Sosok

Angga Fauzan, Kejar Cita-cita Sampai Tanah Eropa

Pendiri Boyolali Bergerak, Lulus Master di University Edinburgh (UK)

biem.co — Lahir dari keluarga yang kurang beruntung bukan halangan untuk meraih mimpi dan prestasi, Karena sejatinya samudera yang luas hanya diperuntukan bagi pelaut yang handal.

Demikian disampaikan Angga Fauzan pendiri Boyolali Bergerak yang berhasil lulus dengan gelar master di University Edinburgh, United Kingdom (Iggris), saat memberikan materi motivasi Be a Persistence Leaders (Menjadi Leader yang Gigih) pada kegiatan Graduation ILEADS Isbanban di Nutrifood Inspiring Center.

Angga menuturkan bahwa dirinya terlahir dari keluarga yang serba pas-pasan namun hal itu tidak menyurutkan niat dan mimpinya untuk meraih pendidikan yang layak.

“Aku sebelumnya tinggal di Jakarta, tepatnya di kawasan Ciracas, Jakarta Timur dan bersekolah di SDN 05 Pagi Susukan. Di Jakarta tinggal bersama ayah dan ibu, mereka berjualan ayam goreng, namun lapak ayah digusur oleh pemerintah kota. Ironisnya, penggusuran tersebut tanpa disertai kompensasi,” ungkapnya.

Setelah itu dirinya dan keluarga pindah ke Boyolali, tepatnya di Kecamatan Cepogo. Disana Ia dan keluarga tinggal di bekas kandang kambing.

“Aku dan keluarga pulang kampung ke Cepogo, Boyolali dan meninggalkan Ibu Kota. Kami terpaksa tinggal di bekas kandang kambing milik kakek yang kami sulap jadi jadi rumah tripleks alas tanah dan semen seadanya yang kalau hujan pasti bocor di mana-mana, kalau angin tuh daun-daun bambu masuk semua,” katanya bercerita kepada teman-teman Isbanban.

(Foto: Akmal/biem.co)

Semenjak di Boyolali, Ia dan orangtuanya berjuang keras. Orang tuanya menjajal berbagai macam usaha untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Aku dan dan keluarga lakukan pekerjaan apapun, mencoba jualan, terutama ibu aku, ibu jualan gorengan, siomay dan es campur,” imbuhnya.

Tidak hanya itu, Angga juga mengaku tidak mendapat kebahagiaan di sekolah barunya, Ia kertap menjadi korban perundungan.

“Aku kira awalnya hidup di kampung itu enak, orang-orangnya ramah. Namun itu jauh dari ekspektasi. Aku di sekolah mengalami perundungan, pokoknya parah,” akunya.

Setelah bertahun-tahun di sekolah dasar menelan pil pahit, Angga mulai bangkit ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), disana Ia menemukan banyak teman baru, dan banyak menghabiskan waktu di perpustakaan.

Nah pas aku masuk SMP 2 Boyolali sebetulnya orangtua gak mengizinkan Karena gak punya uang. perjalanan pulang – pergi dari rumah ke Boyolali kota lumayan butuh biaya karena jaraknya jauh 2-3 jam. Di sekolah itu ada perpustakaan dan aku sering menghabiskan waktu disana untuk sekedar menghemat uang jajan. Setiap hari aku baca sampai aku terbisa menghabiskan 250 lembar dalam sehari,” paparnya.

“Tidak hanya itu, dari perpustakaan juga aku dapat penghargaan sebagai pengguna jasa perpustakaan terbaik di sekolah. Guru guru Bahasa Indonesia juga suka ngasih nilai tambahan kalau muridnya bikin resensi buku yang habis dia baca,” tambahnya.

Selesai menempuh jenjang SMP, Angga melanjutkan pendidikannya di SMA 3 Boyolali. Lagi-lagi bukan tanpa usaha keras untuk bisa sekolah di SMA favorit di Boyolali tersebut.

Angga mengatakan dirinya untuk bisa daftar di SMA 3 Boyolali tersebut harus mendaftar secara diam-diam. Hal tersebut dikarenakan, keluarga tidak menyetujui.

Keluarga besarnya lebih sepakat untuk sekolah di SMK agar setelah lulus bisa langsung kerja.

