy.”
Hatiku seperti mekar saat mendengar ada lowongan pekerjaan untukku dari seseorang yang sama sekali belum kukenal. Kusambut kertas itu dengan gembira. Tak peduli pekerjaan itu ada dalam struktur terendah di sebuah kantor. Yakni sebagai orang yang melayani kebutuhan konsumsi pegawai dan bersih-bersih. Toh, aku sadar, aku cuma tamatan SMA dan baru lulus. Jadi ini memang cocok buatku.
“Wah, terima kasih banyak, Pak. Saya mau coba!”
Bapak pemilik warung makan kecil itu tersenyum dan lekas meninggalkanku, kembali ke warungnya yang juga tampak sibuk. Aku betul-betul bersyukur bisa mendapatkan kesempatan lain saat aku mulai tak percaya diri. Seraya sesekali memandang jalan kota yang ramai, aku membaca syarat-syarat yang harus aku lengkapi dan berharap bisa berhasil mendapatkannya.
Namun selagi aku fokus membaca, tiba-tiba berdiri dua orang lelaki berkaos lecek sedang terlibat percakapan yang cukup serius, tak jauh dari tempatku duduk. Cukup mengganggu konsentrasiku.
“Gampang, Kum! Tarik cepat, terus lari sekencang-kencangnya. Masuk ke pasar, semak-semak, terus sembunyi sampai benar-benar aman. Habis itu, ya sudah, pura-pura nggak tahu apa-apa!” kata lelaki yang berbadan besar dan mengenakan topi yang sengaja diputar posisinya.
“Nggak gampang itu, Bang!” balas lelaki yang berbadan kurus dan wajahnya terlihat tertekan. “Kalau semisal ketangkep, mampus aku.”
“Lha, yang nentuin kita ketangkep atau nggak itu kan kita sendiri, Kum. Kalau larimu laju dan lincah, ya nggak bakal ketangkep.”
“Ragu aku, Bang.”
Aku tidak tahu kemana arah pembicaraan kedua lelaki itu. Mereka seperti merencanakan sesuatu. Tapi aku berusaha untuk tidak peduli dan memilih melanjutkan membaca syarat-syarat sembari terpaksa tetap mencuri dengar percakapan mereka. Sepertinya aku harus mulai menekan rasa ingin tahu bila ingin bertahan di kota ini. Sebab salah-salah atau terlalu ingin tahu bisa berdampak buruk buatku sendiri.
Baca Juga
Ya paling tidak, rasa peduli terhadap orang lain ala kadarnya itu sudah cukup. Seperti yang tiba-tiba, dan begitu cepat terjadi berikutnya. Aku sungguh tak pernah menduganya sama sekali.
Dari arah pinggir jalan yang sejalur denganku, seorang bapak tua melintas dengan hati-hati sembari memberi kode bahwa ia ingin lewat di jalan yang sedang padat kendaraan itu untuk kembali ke gerobak dagangannya yang berada di seberang jalan.
Namun apesnya, ia tertabrak sebuah Avanza yang sedang melaju dengan kecepatan cukup tinggi hingga menimbulkan kekacauan dan menarik perhatian banyak orang yang panik saat bapak tua itu terpental dan berguling-guling. Termasuk dua lelaki berpakaian lecek di depanku dan si pengemudi Avanza yang ternyata seorang wanita berseragam kantor.
Orang-orang segera menolong bapak tua itu, yang beruntung hanya mengalami luka ringan. Kulirik, salah seorang dari lelaki berpakaian lecek itu, yang berbadan kurus, pun mulai ambil langkah maju untuk ikut membantu si bapak tua. Tapi ia ditahan oleh temannya yang saat itu berkata, “Ini momen pas, Kum!” dan si bapak tua justru mendapat makian dari si wanita pengemudi Avanza. Kudengar wanita itu begitu murka.
“Kalau jalan itu lihat-lihat dong, Pak!” gerutunya tak peduli tanggapan orang-orang yang marah melihat sikapnya. “Sudah tahu jalan lagi padat begini Bapak nyeberang sembarangan. Saya ini lagi buru-buru. Kalau tadi Bapak mati terlindas mobil saya kan repot urusannya!”
