Pertanyaan tentang Kebahagiaan
Cerpen Sulaiman Djaya
Aku termenung sendiri dan bercakap dengan seseorang yang tak ada. Seseorang yang hanya kukhayalkan sebagai temanku berbincang dalam sunyi kesepian.
“Apakah aku bahagia?”
“Aku tak tahu……….”
Hari-hari di bulan Oktober tahun ini bagiku terasa panjang dan melelahkan. Di siang hari, panas terasa menyengat. Berbeda dengan tahun sebelumnya. Kukira musim kemarau akan berakhir di akhir Agustus, namun hingga akhir Oktober hujan belum juga datang. Cuaca yang selalu demikian membuatku mudah lelah dan menjadikanku malas untuk berjalan-jalan di luar. Meski begitu, aku masih melakukan apa yang senang untuk kulakukan. Menyirami tanaman. Kadang di pagihari. Kadang di sorehari. Juga menanam dan memindahkan tanaman dari satu media ke media lainnya jika usia mereka menurutku memerlukan tempat yang tak lagi sama. Memerlukan media yang lebih besar dan lebih luas agar mereka dapat tumbuh dengan bebas dan bahagia.
“Tapi, apakah aku sendiri bahagia?”
“Aku tak tahu………..”
Kubaca buku-buku filsafat dan sastra. Juga sejumlah majalah dan jurnal. Kurasa dalam rangka mengalihkan kebosanan dan kejenuhanku ketika aku menyibukkan diri dengan apa saja yang bisa kulakukan agar tak terjerembab dalam lamunan sia-sia. Namun, semua hal itu pun tetap saja membuatku malah kembali bertanya.
“Apakah banyaknya pengetahuan juga dapat membuatku bahagia?”
Baca Juga
Mungkin saja, bila pengetahuan yang kudapatkan dari buku-buku itu menyenangkanku atau memuaskan rasa ingin tahuku. Atau berguna untuk kebutuhan praktis hidupku sehari-hari. Seperti ketika aku mencari tahu lewat youtube dan mesin pencari bernama google apa yang membuat bunga-bunga dan tanaman-tanaman yang kutanam dapat tumbuh dengan baik dan terlihat bahagia sehingga mereka pun dapat memberiku rasa bahagia karena rasa senang dari keindahan yang mereka hadirkan dengan ragam warna bunga-bunga mereka yang merekah dan berkembang.
Jadi, kadang aku menjawab ‘tak tahu’ ketika ada yang bertanya ‘apakah aku bahagia?’ karena terkadang ada saja rasa jenuh dalam hidup, bahkan ketika aku telah melakukan apa yang membuatku senang.
Aku duduk di bangku kayu di depan rumah. Di pinggir jalan dan sungai yang kering karena sengaja dikeringkan sebab sedang dilaksanakan proyek pengecoran tepiannya. Kupandangi barisan tiang-tiang lampu yang menunduk demi menerangi jalan dengan cahaya mereka. Meski belum terlampau padat dan sering, kini ragam kendaraan transportasi umum dan pribadi dan kendaraan pengangkut komoditas melintas setiap waktu tanpa henti. Tak seperti dulu ketika mereka tak melintas di tengah malam, hingga ketika itu malam akan terasa sangat sepi dan lengang tanpa suara-suara mesin atau kendaraan.
Kukenang masa kecilku berenang dan bermain-main di sungai bersama teman-teman. Menaiki sampan yang kubuat bersama teman-temanku dari gelondongan pohon-pohon pisang yang kami satukan dengan bilah-bilah bamboo dengan cara menusukkan bilah-bilah bambu tersebut ke gelondongan-gelondongan batang-batang pohon pisang. Dan kami tak perlu mengayuhnya karena sampan itu akan berjalan sendiri terbawa arus sungai. Lalu kami akan mengangkatnya bersama-sama dari sungai bila jarak kami sudah cukup jauh untuk kemudian menceburkannya kembali di tempat semula di mana kami mulai menaikinya bersama-sama.
Baca Juga
Kupikir kebahagiaan manusia hadir di masa kanak-kanak. Ketika mereka hanya tahu bermain dan melakukan apa yang mereka senang untuk melakukannya. Bukan karena tuntutan atau karena arahan dan perintah orang lain atau karena instruksi dan aturan pekerjaan. Ketika kebebasan mereka sungguh tulus dan tak dibuat-buat. Mungkin karena itu pulalah, ingatanku acapkali ingin mengembarai kembali kehidupan masa kanak itu.
“Apakah aku bahagia?”
“Yah! Aku bahagia…….”
Jika kebahagiaan adalah selagi aku masih sanggup menjalani hidup ini dengan jujur dan ikhlas. Seperti ketika aku melakukan apa saja bersama teman-temanku di masa kanak-kanak. Di masa kecil itu pula, aku dan teman-temanku pernah mengintip seorang bocah perempuan desa kami saat ia sedang mandi di sungai. Kami bersembunyi di rimbun pohon songler dan semak belukar yang tumbuh di pinggir sungai yang sekaligus tepi jalan. Saat itu sore hari hampir jelang magrib ketika kami pulang selepas mencari burung-burung di rumah-rumah mereka dengan jalan memanjat pohon-pohon besar yang menjadi tempat para burung membuat rumah-rumah mereka. Beberapa bulan kemudian, bocah perempuan yang usianya tak jauh berbeda dengan kami itu, meninggal terbawa arus sungai dan jasadnya baru ditemukan keesokan harinya di tempat yang sangat jauh dari desa kami. Sebagian orang desa kami yang turut serta mencari jasadnya percaya bahwa hantu sungai yang disebut Kekep adalah penyebab kematiannya. Hantu sungai itulah menurut mereka yang menyeretnya hingga ia tenggelam dan terbawa arus sungai.
Sebelum kematiannya yang tragis di sungai, yang kupandangi karena memberi lanskap unik sebab cahaya lampu-lampu jalan, ia kadangkala ikut bermain bersama kami. Seperti bermain gatrik dan permainan lainnya. Aku sendiri merasa berdosa kepadanya setelah ia dijemput ajal yang tak terduga.
Permainan-permainan yang kami lakukan itu membuat kami merasa senang dan bahagia. Kami bersaing, berlomba, dan beradu tanpa harus saling menyakiti dan menyingkirkan. Permainan bukanlah perang dan penjagalan yang kejam dan menyebabkan hadirnya penderitaan dan kesulitan. Dengan bermain, kami melampiaskan sisi gelap kami sebagai manusia ke dalam laku dan bentuk yang tidak merusak. Bertahun-tahun kemudian, hal itu juga kupahami pada olahraga yang juga sebagiannya merupakan permainan-permainan. Ada makna di dalamnya. Barangkali benarlah jika dikatakan bahwa kebahagiaan juga muncul dari sikap dan tindakan bermakna yang kita lakukan dalam hidup. Seperti dalam banyak permainan yang kami lakukan di masa kanak yang kini sebagian besarnya sudah tidak dimainkan lagi oleh anak-anak sekarang. Dan akhirnya:
“Apakah aku bahagia?”
“Yah aku bahagia ketika kebahagiaan kupahami dan kumengerti sebagai petualangan untuk menjelajahi dunia-dunia baru dalam bahasa.”
Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa