Opini

Fina Septiani: Dari Perokok untuk Perokok

biem.co — Sebuah negara dipimpin oleh orang terpilih, ia tidak bekerja sendiri namun bersama-sama mengajak seluruh instrumen masyarakat untuk membangun negeri.

Ada perwakilan dari jutaan rakyat bernama menteri, dewan perwakilan daerah, RT, RW yang saling bersinergi. Dibalik organ dalam tata negara, tentu ada kebijakan yang berlaku dari para petinggi dalam mengolah SDA dan SDM demi kesejahteraan rakyatnya. Dibalik kata sejahtera, tentunya ada berbagai kebijakan yang dikeluarkan dan dikelola oleh pemerintah.

Kebijakan baru yang menarik untuk dibahas kali ini adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, terkait naiknya cukai rokok.

Selasa, 17 September 2019, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran naik sebesar 35 persen. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2020 mendatang dan telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo.

Pro dan kontra bermunculan dari publik, khususnya para perokok aktif, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Ada yang menyebut di kolom komentar salah satu akun Instagram dan cukup menarik untuk saya: “Naiknya cukai dan harga eceran rokok dinilai akan menurunkan produktivitas para petani tembakau dan produksi rokok akan berkurang melihat daya beli rokok yang menurun.”

Tengok sedikit ungkapan pemerintah. Alasan kebijakan yang dikerahkan oleh mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut adalah untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia yang terus meningkat. Kendati demikian, dari berbagai sumber yang menyatakan bahwa kebijakan yang dibuat sangatlah dilakukan dengan penuh hati-hati dan tetap berusaha mengharmoniskan aspek-aspek lain seperti produksi, penerimaan negara, dan kesehatan.

Pada aspek produksi, nasib petani juga menjadi salah satu pertimbangan akan kenaikan cukai, pada penerimaan negara juga tentunya menjadi faktor penting mengingat akan ada pemasukan untuk negara dari tarif cukai, dan kesehatan juga yang menjadi ujung tombak mengapa kebijakan ini dikerahkan oleh pemerintah.

Pemerintah telah disumpah mengabdi dalam satu tatanan negara. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia sesuai dengan yang tertulis dalam UUD 1945. Di mata saya, kebijakan baru yang dikerahkan oleh Sri Mulyani sangatlah mulia.

Bisa kita lakukan obervasi dengan menonton berita di televisi atau membaca berbagai literatur baik nasional maupun internasional. Berapa jumlah masyarakat yang meninggal dunia disebabkan oleh rokok? Berapa jumlah kerugian yang ditanggung oleh pihak yang ditinggalkan oleh keluarga si perokok dimulai dari biaya rawat inap sampai ke liang lahat?

Kita awali dari dalam lingkup ekonomi. Dalam ilmu ekonomi terdapat istilah inflasi. Penjelasan singkatnya seperti ini: apabila permintaan suatu produk tinggi maka harga barang dinaikkan. Fenomena inilah yang dinamakan inflasi atau kelangkaan. Dengan adanya inflasi, bahan baku yang tersedia tidak akan cepat habis.

Secara akal sehat, salah satu faktor yang memengaruhi kelangkaan adalah semakin bertambahnya jumlah penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk maka semakin bertambah kebutuhan primer dan sekunder, belum lagi ketika memasuki era baru. Berbagai kebiasaan lama juga pasti perlahan-lahan akan berkurang bahkan ditinggalkan.

Selain dari lingkup ekonomi, kita bisa menengok dalam lingkup kesehatan. Nila F Moelek selaku Menteri Kesehatan Republik Indonesia, menyatakan bahwa kanker paru menempati urutan pertama penyebab kematian yakni sebesar 11,6 persen berdasarkan data Globocan 2018.

Berkaca pada data tersebut, langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia merupakan upaya untuk mengurangi jumlah perokok aktif dan mengambil tindakan untuk mencegah adanya perokok baru (anak-anak dan remaja) di lain hari.

Selama melakukan observasi dari berbagai tempat, berjumpa dengan banyak karakter individu dan menghadiri seminar proposal skripsi kawan yang menyinggung soal rokok, beberapa faktor yang bisa memengaruhi pemerintah menekan konsumsi rokok dengan menaikkan cukai adalah sosial, ekonomi, dan kebiasaan.

Ketiga faktor tersebut terhubung sangat kuat. Faktor sosial berada di posisi pertama karena dirasa menjadi salah satu pemicu kuat mengapa seorang individu mengambil keputusan untuk merokok. Ditambah dengan konsumen rokok tidak hanya orang dewasa, melainkan sudah merambah ke usia remaja. Data dari Riskesdas tahun 2007, 2010, dan 2013 menunjukkan bahwa usia perokok paling tinggi adalah pada kelompok usia 15-19 tahun.

Faktor yang kedua dipicu dengan adanya kekeliruan. Dibalik tulisan pada kemasan rokok yakni angka 18+, para pedagang rokok eceran di warung tidak memberikan peringatan bahkan larangan jika para remaja pada usia tersebut menukarkan uangnya dengan satu batang rokok.

Faktor ekonomi berada di posisi kedua karena dari lingkungan yang kurang mendukung “eksistensi remaja” yang secara finansial masih di dapat dari orang tua. Secara akal sehat, pedagang rokok eceran yang tidak memberikan larangan secara mereka juga berpikiran bahwa berdagang itu untuk mencari keuntungan. Selama para remaja di Indonesia “punya uang” mengapa tidak? Kita juga tidak bisa menyalahkan si pedagang warung depan rumah begitu saja.

Terakhir adalah faktor yang menjadi hasil dari kedua induk faktor yang menyebabkan tingginya perokok di Indonesia. Merokok sudah menjadi habit dan tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan si perokok. Jika seseorang sudah memilih rokok menjadi sebagian gaya hidup dan maka seterusnya akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan itulah yang menjadi penyebab pemerintah ikut andil dalam permasalahan ini.

Pro dan kontra tentunya bermunculan. Namun selagi masyarakat mau berpikir sejenak lebih jauh, banyak sekali kerugian yang di dapat jika dirinya memutuskan untuk merokok salah satunya bisa berujung pada naiknya cukai rokok. Semakin banyak yang memilih untuk merokok, semakin banyak yang sakit, semakin banyak pula biaya yang harus pemerintah keluarkan untuk mensubsidi biaya kesehatan, termasuk pendidikan.

Maka dari itu, dengan naiknya cukai rokok maka dipastikan menjadi salah satu suntikan dana subsidi bagi perokok. Cukup adil. Dari perokok, untuk perokok. (FS).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button