Puisi

Sajak-Sajak Rahmat Heldy HS

Menuju Kampungmu

Menuju kampungmu
Aku disergah kengerian
Batu-batu menangis di pegunungan
Berpisah di pinggir jalan
Lalu debu-debu berterbangan
Dan kerikil-kerikil berlarian menepi
Seperti bayi-bayi di ruang rahim sunyi
Dipotong gunting aborsi

Menuju kampungmu
Pohon-pohon disiksa hingga hilang nyawa
Akar-akar menggelepar
Batang, dahan, ranting dan daun
Bagai anak-anak kelaparan di pengungsian
Seperti korban peperangan berpuluh-puluh tahun
; kurus mengering dan mati

Entahlah, tiba-tiba aku ingin menulis puisi
Ketika menuju kampungmu udara dan debu bagai tamu
Berjejer sepanjang jalan, sepanjang kata
Doa-doa batuan, pohonan bahkan ikan di lautan
Membeku di ujung laut itu
Suara adzan mencekik leher
Mesin pabrik, pemecah batu
Bagai bala yang ditumpahkan dari langit
Dan aku menuliskannya untukmu

Menuju kampungmu
Tak ada yang lebih indah
Dari kenangan masa lalu
Dari rindang pohon trembesi
Debur ombak yang selalu bernyanyi
Dari tanah, gunung laut dan ikan
Yang berdzikir dari malam hingga pagi hari
Dan saat ini tak pernah kutemukan lagi

Bojonegara-Puloampel, 2 November 2019

 

Serupa Angin Pada Puisi Paling Sunyi

Pada desir angin mana lagikah, kekasihku
Aku harus mengirim rasa rindu
Sementara di luar cahaya tak mampu menulis cinta
Yang samar dan penuh luka
Pada kamar-kamar hotel mana lagikah, kekasihku
Aku mencari
Selain sepi menghimpit dan kita bagai bunga yang dibiarkan lara

Kekasihku,
Biarkan puisi ini membusuk
Di ruang-ruang sunyi
Dan aku akan menuliskannya untukmu
Biarkan puisi ini lari dari kenyataan
Dan aku akan mengirimkannya sebagai bentuk kepasrahan

Kekasihku, aku bertelanjang di remang bulan
Aku berlari sampai ujung jalan
Dan aku menemukan pada nisan
Bahwa puisi-puisi yang kukirimkan
Lindap pada tanah yang mengubur kenangan

LPMP DKI Jakarta- Hotel Banggalawa, 10 Oktober 2019

 

Tentang Kopi dan Air Mata
Serta Sebuah Sajak Untuk Adinda

Ini kopi pahit sekali
Aku racik dari keringat petani di Lebak sana
Dibawa pakai pedati dari Kota Rangkasbitung
Sampai ke bandar-bandar besar di Belanda
Dan aku melihat petani-petani mengering di ladang
Punggungnya disepuh matahari
Daun-daun kopinya berganti warna
Ya, warna sawit yang memanjang dari Rangkasbitung
Ke Jasinga

Saijah! Saijah! Saijah!
Tanaman kopi kita tak lagi punya nyawa
Rasa gula tak lagi manis di meja
Dan hutan-hutan kopi kita tak lagi menjadi rahim bagi puisi
Biji-biji kopi yang kita tanam telah malahirkan jutaan tangis
Lahirlah sungai-sungai darah yang memenjarakan tanah
Dan kita menjadi bagian dari ribuan kisah

Saijah peluklah Adinda selagi hangat
Tempelkanlah bibirmu pada cangkir
Dan kau bayangkan aku adalah biji-biji kopi yang diperam alam
Sebelum para Knil itu datang
Lalu dengan sekonyong-konyong ia merobek dan membakar
Hutan kopi kita

Saijah, Adinda pulang lebih dulu ke hutan
Menjaga hutan kopi kita
Bersiap siagalah dengan golok dan sangkur
Sebelum bayonet memelukmu ke kubur

Banten, 1 September 2019


Rahmat Heldy HS adalah sastrawan, karya-karyanya terangkum ke dalam 39 Buku baik antologi maupun karya pribadi. Peraih penghargaan penulis Bestseller versi penerbit Gong Publishing tahun 2018. Duta Baca Banten dan Instruktur Literasi Nasional. Kini ia dosen luar biasa di Universitas Muhammadiyah Tangerang di Jurusan Bahasa Indonesia dan juga Dosen Luar Biasa di Universitas Banten Jaya. Sehari-hari aktif mengajar dan memberikan motivasi kreatif menulis di berbagai kota.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button