KOTA SERANG, biem.co — Sepakatnya Komisi II DPR RI dan Kementrian PAN-RB untuk menghilngkan status tenaga honorer di instansi pemerintah mendapat tanggapan dari Ketua Forum Honorer Banten Bersatu (FHBB) Martin Al Kosim yang menganggap kesepakatan tersebut masih abu-abu.
Sebelumnya, melansir dari halaman resmi DPR RI, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arif Wibowo menyatakan, sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, tidak ada istilah tenaga honorer selain Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Tanggapan Martin Al Kosim tersebut melandasi adanya sejumlah honorer yang kemarin mengikuti tes PPPK hingga hari ini tak kunjung mendapatkan SK.
“Sampai detik ini juga tidak jelas, yang tes siapa, yang lolos siapa, yang diterima siapa dan ditolak siapa,” kata Martin saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (21/1/2020).
Sebelum pemerintah menetapkan hal tersebut, Martin mengungkapkan sebaiknya DPR dan Kementerian PAN-RB harus mengetahui terlebih dahulu mengenai teknis pelaksanaannya.
“Terkait data, apakah pemerintah pusat sudah mengetahui terkait data honorer. Mana yang K2 dan non K2. Yang saya tangkap itu, honorer mau dihapus diganti PPPK. Nah di situ tidak dijelaskan, apakah honorer K2 atau pun non K2. Disitu juga tidak ada keterangan batas kerja,” tandasnya.
Kendati pihaknya mengaku bersyukur dengan adanya aturan penghapusan honorer tersebut, di sisi lain dirinya juga mempertanyakan, apakah dalam proses pengangkatan tersebut pemerintah akan melakukan tes atau tidak.
“Kalau mungkin tes lagi, sama saja bohong. Kan persoalannya tahun kemarin dibenturkan dengan batas usia. Kalau batasan usia masuk dalam persyaratan tersebut, ngapain buat kebijakan,” tukasnya.
Menurutnya, jika pemerintah bermaksud mengangkat tenaga honorer menjadi PPPK, pihaknya menyambut positif dan mengaminkan hal tersebut. Namun, hal tersebut harus dibuktikan dan harus dilaksanakan dengan jelas.
“Kemarin saja PPPK tidak jelas,” tuturnya.
Jika serius pemerintah akan melaksanakan kebijakan tersebut, dirinya mengatakan bahwa sebaiknya ditangani langsung oleh pusat dan tidak diserahkan ke daerah.
“Kalau diambil daerah, apa mampu dengan APBD yang terbatas? Terutama Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Kota Serang juga dipertanyakan kemampuannya,” katanya.
Lebih lanjut, Martin menjelaskan jika kebijakan tersebut diserahkan ke Pemerintah Daerah (Daerah), kemungkinan pemerintah daerah tidak bisa memaksakan hal tersebut dan secara otomatis dengan adanya keterbatasan APBD, hanya akan menambah angka pengangguran.
“Kasihan nantinya, malah outsourcing, jadinya pengangguran tambah banyak,” ujarnya.
Dengan akan dilaksanakannya kebijakan tersebut, ia berharap BKD bisa memantau dan mengawasi data siluman yang biasanya terjadi mendekati penetapan.
“Menjelang seperti ini, banyak manipulasi data. Yang tadinya enggak kerja, jadi ada dan yang sudah bekerja lama, justru hilang dari data,” tuturnya.
Terakhir, ia berharap apa yang disampaikan DPR RI dan Pemerintah Pusat bisa terwujud, serta bukan dijadikan ajang dan politis. (Iqbal/red)