Aku tak bisa banyak berbuat. Dan aku merasa bingung terjebak di antara kekacauan ini. Di satu sisi aku ingin membantu si bapak, setidaknya membelanya karena aku saksi yang melihat kejadiannya langsung. Namun di sisi yang lain aku merasa harus buru-buru meninggalkan tempat ini untuk segera pergi mengajukan lamaran ke kantor di belokan pertama jalan ini. Karena buatku terlibat terlalu jauh pada masalah orang lain tidak akan mengurangi masalah yang sedang kuhadapi.
Pada akhirnya, kulihat lelaki berbadan kurus itu sudah tak tahan mendengar ocehan si wanita pengemudi Avanza. Ia melangkah maju ke tengah jalan meski temannya mencoba menahannya. Sebab ia merasa perlu menjelaskan kepada orang-orang atas apa yang ia lihat. Hingga temannya menyerah dan memilih pergi masuk ke keramaian di sisi yang lain.
“Ibu juga tolong kalau bawa kendaraan pelan-pelan dong!” serunya. “Saya lihat ibu nyetir mobilnya laju. Si bapak kan sudah kasih kode kalau dia mau lewat. Lagi pula jalanan juga sedang ramai, Bu. Buat apa Ibu laju-laju nyetirnya kalau akhirnya nabrak orang.”
“Aduh, Mas, tolong jangan sok tahu. Saya ini sedang buru-buru. Sudahlah, saya anggap damai dan nggak berurusan lagi. Saya mau pergi!” Wanita itu tampak semakin kesal. Namun ia tak mau banyak bicara lagi, ia mengeluarkan sejumlah uang untuk biaya pengobatan si bapak tua dan bergegas masuk ke dalam mobilnya lagi lalu pergi.
Akan tetapi, tak berapa lama, setelah permasalahan tabrakan itu dianggap selesai, si bapak tua segera dibantu berdiri oleh lelaki kurus berpakaian lecek, muncul masalah baru di sisi yang lain. Membuatku menjadi semakin bingung dan merasa bodoh. Ketika salah seorang wanita menjerit mendapati dompetnya dicopet paksa oleh seseorang yang dengan kecepatan penuh berlari menjauh dari keramaian lalu disusul teriakan orang-orang yang berusaha mengejar si pencopet.
Aku betul-betul tidak tahu harus berbuat apa. Jalanan kota siang ini begitu kacau dan memprihatinkan. Aku tahu dan menyaksikan segalanya. Aku bahkan tahu bahwa pencopet itu adalah teman dari lelaki yang membantu si bapak tua, dan mereka sebelumnya sudah merencanakan aksinya itu di dekatku.
Namun tak mau terlibat jauh, aku memilih pergi ke kantor yang sedang membutuhkan pegawai itu. Aku tak mau melewatkan kesempatan yang ada. Bukan karena aku tak peduli. Aku berempati, tapi aku sangat butuh pekerjaan ini. Dan hikmahnya, kuanggap apa yang terjadi di jalanan kota yang sibuk ini sebagai petuah. Pelajaran berharga hidup di sebuah kota besar. []
Tentang Penulis:
M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Membaca Asap (2019), Antologi Cerpen Pasir Mencetak Jejak dan Biarlah Ombak Menghapusnya (2019) dan telah tersebar di media seperti Pikiran Rakyat, Rakyat Sumbar, Radar Mojokerto, Haluan Padang, Padang Ekspres, Riau Pos, apajake.id, Fajar Makassar, Banjarmasin Post, Magelang Ekspres, Radar Cirebon, Kedaulatan Rakyat, Lentera PGRI, Kurungbuka.com, Medan Pos, Radar Malang, Radar Tasikmalaya, Bangka Pos, Travesia.co.id, Radar Bekasi, mbludus.com, Tanjung Pinang Pos, Fiasko (2018, AT Press) adalah novel pertamanya. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER) dan Komunitas Pembatas Buku Jakarta.