tong kosong klentang klentong
Siang-siang, kira-kira pukul satu, saya terbangun dari tidur. Dengan menyumpah-nyumpah, saya amat emosi sebab seharusnya saya masih mimpi. Walau kata Ibu, mimpi di siang bolong semata kembang tidur. Bukan indikasi sebentar lagi dapat rejeki atau bakal kehilangan jati diri.
Ketika pintu kamar saya buka, Ibu dan Bapak bergegas ke luar rumah. Saya yang ndomblo mengumpulkan nyawa, jadi bingung ndak karuan. Saya lihat barang-barang di ruang tamu masih pada tempatnya. Tak tercium aroma gosong maupun ngiung-ngiung pemadam kebakaran.
Bajingan! Sudah tua tapi nafsu tak bisa dijaga! Dia ini punya suami! Mantan tentara! Pangkat terakhirnya setrip tiga! Awas, nanti kulaporkan perbuatanmu!
“Aduh, ada-ada saja si Sukem ini!” gerutu saya.
Bagi warga kampung, Sukem lelaki bersuara nyaring yang punya andil dalam keamanan dan pengayoman kampung ini. Dia personel bersenjata lengkap alias pasukan khusus alias serdadu tempur yang selalu siaga di pos ronda untuk memukul mundur sekaligus menangkap maling-maling atau pendatang ndak jelas yang sering kedapatan mondar-mandir depan rumah warga. Pernah ia tangkap pencuri ayam hingga senpi, eh maaf, maksud saya sapi. Tapi, yang membuat saya jengkel, terkadang Sukem ibarat ayam tanpa kepala.
Untuk memastikan agar Sukem tak macam-macam, saya bergegas menyusul Ibu dan Bapak.
“Ana apa iki, Pak? Kok siang bolong begini ada gledek?”
“Itu, tadi ada tukang sol sepatu lagi mbenerin sepatunya Mbak Suci. Waktu si tukang sol sepatu jongkok, si Sukem lewat, lah Sukem nganggep si tukang sol itu ngintip kelambu yang menutupi palung perut Mbak Suci yang…”
“Hadu… udah, Pak. Ini masalah genting. Bisa-bisa, tukang sol sepatu itu nanti diarak warga, ditelanjangi, dipukuli, di…”
“Uwis, Le! Kowe sisan, Pak! Tadi itu, tukang sol sepatu lagi jongkok untuk ngambil karet sepatunya Mbak Suci. Tapi si Sukem berburuk sangka. Tukang sol sepatu itu dituduh ngintip kancutnya Mbak Suci. Begitu!”
“Oalah.. Lah, sekarang tukang sol sepatunya mana, Bu?”
“Tuh, udah pergi.”
Baca Juga
Setelah itu, kami bertiga masuk ke dalam rumah kembali. Di ruang tamu, saya mencoba untuk ada di posisi tukang sol sepatu. Kira-kira, apa yang bakal saya lakukan. Apa saya ndak bakal ke kampung ini lagi; apa saya lantas bunuh diri karena ketakutan setelah diancam bakal dilaporkan ke Mbak Suci punya suami; atau justrt saya kembali ke kampung ini bareng teman-teman seprofesi sambil membawa bendera ormas yang dibentuk sekali jadi, demo sana-sini.
Ah, mungkin saya harus tidur lagi. Harus mencari mimpi yang kini bersembunyi. Setidaknya, biar keringat tukang sol sepatu kembali menyegarkan kembang tidurku yang mulanya rekah kayak roknya Mbak suci, layu.
dikekang pilihan
Pagi-pagi betul, kira-kira pukul lima, saya terbangun dari tidur. Dengan menyumpah-nyumpah, saya amat emosi sebab seharusnya saya masih mimpi. Walau, kata Bapak, mimpi di pagi hari semata sisa mahkota kembang tidur yang ditinggal gugur sama lainnya. Bukan tanda-tanda dapat bunga desa atau bakal kehilangan nyawa.
Pompa air di pekarangan sedang menderung sekencang-kencangnya. Apalagi kalau bukan itu yang memekakkan telinga hingga menyebabkan saya terbangun. Kalau dipikir-pikir, ketenangan warga di sini sudah jauh berbeda dari bertahun-tahun lalu. Bagi yang punya uang, sekarang pakai air pemerintah untuk kegiatan sehari-hari. Yang ndak punya uang, ya tetap pakai air sumur yang sudah sedmekian rupa dimodifikasi teknologi. Perbedaan institusi penyedia air malah menimbulkan banyak rasan-rasan ndak sedap. Padahal, toh suara pompa dari keduanya ndak ada bedanya__ sama-sama berisik. Pokoknya, ndak setenang saat menimba air dari sumur bareng-bareng. Paling hanya berisiknya Bapak, Tarik terus! josss!
