Opini

Usni Hasanudin: Anies Baswedan dan Kaum Sophist

biem.co — Bercermin pada sosok Anies Baswedan, sosok Gubernur DKI Jakarta ini mampu memadukan konsep humanis (nilai) dengan pembangunan fisik secara terpadu. Perpaduan antara karakteristik penduduk asli (Betawi), yang terasimilasi dalam dialog kultural sebagai perwujudan nilai di tengah keberagaman warga Jakarta.

Secara fisik, kiat Anis menjadikan Jakarta setara dengan kota-kota lainnya di negara maju bukan sebatas ucapan semasa kampanye. Perpaduan hasil dialog kultural kini tercermin dari suasana kota Jakarta yang semakin terintegrasi antara manusia dan infrastruktur pembangunan fisik.

Cobalah sekali waktu berjalan kaki melintasi jalan-jalan utama di ibu kota. Bukan saja sarat dengan keramahan wajah Jakarta, tetapi seakan warganya dimanjakan dengan berbagai keindahan tata kota dan moda tranportasi murah yang akan mengantarkan warganya bekerja dan kembali ke rumah.

Di balik kegemilangan yang dihasilkan oleh Anies, ketika upaya menepati janji semasa kampanye terus ditunaikan, bukan berarti perjalanan Anies yang menyisakan dua tahun kepemimpinannya berjalan mulus. Anies akan dihadapkan dengan berbagai persoalan-persoalan yang lebih kompleks dan tajam, terutama dari kaum-kaum sophist.

Permainan Kaum Sophist

Politik tidak saja diminati oleh para pecinta kebenaran, akan tetapi diminati pula oleh para pecinta kepalsuan (ketidakbenaran). Pecinta kepalsuan inilah yang dimaksud kaum sophist.

Kaum sophist dilukiskan Plato sebagai orang yang terobsesi dengan penampakkan yang tidak sebenarnya (luar). Memiliki kelihaian dalam memproduksi keyakinan ilusif, yang menjadikan kaum sophist mampu bermain-main untuk memproduksi imitasi dari sesuatu yang realistis.

Pada level kebijakan politik, merencanakan hal yang sulit dijangkau sah-sah saja direncanakan. Tetapi ketika perencanaan tidak didasari pada realitas yang ada, hanya akan menjadi perencanaan yang bersifat ilusi.

Kebijakan pemindahan ibu kota negara dengan perluasan daerah misalnya, kebijakan pemindahan ibu kota yang diputuskan secara terburu-buru dapat dikatakan suatu ilusi dilihat dari kesiapannya baik infrastruktur maupun suprastruktur. Secara realita, perluasan daerah ibu kota lebih memungkinkan ketimbang memindahkan ibu kota.

Membandingkan diskursus keduanya, meskipun pemindahan sudah menjadi keputusan, akan tetapi sangat tidak mungkin untuk segera dieksekusi dalam waktu dekat. Berbeda dengan diskursus perluasan daerah ibu kota dengan memasukkan tiga daerah penyangga, yaitu Kota Depok, Kota Bekasi dan Tangerang Selatan, lebih memungkinkan untuk dieksekusi.

Di lain pihak, keberadaan kaum sophist yang tidak selalu berada dalam posisi lawan politik, bisa terwujud dalam lingkungan Anies sehari-hari. Secara individu, kapasitas dan kualitas Anies memang dapat mencitrakan dirinya sendiri tanpa harus membuat pencitraan dengan menggunakan lembaga pencitraan. Mumpuninya sosok Anies sejatinya didorong pula dengan lingkungan kerja yang dapat mencitrakan institusi Anies bernaung lebih baik.

Kewaspadaan Anies terhadap munculnya kaum sophist harus disadari, keberadaan kaum sophist bukan untuk mendukung akan tetapi berupaya untuk mendelegitimasi Anies di mata publik,  mengurangi atau mempreteli kewenangan yang dimiliki serta hanya untuk menggangu kinerja Anies agar apa yang menjadi janji dan visi misi semasa kampanye tidak tercapai.

Karena kehadiran kaum sophist adalah kaum yang selalu ada di setiap ranah kekuasaan. Oleh karena itulah, kaum sophist gemar memutarbalikkan antara fakta dan realita, lebih menonjolkan kepalsuan dengan menyembunyikan kebenaran, memproduksi yang ilusi ketimbang realita dan hadirnya kaum sophist tidak lain yaitu untuk kepentingan kapital yang mencoba masuk dari sisi penggunaan media-media informasi.

Membentengi ala Anies

Anies memang cukup piawai dalam membentengi dirinya dari kaum sophist. Setiap kali serangan menghantam, dengan mudah dapat diatasi. Apa yang dilakukan oleh Anies dalam membentengi dari serangan memang sangat lihai dan efektif.

Inilah art of war (seni berperang) dalam berpolitik. Tanpa kekerasan dan tanpa menciptakan rasa takut masyarakat (horor). Inilah seni berpolitik Anies yang menggunakan creative of cultural (kreativitas budaya).

Kreativitas budaya, dua kategori kreativitas berdasarkan tujuannya. Kreativitas konstruktif, kreativitas dalam membangun yang belum ada sebelumnya, memecahkan masalah, menemukan hal-hal baru yang dapat memberikan kenyamanan, keindahan, keteraturan dan banyak hal lain yang bersifat positif.

Sebaliknya, destruktif meskipun memiliki tujuan menciptakan hal baru, akan tetapi bersifat negatif seperti penghancuran, menciptakan konflik, kekacauan bahkan permusuhan.

Inovasi budaya, itulah kreativitas destruktif kultural ala Anies dalam menghadapi lawan politiknya. Inovasi budaya yang amat brilian, ketika budaya menjadi konsumsi publik yang membentuk ruang baru secara bersama, menciptakan nilai, bentuk yang dapat dinikmati masyarakat dan mereka yang memiliki kepentingan.

Anies Baswedan bisa dibilang sangat memahami kerinduan warga Jakarta, terlebih Betawi. Jakarta adalah cermin Islam dan Betawi. Perpaduan Islam dan Betawi yang dikemas dengan nuansa kekinian (modern) mampu menghipnotis warganya. Kekaguman yang kemudian tanpa sadar menjadi kekuatan politik bagi Anies Baswedan.

Berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya yang selalu menciptakan konflik, permusuhan dan berbagai penghancuran bahkan nilai-nilai budaya terendam. Anies sebenarnya bukan memunculkan hal baru, hanya mengangkat kembali budaya yang terendam. Meskipun bersifat ceremony, untuk jangka waktu dekat dapat membuat kaum sophist berpikir dan menghitung ulang menyerang Anies.

Di lain pihak, Anies meninggalkan sikap dialogisnya. Menurut Mikhail Bakhtin dalam The Dialogic Imagination, yang terpenting adalah bagaimana memahami manusia sebagai subjek dengan segala perasaannya, bukan sebagai objek yang tidak berjiwa.

Dalam konteks inilah kaum sophist akan memengaruhi, menciptakan konflik dan menjadi ganjalan antara Anies dengan organisasi budaya atau organisasi yang menaungi adat Betawi, yaitu Bamus Betawi. Anies harus mampu menjadikan subjek yang berjiwa hingga menjadi centeng intelektual di Jakarta. (red)


Dr. Usni Hasanudin adalah Direktur Lab. Ilmu Politik FISIP UMJ; Ketua Dewan Pakar Gemuis Betawi; Ketua Bidang Politik Bamus Betawi.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button