oleh: Irma Agryanti
biem.co – Akhirnya aku datang juga setelah dua hari sebelumnya aku mengirimkan pos-el kepada Ena memberitahukan rencanaku mengunjungi kotanya dan berpikir barangkali kami bisa bertemu selama beberapa jam. Sebenarnya sudah cukup lama aku meninggalkan kota ini. Aku tak tahu pastinya. Waktu telah membuatku melupakan banyak hal. Satu-satunya yang masih bisa kuingat dari kota ini adalah universitas kami yang terletak di jalan utama, tak jauh dari sebuah toko roti. Dulu kami rela menunggu berjam-jam lamanya untuk mendapatkan roti yang baru saja keluar dari dalam oven dan menikmatinya selagi hangat.
Mengingat tak banyak tempat yang bisa kukunjungi karena telah mengalami perubahan sedemikian cepat, kami memutuskan untuk menonton film di bioskop. Entah karena terlalu bersemangat dengan rencana itu, pertemuan kembali yang tiba-tiba dan kecanggungan kami selama beberapa jam ke depan membuat kami lupa ini akhir pekan dan kemacetan akan sangat susah dihindari.
Setelah melewati lampu pemberhentian, aku meminta Ena untuk singgah ke sebuah mini market. Ena pun menepikan mobil di mini market terdekat, mematikan mesin mobil dan menitip untuk dibelikan sebungkus rokok. Aku turun berjalan menghampiri meja kasir yang dijagai seorang gadis dengan sepasang lesung pipi yang membuatnya terlihat manis. Aku meminta dua kaleng soft drink dari lemari pendingin di sampingnya dan sebungkus rokok lalu membayarnya.
Malam sedikit berangin, membuat rambutku menjadi berantakan. Daun-daun yang jatuh beterbangan ke segala arah. Ena menyulut sebatang rokok dan kembali mengemudi dengan pelan. Pertemuan yang sedikit tak nyaman oleh waktu membuat kami berdua lebih banyak terdiam sepanjang perjalanan.
Beberapa saat setelah mengirimkan pos-el dua hari yang lalu untuk mengabarkan kedatanganku, aku membayang-bayangkan seperti apa sosok Ena saat ini setelah sekian lama kami tak bertemu. Adakah ia masih Ena yang dulu, yang tak pernah suka kehidupan perempuan dan lebih menyukai aktifitas laki-laki. Ena pernah memperbaiki pintu dan jendela-jendela di asrama kami. Ia juga tumbuh dengan buah dada yang kecil dan lebih tinggi dari siapapun yang ada di kelas. Di akhir pekan, ia suka mendandani dirinya dengan pakaian laki-laki dan menyembunyikan rambutnya di balik topi hanya agar dirinya bisa berada dalam sekelompok laki-laki dan mendengar isi pembicaraan mereka. Ena selalu mengatakan bahwa ia memiliki jiwa laki-laki. Tapi rupanya Ena, sebagaimana kota ini telah berubah sedemikian cepat.
Tentu aku tak hendak melihatnya seperti perempuan yang amat tidak senonoh, tetapi dengan busana yang ketat, pendek dan aduhai serta tata rias berlebihan, akan sangat bisa menimbulkan keonaran para isteri yang suami-suaminya merasa terdesak oleh kebanalan tampilan Ena. Perubahannya yang di luar dugaanku membuatku merasa gugup betapa hanya sedikit yang aku tahu tentang perempuan yang kini tengah duduk di sampingku dan entah mengapa aku tak menyukainya.
Sebenarnya sudah kurencanakan untuk tidak melibatkannya dalam percakapan mengenai diriku, misalnya bagaimana jika Ena yang lebih dulu menanyai tentang hidupku. Apa yang membawaku sampai ke kotanya? Apakah soal laki-laki seperti yang dulu-dulu? Bagaimana tahun-tahun yang kuhabiskan selama ini? dan aku kemudian begitu merasa tolol, menduga-duga barangkali inilah penyebab Ena yang dulu tak pernah suka kehidupan perempuan. Seperti membayangkan akan jadi apa seorang gadis seusai pesta perkawinan.
Jalanan semakin padat. Ena merokok tenang sambil mengecilkan matanya dari silau lampu-lampu kendaraan. Mobil-mobil mendekat dari segala arah membuat kami terjebak dalam antrian panjang. Aku menatapnya dan membatin bila ada sesuatu yang kuyakini sekarang ini adalah bahwa semua ini terjadi bukanlah karena aku perempuan yang menyedihkan. Ini membuatku teringat pada perkataan Ena betapa perempuan begitu mudah untuk dikelabui. Pernah suatu kali Ena dengan pakaian laki-lakinya menaiki bus dan duduk di sebelah seorang gadis. Mereka memiliki tujuan yang sama dan gadis itu mengizinkannya untuk bercakap-cakap selama perjalanan. Ia katakan betapa dirinya kesepian dan sudah lama melakukan perjalanan-perjalanan jauh dan selama perjalanan mereka itu pula Ena melingkarkan tangannya ke pinggang si gadis.