Le, le! Cepet keluar dari kamarmu! Sukem dan Mbak Suci nyariin kamu! Mau ngomong sesuatu. Udah ditunggu.
Iya, Bu. Sekedap.
Saya yang ndak sempat mulet-mulet dan cuci muka__ segera beranjak dari ranjang lantas menemui Sukem dan Mbak Suci. Seperti derai embun pagi hari memeluk tanah malu-Malu, Mbak Suci sudah duduk di sofa ruang tamu. Sementara, Sukem yang ndak lebih dari tanah kerontang mengharap hujan, ngaso depan televisi.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak Suci, Mas Sukem?”
“Kemarin ada kejadian yang mengganggu ketenteraman batin saya. Pasti kamu tahu apa dan mengapa. Soalnya, saya lihat kamu buru-buru nyusul Bapak dan Ibumu saat kejadian itu,” jawab Mbak Suci lembut.
“Kau kenal tukang sol sepatu yang waktu itu membenarkan sepatunya Suci?” timpal Mas Sukem sembari jarinya menunjuk ke arahku.
“Waduh, saya ndak kenal dan ndak tahu, Mas Sukem.”
“Begini aja, biar perkara ini cepat selesai, kau aku beri tugas untuk cari tukang sol sepatu itu. Kau bersedia?” tanya Mas Sukem, arogan.
“Sek Mas, sek Mas..”
“Kalau kau berhasil dengan misi ini, Mbak Suci akan menghadiahi sepasang sepatu boot suaminya untukmu. Bagaimana? Setuju?”
Saya masih bingung tetapi Sukem beranjak pergi lekas saja. Mbak Suci meraih lalu menyalami tangan saya sebelum lamur dari pandangan saya. Di ruang tamu, saya mencoba ada di posisi suaminya Mbak Suci. Kira-kira, apa yang ndak saya syukuri dalam hidup. Apa saya tega meninggalkan Mbak Suci seorang diri; apa saya lantas pergi ke lain hati; atau bahkan saya kembali ke rumah bersama perempuan lain dengan menimang bayi hasil kawin lari yang saya junjung tinggi-tinggi.
Ah, barangkali saya harus tidur lagi. Harus mereboisasi mimpi yang kini mati. Setidaknya, biar jemari lembut Mbak Suci menjamah kembang tidur saya yang diinjak-injak Sukem pagi ini.
perbuatan atau pikiran
Malam-malam, kira-kira pukul sebelas, entah kenapa, saya terbangun dari tidur. Dengan menyumpah-nyumpah, saya amat emosi sebab saya hampir sampai pada pulas paling inti. Kata Bapak, waktu ingusan dulu, saya susah tidur. Tapi sesusah-susahnya saya tidur, bakal ndak berlaku kalau bicara tentang makan. Tanpa instruksi dan represi, saya bisa melahap masakan Ibu berporsi-porsi. Hingga remaja kini.
Seperti malam-malam sebelumnya dan entah sampai kapan, selalu saya dengar keruntang dendang campursari dari rumah tetangga. Saya rasa, itu pula yang dari dulu membuat saya terjaga saban malam. Apalagi, sebagai sarjana sastra yang memaksa Bapaknya miKuli uyAh selama lima tahun belakangan, susah tidur karena kepikiran ‘kapan bisa menebus susahnya Bapak’__sudah jadi rutinitas tersendiri__ sebelum dapat pekerjaan supaya dompet terisi. Wis lah, alon-alon waton kelakon. Betewe, saya suka nulis puisi. Maka itu, daripada meratapi sunyi, saya mau menulis puisi saja. Lumayan, setiap puisi saya dimuat di koran atau majalah, honornya bisa sedikit menambah uang belanja Ibu. Padahal saya paham, perut mana kenyang dikasih puisi.
“Belum juga mbulet ke dapur nyeduh kopi bagi puisi.”
“Bajingan! Mana tentara yang mau melawan saya? Sini hadapi saya satu lawan satu! Yang mau madulin saya juga, kalau berani hadapi saya tanpa pentungan! Pakai tangan kosong!”
“Aduh, ana-ana wae malam-malam begini,” grundel saya.
Untuk memastikan agar ndak ada hal macam-macam, saya bergegas ke luar. Setidaknya, toh bisa saya lerai kalau sampai baku hantam dengan yang dicari.
“Ada apa ini, Pak? Kok malam-malam begini ada kampanye hitam? Memangnya, siapa yang mau nyerang Bapak? Kenapa malam yang tenang ini tega menyakiti Bapak? kenapa…”
“Uwis uwis, Mas. Ra sah ngelantur! Aku tukang sol sepatu bereputasi terbaik. Fitnah yang kudapatkan dua hari lalu telah menodai karir gemilangku! Bayangin Mas, aku dicap penjahat seksual! Jadi omongan orang banyak!”
