biem.co — Kampung, pepohonan yang menjulang tinggi, dedaunan yang rindang, tanah yang subur, suara gemercik sungai dan kicau burung liar yang menyapa pagi, hamparan sawah hijau, buah tumbuh subur di pengarangan, membuatnya menjadi tempat indah dan memesona.
Budaya komunal atau sosial kolektif di masyarakatnya selalu menjadi kunci kerukunan, dalam kesehariannya aktivitas masyarakat kampung sebagian besar dilakukan secara bersamaan (gotong royong).
Pasca kemerdekaan Indonesia, pembangunan infrastruktur dan suprastruktur terkonsentrasi di kota, hal ini menjadikan fenomena gerakan penduduk dari kampung ke wilayah perkotaan (urbanisasi). Ada pull factors (faktor penarik) dan push factors (faktor pendorong) yang menjadikan masyarakat kampung memutuskan untuk menjadi masyarakat urban (perkotaan).
Pull factors-nya adalah kota menjadi sentra wilayah industri, fasilitas di kota mudah didapatkan, fasilitas pendidikan termasuk jenjang pendidikan tinggi, fasilitas sosial, dan transportasi. Juga gaya hidup kekotaan yang dianggap sebagai bagian dari modernitas adalah bagian dari faktor penarik tersebut. Push factors-nya adalah di kampung terbatas lapangan kerja, tuntutan gaya hidup modern, dan minimnya fasilitas sosial, trans[portasi, dan pendidikan.
Alhasil, arus urbanisasi ini membuat gerakan perpindahan masyarakat kampung ke masyarakat kota semakin masif. Mereka yang tergerak atas push factors dan pull factors memilih untuk bermukim secara permanen di kota, beranak pinak di kota, mengabdi di kota. Sehingga, kampung yang menjadi asal muasal mereka ditinggalkan. Ketika habis masa kerjanya, memasuki hari raya, masuk pada usia pensiun, dan purna sebagai manusia, mereka pulang kampung, menjadi tetua di kampung, dimakamkan di makam keluarga di kampung.
Menjaga Kampung Sebagai Amanah
Manusia dalam hidupnya butuh ruang untuk bermukim, ada banyak macam tempat mukim, salah satunya adalah kampung. Kampung adalah ruang kehidupan yang kaya akan interaksi sosial. Kampung merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan elemen kota dan telah membentuk urbanitas di Indonesia.
Urbanisasi adalah fenomena yang jamak di hampir seluruh dunia. Tak dipungkiri, kompetisi pasar yang membutuhkan lapangan kerja dan lembaga pendidikan tinggi yang membutuhkan mahasiswa mendukung berbagai sektor yang dikembangkan.
Kota memilki magnet yang besar bagi anak kampung yang mencari kerja, menjadi primadona bagi anak kampung yang terpelajar untuk melanjutkan studinya dan memiliki impian meneruskan kehidupan di sana dan melupakan tempat asalnya.
Peralihan pekerjaan dan strata sosial pada masyarakat kampung menjadi delitimasi tersendiri. Hanya karena prestise dengan menyandang ‘pegawai pabrik’ dan ‘kaum terdidik kota’ mereka beralih dari kampung. Pada klimaks persoalan, kampung termarginal secara perlahan.
Anak-anak kampung tidak melihat kampung sebagai sebuah entitas hidup yang harus dikembangkan, mereka melihat kampung sebagai tempat kembali di saat usia mereka sudah tidak produktif lagi. Sehingga pembangunan suprastruktur di kampung terlupakan.
Sejatinya, pembangunan kampung adalah sebuah amanah yang mengasumsikan proses sosial dapat mendorong keterbelakangan kearah kemajuan.
Cendekiawan Kampung, Menuju Kampung Kosmopolitan dan Masa Depan Kampung
Negara belum sepenuhnya hadir di tengah masyarakat kampung untuk membuka luas akses pendidikan. Negara masih membiarkan disparitas kota dan kampung.
Kesadaran dari orang-orang terdidik asal kampung yang mukim di kota juga tidak terkontruks sehingga turut menumbuh suburkan disparitas kampung dan kota. Sehingga, kondisi sumber daya manusia kampung yang seadanya menambah segala hal pelik yang memeruncing perbedaan tersebut.
Cendekiawan Kampung adalah sebuah gerakan penyadaran orang-orang pintar asal kampung untuk membangun kampung. Cendekiawan Kampung mempertautkan jenius kampung dengan pemberi beasiswa, berikhtiar menjadi metamorfosa dan sintesa dari dikotomi kampung dan kota.
Cendekiawan Kampung menjadi model pembangunan kawasan berbasis sumber daya manusia bersinergi dengan jenius kampung, nantinya para jenius kampung inilah yang mengubah dan menyelesaikan sendiri persoalan kampungnya.
Kampung bukanlah ruang hampa tanpa pengetahuan, pembangunan infrastruktur dan suprastruktur-lah yang membuat dikotomi kampung dipandang sebagai antitesa daripada kota.
Kampung harus menjawab spirit zaman, mempersiapkan pergantian generasi, menabrak keterbatasan akses dan mobilitas, bergerak menuju kampung yang kosmopolitan.
Sekarang, saatnya orang kampung dan jenius kampung membuat kampung berdaulat, mengembangkan kampung kearah kosmopolitan (kemajuan), membentuk paradigma ‘orang terdidik kampung harus membangun kampung’ dan memastikan ‘masa depan kampung’.
Penulis adalah relawan di Cendekiawan Kampung.