Cerpen

Cerpen Ismalinar: Rumah Gadang

Oleh Ismalinar

“Gadih, amak dan mamak-mu sudah putuskan, kau tidak boleh tinggal di rumah gadang ini. ” Tek Sani berbicara dengan tegas di hadapan Gadih Ranti.

“Apa?” tanya si Gadih dengan wajah api.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Sudah menjadi rahasia umum di kampung kami bahwa rumah gadang Etek Sani dengan tanduk-tanduknya yang menantang langit itu hendak runtuh.

“Si Gadih telah jadi anai-anai dan melapukkan rumah gadang,” kata Sutan Mudo di sela-sela  menghirup teh talua di lapau Upiak Kamek. “Rumah gadang tu kokoh. Kayunya saja berasal dari gunung Marapi. Mana sanggup anai-anai menggerogoti?” bantah Sutan Batuah. “Mengapa tidak? Air yang tak bergigi saja bisa melubangi batu,” jawab Sutan Mudo enteng.

“Dulu, orang yang pindah agama, tidak hanya keluar dari rumah gadang, tapi terusir dari kampung. Melihat sudut mata orang kampung saja, mereka tidak berani. Sekarang, lihat saja anak si Sani, lebih bagak dia dari kita, “ Kari Mandan yang seumuran dengan Tek Sani, berkata ketus.

“Jaman sudah berobah, Mak Kari,” timpal Upik Kamek sambil menyeduh kopi. Lapau Upik Kamek ini selalu ramai dikunjungi para lelaki  tidak hanya siang tapi juga malam, Teh taluanya terkenal enak. Teh kental  khas Padang disiram dengan air panas mendidih kemudian disiramkan lagi ke kocokan telur dan gula di dalam gelas. Lalu, diberi perasan jeruk nipis sedikit.   Enaknya bukan main. Diminum sedikit-sedikit selagi hangat sambil maota lamak.  Luar biasa!

“Sampai kiamat, adat Minangkabau terjaga. Aturannya jelas. Kalau sampai  berubah, bukan adat Minangkabau lagi namanya,” jawab Kari Mandan kesal.

Amak dan mamak tidak bisa melarang ambo. Ambo anak perempuan Amak. Harta pusako yang diturunkan iyak ke Amak, pada akhirnya jatuh ke Ambo, termasuk rumah gadang ini,” jawab Gadih Ranti berapi-api.

“Rumah gadang simbol adat Minangkabau yang berlandaskan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Pemiliknya hanya orang Minang. Karena kau pindah agama, berarti bukan orang  Minang lagi. Jadi, tidak dapat harta pusako,” Tek Sani menjelaskan.

“Mengapa Amak menganggap Ambo bukan orang Minang lagi? Amak salah, Mak. Amak urang Minang. Ambo anak Amak. Jadi, Ambo orang Minang,” jawab Gadih Ranti garang.

“Orang Minang itu identik dengan Islam, Nak. Kau tidak.”

“Bagaimana identik? Tadinya orang Minang beragama Hindu,”  debat Gadih Ranti.

Tek Sani menarik nafas panjang. Ia menyesal tidak pernah menceritakan sejarah adat Minangkabau pada anaknya. Padahal, sebagai istri seorang penghulu kaum, ia memiliki pengetahuan yang lumayan tentang adat Minangkabau.

“Asal kau tahu, adat Minangkabau sudah ada sebelum agama Hindu masuk dan kemuadian Islam. Waktu Islam masuk, orang Minang meninggalkan Hindu. Bahkan, Raja Pagaruyung yang tadinya Hindu, juga masuk Islam. Gelarnya Sultan Alif. Lalu, timbul Perang Paderi. Kaum agama berperang dengan kaum adat. Kaum agama ingin  memurnikan ajaran Islam. Kaum adat mempertahankan adat Minangkabau. Perang  diakhiri dengan perjanjian di Bukit Marapalam tahun 1644 Masehi. Inti perjanjiannya, orang Minangkabau  berpijak pada, “Adat basandi syarak, syarak basyandi Kitabullah”.  Syarak maksudnya aturan adat, Kitabullah, kitab agama Islam, bukan agama lain,” Tek Sani berhenti berkata-kata. Umurnya yang sudah lanjut membuatnya terengah-engah kalau terlalu banyak bicara. “Jadi, adat itulah sandi adat Minangkabau,” yang disepakati oleh nenek moyang kita.

Mak, ambo tidak peduli dengan yang Amak ceritakan. Yang ambo pegang, Amak tega membuang anak kandung sendiri. Mengapa Mak?”

“Justru kau yang meninggalkan Amak dan Abak, Nak.   Kami tak bisa lagi bertemu denganmu di akhirat nanti.  Kau  tak bisa lagi mendoakan  Abak di kuburnya.”

Amak dan orang Minang melanggar HAM. Ambo pindah agama diberi sanksi, itu hak Ambo, Mak.” Gadih Ranti kembali meradang

“Gadih, kau pindah agama memang hakmu, Makanya Amak tidak dapat memaksa kau kembali ke  Islam. Paling hanya membujukmu. Kalau tentang sanksi adat, itu urusannya beda. Itu soal adat Minang.”

Amak dan orang Minang tidak punya toleransi!” teriak  Gadih Ranti kalap.

“Tudinganmu salah, Nak. Amak menerima perbedaan agama dalam masyarakat kita. Kau tahu kan? Amak sekolahkan anak Bang Jabat tetangga kita. Walau agamanya beda, tapi Amak tidak mau anaknya putus sekolah. Waktu kau kuliah di Jakarta, tidak Amak larang kau kos di rumah orang yang beda agama dengan kita. Apa itu tidak bertoleransi?” tanya Tek Sani.