Seketika saya gembira namun sedih, semacam berdesakkan. Di satu sisi, saya bakal dapat sepatu boot dari Mbak Suci__di sisi lain, saya membiarkan kemungkinan Sukem atau suaminya Mbak Suci menghabisi tukang sol sepatu ini. Cepat saya tarik tangan tukang sol sepatu untuk masuk ke rumah saya. Tukang sol sepatu duduk cantik di sofa ruang tamu, tepat di posisi Mbak Suci waktu lalu. Saya berhadapan dengan tukang sol sepatu__dan tanpa fafifu, dengan suara pelan, saya langsung bertanya ke pertanyaan inti.
“Pak, apa benar waktu itu ngintip cd-nya Mbak Suci?”
Pertanyaan pertama saya ndak ia jawab. Seraya saya perhatikan badannya yang cungkring dan kepalanya yang licin.
“Pak, tolong dijawab. Apa benar waktu itu Bapak mengintip celana dalamnya Mbak Suci?”
Pertanyaan saya yang kedua juga ndak dijawab. Seraya saya perhatikan kotak yang ia bawa sebagai senjatanya saat bekerja, berikut tangannya melekap merah-hitam semacam bercak darah.
“Pak, mohon dijawab. Apa benar Bapak melihat warna celana dalam Mbak Suci waktu itu?”
“Hem..”
Seketika saya gembira namun sedih, semacam berdesakan. Di satu sisi saya bakal dapat sepatu boot dari Mbak Suci, di sisi lain, saya bakal menelan malu bila anggapan Sukem terhadap tukang sol sepatu ternyata salah dan semata kegrusa-grusuannya.
“Tidak. Semua itu tidak benar.”
Peristiwa macam ini biasa saya sebut ‘selangkah menuju mati’. Bagaimana tidak, ternyata saya orang pertama yang harus menelan malu karena terlalu berani mengambil resiko dalam berdemokrasi. Sempat terbesit, kenapa ndak saya arahakan langsung saja si tukang sol sepatu ini ke pos ronda atau ke depan rumah Mbak Suci__ awal bertemu tadi.
“Aku punya lima anak. Dua pangeran sebentar lagi SMP, tiga permaisuri harus cari SMA. Mas kuliah atau tidak? Coba dipikir, dengan keadaan seperti ini, dengan tanggung jawab sebesar ini, pikiran macam apa yang bisa membuat aku rela berbuat bejat? Setiap malam, kehadiranku selalu dinanti istri dan anak-anakku. Aku bersumpah di vihara pas hari pernikahanku, tiga puluh empat tahun lalu. Di hadapan para dewa, bahwa aku tidak bakal main-main terhadap dewa, terhadap gereja istriku, terhadap anakku, terhadap sesama, dan diriku sendiri. Oh, satu lagi yang harus Mas cari tahu, ada satu hal bakal membuatmu percaya, betapa seorang tukang sol sepatu mengasihi siapapun bahkan bila harus mengalpakan dirinya sendiri.”
“Apa itu, Pak?”
“Mas akan tahu. Aku pulang.”
Sebelum pergi, tukang sol sepatu meraih lalu menyalami tangan saya. Di ruang tamu, saya mencoba untuk ada di posisi anak-istri si tukang sol sepatu. Kira-kira, apa yang bisa saya syukuri dalam hidup. Apa saya cari pelarian saja jadi copet atau maling; apa saya beralih menekuni judi; atau justru saya dapat rumah baru? Saya lemas seperti koruptor yang ketahuan mendekam di sel mewah, berjibun pakaian necis di dalamnya.
Ah, mungkin saya harus tidur lagi. Harus menanak perasaan-perasaan yang saling pagut tiada henti. Atau, biar tumpahan susu anak-anak tukang sol sepatu, menjelma puisi tentang istri yang ditinggal suaminya dingin malam ini.
kebanyakan pikiran
Siang-siang, kira-kira pukul dua, entah kenapa, saya terbangun dari tidur. Dengan menyumpah-nyumpah, saya amat emosi sebab alasan kelelahan yang sudah saya rencanakan dini hari tadi, terpaksa saya ganti. Sebenarnya, saya memang kecapaian setelah tiga hari belakangan diterpa konflik yang cukup menguras energi. Rencana hari ini Malih menemui Sukem atau Mbak Suci. Saya harus segera menuntaskan permasalahan ini.
Saya harus cepat menyudahi dendam mereka terhadap tukang sol sepatu, sebab semua ini semata kesalahpahaman dan alangkah ndak adil bila konflik yang didasari fitnah berujung saling melukai. Walau, kata-kata tukang sol sepatu malam tadi sungguh membuat saya berpikir lebih keras. Sebenarnya, apa yang bisa saya percaya bahwa seorang tukang sol sepatu rela mengalpakan dirinya sendiri demi orang lain.
