biem.co — Masyarakat informasi seperti yang diungkap oleh Rogers (2001) digambarkan sebagai masyarakat yang sebagian besar angkatan kerjanya merupakan pekerja di bidang informasi, dan informasi merupakan elemen penting dalam kehidupan. Bahkan begitu pentingnya bagi kehidupan, informasi disebut sebagai sebuah komoditas.
Informasi saat ini telah menjadi salah satu di antara tiga sumber daya dasar (basic resouces) selain potensi material dan energi.
Informasi dianggap tidak memiliki kegunaan praktikal bila tidak dimaknai dan dioperasionalkan melalui komunikasi. Ini salah satu masalah krusial yang meliputi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Fleksibilitas kreasi konten informasi merupakan daya tawar dari teknologi informasi dan komunikasi.
Gelombang inovasi yang dihasilkan dari konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK), serta mobilitas yang berkembang dalam teknologi mobile phone dan bentuk media sosial yang semakin beragam telah membentuk dunia baru.
Kemajuan pesat dan kecanggihan teknologi ponsel pintar (smartphone) telah menghasilkan perubahan yang cepat dalam hal interaksi dan komunikasi serta bagaimana dunia maya disajikan dengan lebih mudah. Aplikasi media sosial yang dapat dengan mudah dipasang pada perangkat smartphone membuat akses ke dunia maya semakin murah dan bebas hambatan hampir di seluruh dunia.
Konsekuensi logis dari peningkatan akses terhadap internet adalah bahwa populasi dunia maya akan terus meningkat, membuatnya lebih menarik bagi semua aktor dan pemangku kepentingan.
Sekarang ini terjadi transisi dari dunia fisik ke ruang virtual yang ditopang oleh evolusi komputer, daya tanggap manusia, dan kemajuan pesat teknologi komunikasi dan informasi. Umat manusia tidak hanya hidup dalam satu realitas nyata, tetapi juga di dalam realitas virtual.
Perkembangan teknologi Internet dan world wide web telah membentuk ruang maya (virtual) yang didasarkan pada integrasi operasional metafora spasial yang berkaitan dengan informasi, komunikasi dan berbagai jenis interaksi, serta keragaman kepentingan dan nilai-nilai pribadi. Ia mampu merangkul dan mengintegrasikan banyak bentuk aktivitas manusia yang berhubungan dengan tempat nyata dan kedekatan fisik.
Sebagaimana disampaikan Manuel Castells (1996) bahwa melalui pengaruh Internet yang kuat sebagai sistem komunikasi baru yang dimediasi oleh kepentingan sosial, kebijakan pemerintah, dan strategi bisnis, muncul budaya baru, yaitu budaya virtual atau budaya siber.
Bentuk masyarakat yang berbasis teknologi dan media digital ini tidak hanya memunculkan masyarakat informasi sebagaimana konsep dari Rogers di atas, tetapi juga bentuk masyarakat siber (cybersociety) yang memiliki dunia maya dengan budaya maya pula.
Fenomena masyarakat siber berada dalam struktur model komunikasi yang kompleks. Secara mendasar, setiap orang dipaksa untuk melek atau harus tahu teknologi dan media digital (digital media literacy) yang berbasis pada teknologi komunikasi dan informasi sebagai syarat untuk bisa menjadi konsumen dan distributor informasi maupun produsen informasi.
Sejalan dengan pemikiran Jean Baudrillard tentang hyperreality, di dalam masyarakat siber terjadi implosi realitas, dimana realitas nyata dan realitas simbolik bercampur dengan realitas palsu. Hal ini yang menyebabkan terjadinya disrupsi dalam masyarakat siber, karena begitu banyaknya informasi yang dapat diakses, dan meningkatnya tingkat saling ketergantungan antara komponen fisik dan virtual (teknologi), orang dan proses tanpa henti membuka kerentanan, ancaman, dan risiko yang tidak terduga.
Permasalahan ini pula yang menimbulkan konflik horisontal di dalam masyarakat, dimana perbedaan pandangan politik atau agama telah diperuncing dengan berbagai macam hoaks atau informasi salah yang banyak bertebaran di ruang maya.
Beberapa permasalahan di atas menjadi pendorong perlunya literasi media digital, dimana masyarakat diharapkan dapat menghadapi era disrupsi informasi yang terjadi sekarang ini. Literasi digital sebagaimana disampaikan Paul Gilster (1997) adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital dan menganggapnya hanya sebagai literasi di era digital.
Oleh karena itu, ini adalah bentuk tradisional dari gagasan literasi (literasi media), seperti kemampuan membaca, menulis, dan berurusan dengan informasi menggunakan teknologi dan format waktu, serta keterampilan hidup yang esensial.