“Tapi, kau beda. Kau pindah agama agar bisa nikah dengan  nonmuslim. Itu  haram hukumnya, Nak, dosa besar. Terlarang dalam agama dan adat kita.”

Dosa besar? Sebagai gadis Minang yang lahir dan sampai tamat SMA menetap di ranah Minang, Gadih Ranti sangat memahaminya. Namun, cinta telah membutakannya. Ia tergila-gila pada kakak kelasnya di kampus. Mereka berpacaran. Keluarga pacarnya mau menerimanya jika Gadih Ranti sekeyakinan dengan mereka. Atas nama cinta, ia menerimanya. Sejenak, Gadih Ranti mengingat masa lalunya.

“Sekarang kau tuduh orang Minang tidak bertoleransi. Kau tahu, di Padang kota, ada kampung yang bernama, Kampung Cina. Warganya sebagian besar orang Cina yang beragama Budha dan Kristen. Orang Minangkabau menerimanya,” Tek Sani kembali berhenti berbicara. Ia mengatur nafasnya yang terengah-engah.

“Di Jakarta ada gereja yang menyandang nama Padang. Orang Minangkabau tidak bisa memprotesnya, karena penduduk kota Padang, memang terdiri dari berbagai pemeluk agama,” Tek Sani meneruskan uraiannya.  “Namun, toleransi itu tetap ada batasnya. orang-orang Minang  akan protes kalau pemeluk agama lain menamai  rumah ibadah mereka dengan nama “Wihara atau Gereja  Minangkabau”. Atau, pemuka agama lain berceramah di rumah ibadah mereka dengan memakai pakaian penghulu kaum atau baju kebesaran bundo kanduang. Pasti mereka menentangnya, sebab tidak sesuai dengan sandi adat Minangkabau. Itu, seperti yang kau lakukan dulu.”

Gadih Ranti tercenung. Ibunya  benar.  Ia pernah memberikan kesaksian di gereja dengan mengenakan pakaian bundo kanduang dan mengunggahnya di status facebook. Teman-teman fb-nya, terutama orang-orang kampungnya di dunia maya marah besar.  Untuk meredamnya, dirinya terpaksa meminta maaf kepada orang kampungnya dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Ia menandatangani permintaan maaf tersebut di atas kertas bermatrai. Ibunya turut menandatanganinya sebagai salah seorang saksi dari pihak keluarga.

“Baliklah ke agama kita, Nak,” bujuk Tek Sani. Hal itu mengejutkan Gadih Ranti yang sedang melamun.

“Tinggallah di rumah gadang bersama Amak. Abak-mu menunggu doa-doamu.”

Gadih Ranti bagai menatap wajah Abak-nya. Abak yang terkena serangan jantung dan meninggal ketika mengetahui ia telah menikah di gereja. “O….Abak-ku tercinta,” panggilnya  dengan rasa cinta dan rasa bersalah yang menyatu padu. Maafkan aku Abak. Abak, aku akan salat dan mendoakanmu,” janjinya tulus.

Namun, tiba-tiba, Gadih Ranti teringat suami dan anak-anaknya. Sejak pindah ke kota Padang, keluarga kecilnya tinggal di rumah kontrakan.  Entah mengapa, hatinya lebih condong pada mereka. Hatinya menjadi panas. “Mak, Ambo pulang dulu. Mulai besok  Ambo dan keluarga Ambo akan tinggal di rumah gadang,” ultimatumnya.

Semalaman Tek Sani menangis. Ia mengeluarkan air mata darah.  Petaka akan datang kalau Gadih Ranti menetap di rumah gadang. Gadih Ranti tidak saja akan berhadapan dengan amak dan mamak-nya, tetapi juga dengan  kaum adat, dan penghulu suku, serta seluruh orang Minangkabau. Bahkan, orang luar bisa saja terlibat, termasuk media.  Mereka yang mengerti adat Minangkabau akan berpihak pada Tek Sani. Mereka yang tidak mengerti adat Minangkabau akan bersimpati pada Gadih Ranti.  Tek Sani takut, publik yang berpihak pada Gadih Ranti akan mengarahkan adat Minangkabau tidak lagi bersendikan pada satu agama, melainkan semua agama.  Jika demikian, adat Minangkabau yang unik bisa lenyap dari muka bumi.  Membayangkannya,  air mata darah Tek Sani semakin menderas. Darah membanjiri rumah gadang. Rumah gadang nyaris tenggelam dalam lautan darah. Dari kejauhan yang tampak hanyalah gonjong rumah gadang yang sudah berubah bentuk menjadi kepala anak kerbau dengan dua pisau terhunus sebagai tanduknya. Akankah anak kerbau itu kembali menang sehingga nama menangkabau tetap berjaya?

 

Catatan:

Amak/Mak : Ibu
Abak/Bak : ayah
Ambo : saya
Bagak : berani
Etek/Tek : adik perempuan ibu atau  perempuan yang usianya di bawah usia ibu
Iyak : nenek
Lapau : warung/kedai makanan dan minuman
Mamak  : saudara laki-laki ibu
Penghulu : pemimpin suku
Teh Talua : Teh telur

Tentang Penulis

Ismalinar. Lahir dan sampai tamat SMA di Lubuk Basung Sumatra Barat. Kuliah di Depok dan Serang. Sekarang berdomisili di Tangerang serta mengajar di UMT.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button