Agar ndak buang waktu, saya segera cuci muka dan ganti baju. Selesai, pintu kamar saya buka dan begitu kagetnya saya ketika melihat barang-barang di ruang tamu ndak ada. Pintu menuju pekarangan juga terbuka, sinar matahari bebas masuk melalui nganga kisi-kisi jendela.
“Ibu, Bapak! Ibu, Bapak! Sukem! Mbak Suci! Adakah orang di sini?”
Bajingan! gerutu saya. Ke mana semua orang berada? Beberapa kali saya mondar-mandir ruang tamu-dapur, dapur-kamar makan, kamar makan-depan jemuran. Semua ndak ada. Kabeh ilang.
Saya putuskan untuk keluar rumah, menyusuri jalan. Panas. Terik siang serasa berdiri di dekat tungku pembakar batu bata. Begitu kagetnya saya sekaligus bingung ketika rumah-rumah juga tandas. Edan! Di mana saya sebenarnya? Seketika, saya dengar bising pompa air yang kelamaan seakan menguras kuping saya. Saya berlari. Berlari ke.. ke mana saja yang tak ada siapa-siapa. Lalu saya dengar raung yang lebih kencang,
“Bajingan! Bangun! Bangun! He! Bangun!”
“Mas Sukem?”
“Le.. le! Tangi, Le!”
“Sadaro.. Ya Allah..”
“Iya, Bu.. Iya, Pak..”
Saya berusaha mencari teriakan Sukem, Ibu, dan Bapak berasal. Tapi, lagi-lagi, tak ada siapa-siapa kecuali diri saya sendiri. Kecuali kesendirian ini.
“Bangun.. bangun..”
‘Iya, Mbak Suci. Aku sudah bangun. Aku sadar..”
Ah, betapa lembut suara Mbak Suci, bagai dawai.. (mbok ditahan dulu gombalnya) Iya.. saya terus cari teriakan-teriakan yang sedari tadi meminta saya bangun dan sadar berasal. Tapi, saya sudah bangun bahkan mungkin kelewat sadar! Kecuali kesendirian ini. Kecuali saya yang sendiri.
Dan, satu lagi yang harus kamu cari tahu, ada satu hal bakal membuatmu percaya, betapa seorang tukang sol sepatu mengasihi siapapun bahkan bila harus mengalpakan dirinya sendiri.
Baca Juga
Bersama dengan munculnya Ibu, Bapak, Sukem, dan Mbak Suci yang mengitari saya, begitu kagetnya ketika saya sadar bahwa saya sedang berdiri dan terpaku di tengah jalan. Keadaaan kampung masih seperti biasa, rumah-rumah diam, udara hangat saling desak menghindari pulang.
“Le, kamu mimpi sambil jalan lagi..”
“Apa kamu sudah sadar?”
‘Kami capek ngawal dan nyadarin kamu!”
Saya hirup udara dalam-dalam, mengembuskannya pelan-pelan. Saya bengong, melongo. Ke mana saja saya tadi, di mana saya saat ini.
“Sol sepatu sol sepatu.. tu sol sepatu..”
Mata sayu, saya berdiri dan terpaku. Tukang sol sepatu yang cungkring dan kepalanya licin, juga kotak yang ia bawa sebagai senjatanya saat bekerja. Tangannya melekap merah-hitam semacam bercak darah. Apa yang belum saya perhatikan? gerutu saya.
Sol sepatu sol sepatu.. sepatu nyaman tak akan melukai kakimu. Tu sol sepatu..
Saya lihat kaki tukang sol sepatu itu,
“Asu! Tukang sol sepatu itu rela ndak pakai sepatu! Ndak ia pikirkan kakinya sendiri! Lebih ia pentingkan kakinya Mbak Suci!”
…
“Ibu, Bapak, tukang sol sepatu itu ndak ngintip celana dalamnya Mbak Suci! Aku sudah memastikannya. Aku bicara dengannya malam tadi!”
Belum sempat Ibu dan Bapak menjawab pertanyaan saya, tiba-tiba semua gelap segala lenyap__usai Mbak Suci melempar sepatu boot suaminya ke kepala saya.
“Memangnya yang pakai sepatu pasti punya kaki dan yang ndak pakai sepatu berarti ndak punya laki? begitu? Eh, maaf, maksud saya kaki.”
“Sol sepatu sol sepatu.. sepatu nyaman ndak bakal menginjak mimpimu..” Sudah giliran saya meninabobokan mimpi. (red)
Tentang Penulis:
Agung Wicaksana lahir pada 15 September 2000 di Surabaya, Jawa Timur. Menetap di Yogyakarta sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Bergiat di Sanggar Lincak.