Bagi siapapun kelakuan semacam itu tentu sangat tidak dibenarkan tetapi aku menganggapnya tak seberapa jika dibandingkan dengan banyak hal yang terjadi padaku dan teramat merendahkanku. Hal-hal yang membuatku ingin hilang dari hidup ini dan karena itulah aku mencoba menenangkan diri ke kota ini. Bagaimanapun, aku tak akan membicarakannya. Aku tak ingin Ena tahu bahwa hidupku tak lebih menyedihkan dari perempuan yang terlihat binal seperti dirinya. Tapi tentu itu bukanlah gengsi atau bentuk kesombongan antar perempuan, hanya saja seperti yang kukatakan sebelumnya aku tidak ingin melibatkannya dalam segala bentuk perasaan yang kini tengah kutanggungkan. Jikalau itu lantaran karena Ena yang sedari tadi juga tak menceritakan sedikitpun perihal kehidupannya sejak kami lama tak bertemu yang barangkali semata karena keseganannya padaku, tak akan lantas membuatku merasa dirinya baik-baik saja.
Kini aku pun berakhir di sini. Jauh dari tempat asalku dan menghitung menit-menit di mana kami berdua akan melanjutkan hidup masing-masing setelah pertemuan singkat ini. Sempat terpikir olehku untuk mencurahkan perasaan, mengungkapkan kata-kata yang sedari tadi tak hendak terucap, tapi tidak. Aku tidak ingin disalahkan atas perasaanku yang terlalu melankolik atau merasa tak pantas menangis di depan Ena untuk ledakan emosi yang barangkali remeh baginya. Tapi berhadap-hadapan dengan Ena kali ini membuatku curiga tidakkah sesungguhnya kami terjebak dalam kehidupan yang sama rumitnya?
“Aku ingin menonton film Iran,” kataku. “Film-film Asghar Farhadi selalu membuatku berkesan.”
“Iyakah? Tapi bioskop di kota ini tak menayangkan film-film Iran.”
“Kau harus menontonnya. Beberapa di antaranya kuputar lebih dari dua kali. Aku ingat ada satu tokoh dalam film Firework Wednesday miliknya, seorang pembantu rumah tangga yang selalu meminta izin kepada calon suaminya ketika hendak melakukan apapun termasuk melakukan hal-hal yang remeh seperti meminta izin untuk mempercantik alis matanya di sebuh salon.”
“Oh, betapa menyedihkannya perempuan itu,” kata Ena.
“Begitukah?”
“Tidakkah begitu menurutmu?”
“Kau tahu, beberapa hari belakangan ini aku mencoba bersikap tak menyedihkan. Meski film itu membuatku memikirkannya beberapa kali tapi tak pernah bisa kulakukan dengan benar.”
“Apa yang terjadi?”
“Tak ada.”
“Apa suamimu melakukan sesuatu yang buruk?”
Sungguh, pada saat itu aku ingin mengatakan sesuatu pada Ena bahwasanya kini aku menyadari cinta lahir untuk kesedihan-kesedihan. Apakah pernikahan menjamin momen-momen kebahagiaan? Sesaat aku hanya terdiam, seperti ada yang tercekat di tenggorokanku.
“Tidak ada alasan untuk tak berbahagia, Sayangku” kata Ena berbisik di telingaku. Kemudian ia sedikit bergeser, mendekat dan mulai melingkarkan tangannya ke pinggangku. Lalu seperti ada sesuatu yang mencair padaku. Sesuatu, seperti kebekuan yang ada dalam diriku selama bertahun-tahun itu. Mungkinkah selama ini kehilangan kehangatan telah membuatku berubah menjadi sosok yang begitu dingin? Aku pun lantas berpikir adakah sejatinya perempuan tak pernah benar-benar mengenal dirinya sendiri?
Dihadapkan pada kemacetan yang kian menjalar, Ena bilang ini akan jadi malam yang panjang. “Ya,” timpalku sambil melirik jarum jam di pergelangan tangan seraya memikirkan pertemuan kami yang sepertinya tak mungkin segera diakhiri. Pertemuan yang seakan membuatku menjadi seseorang yang tak pernah ada. (red)
Mataram, 2019