“Mungkin yah, namanya juga ornag tua, tak tega melihat anaknya yang sudah susah payah daftar, apalagi aku udah keterima peringkat dua dari bawah. Sampai akhirnya mau gak mau mengandalkan keajaiban buat bayar uang pangkal. Aku nunggu bapak di sekolah yang lagi nyari pinjeman di bank tanpa bisa kasih jaminan, sampai menit-menit terakhir penutupan daftar ulang,” papar Angga seraya berkaca-kaca matanya.

Menempuh pendidikan di SMA 3 Boyolali, kemampuan Angga Fauzan semakin terasah. Ia mendapat banyak teman dari berbagai kalangan, dan banyak pengalaman di sana.

Ketika dipenghunjung pendidikannya (red: kelas 3 SMA), Angga mempunyai cita-cita untuk mengambil jurusan Seni Rupa di Universitas Sebelas Maret (UNS).

“Nah pas kelas tiga SMA, aku kepikir untuk masuk UNS ambil Seni Rupa, karena lokasi kampus juga yang tidak terlalu jauh. Lingkungannya juga sudah tidak asing buat aku, karena sering ke sana buat lomba. Namun salah satu guru aku, Pak Eko nanya ‘mau kuliah ke mana’, terus aku jawab UNS, kemudian dia bilang, ‘hidup itu gak cuma di Jawa Tengah, coba keluar, cari yang terbaik, biar jauh dan berkembang.‘,” ungkapnya.

Berbekal dari nasihat dari gurunya, kemudian Angga memutuskan untuk masuk ke ITB lewat jalur undangan. Namun nasib belum beruntung untuknya.

Hal demikian tidak membuat Angga patah semangat. Ia sekali lagi mencoba peruntungannya di ITB. Dan di kedua usahanya, Angga berhasil lolos ke ITB.

“Disini aku ngga diterima awalnya, karena aku yakin untuk mencoba peruntungan yang kedua akhirnya aku diterima. Alhamdulillah,” ucapnya bersyukur.

Di ITB Angga tidak pernah pernah dibekali uang bulanan oleh orangtuanya. Karena memang kondisinya yang tidak memungkinkan.

“Orang tua bukan tidak mau memberi uang bulanan untuk aku, karena memang tidak ada. Dikasih uang juga uang kalau pulang ke kampung ketika libur semesteran 400-700 ribu hasil utang entah dari mana. Sisanya ngandelin beasiswa yang turun sekenanya. Untuk menunjang perkuliahan aku dapat sedekah dari tetangga 1,5 juta, aku beliin laptop bekas, yang ku pakai sampai tingkat tiga kuliah. Sampai akhirnya bisa beli laptop sendiri hasil tabungan dan kerja ngajar privat,” katanya.

Angga juga kerap di malam hari kelaperan karena tidak punya uang untuk beli makan. Apalagi di FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) sangat boros.

“Kalau tiba malam hari seringkali aku kelaperan karena gak punya duit buat makan. Karena emang di fakultas aku ini banyak tugas yang harus mengeluarkan modal, ya kalaupun sekedar untuk print tugas dan lain-lainnya,”

Setelah lulus dari ITB, dari hasil kerja kerasnya Angga sudah mulai mempunyai penghasilan sendiri, dan Ia juga bisa merenovasi rumahnya yang dari triplek tersebut, dan meminta ibunya untuk berhenti jualan keliling.

Untuk melanjutkan ke jennjang pasca sarjana, Angga kepikiran untuk masuk ke Oxford University. Namun di akhir eksekusinya, ia justru memilih Edinburgh, dan itupun tidak Ia lalui dengan mulus.

Berbekal pengalaman, Angga tetap mencoba kembali dan pada akhirnya lolos.

“Karena pengalaman sering mencoba, gagal sudah jadi teman buat aku. Alhamdulillah aku bisa hidup pada apa yang aku cita-citakan. Keliling di negara eropa yang dulu hanya bisa diimajinasikan ketika baca buku, sekarang jadi kenyataan,” ucapnya.

Lebih lanjut, Angga juga berpesan untuk pejuang mimpi “Aku sarankan kepada teman-teman untuk berencana yang baik kemudian kontrol rencana tersebut, evaluasi. Setelah dievaluasi barulah dilihat apakah hasil kerja selama ini cukup atau tidak, kalau belum maka perbaiki dan ulangi terus sampai berhasil. Jangan pernah lelah untuk berproses, bereksplorasi, dan jangan pernah lelah untuk mencari,” tandasnya. (iy)

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button