Literasi digital adalah tentang penguasaan ide, bukan penekanan tombol, sekaligus juga pengetahuan tentang apa yang kita lihat di layar komputer ketika kita menggunakan media jaringan. Literasi digital sebelumnya diawali dari konsep “literasi multimedia” yang disampaikan Lanham (1995) sebagai suatu istilah yang cukup berbeda dari literasi tradisional.
Argumen Laham adalah karena sumber-sumber digital dapat menghasilkan banyak bentuk informasi, seperti teks, gambar, suara, dan lain-lain, bentuk literasi media baru diperlukan, untuk memahami bentuk-bentuk presentasi baru ini. Konsep literasi multimedia ditujukan agar pengguna teknologi informasi dan komunikasi memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami sistem informasi dalam format hypertext atau multimedia.
Beragam persoalan seperti disinformasi, hoaks, pelanggaran privasi, cyberbullying, konten kekerasan dan pornografi, dan adiksi media digital dianggap sebagai persoalan masyarakat digital terkini. Kenyataan menunjukkan banyaknya jumlah pengguna Internet di Indonesia, serta tingginya frekuensi mengakses konten informasi dan media sosial, tidak serta merta menjamin “kedewasaan” warganet di Indonesia dalam menggunakan Internet.
Selain kesenjangan terjadi, berbagai kasus penyalahgunaan internet juga marak, mulai dari Internet fraud, adiksi, pelanggaran privasi, bias realitas hingga paling mutakhir adalah meluasnya hoaks dan disinformasi yang mengarah pada information disorder. Gangguan atau kekacauan informasi (Information Disorder) menjadi salah satu permasalahan utama yang terjadi dalam masyarakat informasi, termasuk di Indonesia. Information disorder dalam hal polusi informasi diidentikasikan dalam tiga tipe berbeda, yakni mis-information, dis-information dan mal-information.
Mis-information atau informasi yang salah adalah ketika informasi salah atau palsu dibagikan, tetapi tidak ada maksud dan tujuan untuk merugikan individu atau pihak-pihak lain. Sedangkan Sedangkan Dis-information (disinformasi) adalah ketika informasi sengaja dibuat salah atau dipalsukan, dan dibagikan secara sengaja untuk menyebabkan kerugian bagi individu atau pihak lain.
Mal-information adalah ketika suatu informasi yang benar dibagikan untuk menyebabkan kerugian individu atau pihak lain, seringkali dengan memindahkan informasi yang dirancang untuk konsumsi pribadi ke ruang publik.
Dengan munculnya berbagai macam masalah di dunia siber terkait penggunaan teknologi dan media digital, maka diperlukan suatu gerakan atau pendidikan mengenai pemanfaatan teknologi dan media digital, terutama terkait dengan penggunaan dan penyebaran informasi.
Literasi digital tidak lepas dari kemampuan seseorang dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi dan media digital. Literasi yang terkait dengan penggunaan teknologi dan media digital dapat dibedakan dalam tiga kategori, yakni menemukan dan mengkonsumsi konten digital, membuat atau memproduksi konten digital, dan mengkomunikasikan konten digital.
Yang dimaksud dengan menemukan dan mengkonsumsi konten digital adalah keterampilan untuk menemukan, memahami dan mengkonsumsi konten digital di Web. Sedangkan membuat konten digital berkaitan dengan kemampuan dan ketrampilan seseorang untuk memanfaatkan teknologi dan media digital untuk menghasilkan produk-produk digital yang berkualitas dan memiliki efek positif bagi pengguna atau pemanfaatnya.
Terakhir, konten digital harus dikomunikasikan secara efektif agar menjadi media yang bermanfaat, dengan menggunakan situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram mengharuskan pengguna untuk memahami berbagai macam manipulasi informasi dalam berbagai format.
Baca Juga
Secara sederhana, literasi digital adalah kesadaran, sikap dan kemampuan individu untuk menggunakan teknologi dan media digital secara tepat untuk mengidentifikasi, mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, menganalisis dan mensintesis sumber daya digital.
Di dalam menggunakan media digital, warganet juga diharapkan dapat membangun pengetahuan baru, membuat media ekspresi, dan berkomunikasi dengan orang lain, dalam konteks situasi kehidupan tertentu, untuk memungkinkan tindakan sosial yang konstruktif, dan untuk merefleksikan proses ini.
Dengan tingkat literasi digital yang bagus, dunia maya dapat menjadi dunia baru yang lebih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, dan bukan menjadi sarana untuk berkonflik dan tempat terjadinya berbagai macam bentuk “kejahatan baru”.
Dunia siber yang lebih baik akan dapat terwujud jika didukung dengan pengetahuan yang cukup tentang penggunaan sumberdaya digital dan kedewasaan dari warga siber untuk menggunakan teknologi dan media digital tersebut. (red)
Catur Nugroho, adalah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Telkom University Bandung.