I/
Sebagai tokoh yang tidak saja ulama tokoh NU yang disegani, melainkan juga tokoh sastra yang dihormati, sosoknya KH. Mustafa Bisri atau yang akrab dipanggil Gus Mus ditunggu-tunggu kehadirannya dalam berbagai kesempatan. Tidak heran ketika Gus Mus tausiyah di Cilegon dalam rangka Tahun Baru Hijriyah 1441, masyarakat Cilegon memenuhi Masjid Raudhatul Jannah. Sebuah masjid yang didirikan oleh yayasan berbasis pendidikan Islam Terpadu, tepatnya di Pondok Cilegon Indah (PCI).
Tidak ada aura keletihan pada sosok sepuh seorang Gus Mus. Pancaran yang dikirim dari sosoknya senantiasa muda dan bersemangat. Suaranya tetap kuat. warna vocal dan intonasinya yang khas tetap menjadi sihir tersendiri. Pembawaannya tidak membuat mengantuk, sebab meski tidak ada upaya dari Gus Mus membuat lelucon jamaah tidak jarang dibuat tertawa malu-malu dengan sentilan-sentilunnya yang tidak terduga. Seperti anak panah yang tiba-tiba melesat dan tepat menancap di pusat dada. Suasana khidmat sekaligus santai dapat dibangun seketika sesaat setelah Gus Mus duduk di kursi yang disediakan oleh panitia. Di panggung berukuran sekitar 4×2 meter, menatap jamaah dari jarak dekat.
Pada bagian awal setelah muqodimah Gus Mus mengucapkan selamat tahun baru kepada jamaah sembari mendoakan mudah-mudahan dosa-dosa jamaah termasuk juga dirinya (karena kata ganti yang Gus Mus gunakan “kita”) pada tahun yang lalu diampuni dan amal-amalannya diterima oleh Allah seraya berharap Allah memberi pertolongan, membantu untuk menundukkan napsu yang ada pada diri sendiri sehingga memudahkan manusia untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallahu’alaihi wassalam.
Sebuah pembukaan yang sangat identik dengan sosok Gus Mus. Sangat akrab dengan pemikiran-pemikirannya selama ini. Ia yang senantiasa mengingatkan bahwa setiap manusia harus terlebih dahulu menundukkan napsunya sendiri sebelum berbicara menundukkan napsu orang lain. Setiap manusia harus memeriksa keimanannya sendiri sebelum memeriksa apatah lagi mengoreksi keimanan orang lain. Dan di antara semua usaha manusia apatah lagi dalam urusan agama, harus memasrahkan hasil kepada Allah. Sebab hanya Allah yang memiliki kuasa dan daya, sementara manusia hanya diwajibkan berikhtiar. Kalau tidak salah memaknai, demikian.
Meski saya dapat memastikan panitia sebelumnya telah menyampaikan bahwa tausiyah diharapkan sesuai dengan momen dan tema, tausiyah berjalan mengalir santai tanpa ada kesan dipeta-petakan sesuai kebutuhan tema. Memang sepanjang tausiyahnya ada beberapa cerita yang panjang sekali, beruntun dari satu cerita ke cerita yang lainnya. Kadang seperti tidak ada hubungan antara satu cerita ke cerita yang lainnya, padahal semua cerita saling kait, hanya saja untuk dapat menemukan keutuhannya dari cerita-cerita itu, membutuhkan konsentrasi yang cukup. Saya yakin jamaah dapat menangkap itu. Terlebih pembawaan Gus Mus dan diksi yang digunakan terbilang mudah diterima nalar.
Tausiyah terkait hijrah dimulai dengan ajakan Gus Mus kepada jamaah untuk memuhasabah diri sendiri sebelum terlalu jauh berbicara tentang hijrah. Sebab katanya, kalau seseorang tidak tahu dirinya dari mana dan mau kemana, mau hijrah dari mana akan kemana? Jika seseorang tidak mengetahui persis dirinya ada di mana, bagaimana dapat berpikir akan hijrah? Jika seseorang hanya tahu dirinya ada di mana tapi tidak tahu akan kemana, bagaimana dapat memastikan bahwa hijrahnya akan membawanya sampai pada tempat yang lebih baik?
Tetapi Gus Mus tidak lantas membicarakan hijrah secara gamblang. Tidak mengurai definisi-defini atau membuat simulasi praktis semacam membuat tutorial shalat. Ia terlebih dahulu mengajukan rentetan pertanyaan beranak dan bertingkat: “Kalau kita mengatakan kita sibuk mencari ridho Allah mari sekarang kita bicarakan konsep kita tentang Allah. Kita melihat Allah itu apa? Serem? Menyenangkan? Sangar? Atau apa? Atau bahkan tidak terbayangkan sama sekali oleh kita?”
Pertanyaan-pertanyaan penting yang membuat jamaah bergeming. Ada yang tertegun lantas menundukkan kepala, ada pula yang spontan tertawa. Bumi dengan beragam ekspresi manusia semacam ini memang selalu menarik. Jika dibayangkan, semua ekspresi didorong dari alam akal. Entah ada yang tiba-tiba merasa ditembak dengan pertanyaan itu. Mungkin ada yang tiba-tiba menertawakan diri sendiri karena ternyata selama ini pertanyaan semacam itu tidak pernah diajukan oleh dirinya untuk dirinya sendiri.
Rentetan pertanyaan retoris itu memang pertanyaan yang terlalu dasar, tapi hal-hal dasar pada zaman di mana pengetahuan seperti kuda perang yang liar sering dilupakan. Seakan-akan tidak perlu padahal dari hal-hal dasar sebuah konstruksi pemahaman yang luas dapat terbangun dengan baik. Tidak mungkin ada orang yang dapat memahami sesuatu tanpa mengetahui dasar dari sesuatu itu. Logika sederhananya begitu. Ini sebuah permulaan yang menarik bagi alam pikiran jamaah, mengingat dinamika dunia pemikiran dan pergerakan sosial masyarakat kekinian yang memerlukan pandangan jernih dari orang-orang alim.
Belum sepenuhnya jamaah menarik satu tarikan napas sempurna, Gus Mus menukik jamaah dengan rentetan pertanyaan yang semakin tajam: “Apakah kita sibuk menyebut Allah saja tanpa menyadari siapa yang kita sebut-sebut itu? Bahkan kita teriak-teriak Allahuakbar tanpa mengecilkan diri kita sendiri. Omong kosong kita membesarkan Allah, tapi masih membesarkan diri kita sendiri.”
Keberanian mengoreksi diri sendiri memang harus sering ditukik, karena lebih sulit dibandingkan seorang penakut akut yang dipaksa belajar berani membuat kopi sendirian di dapur pada waktu larut malam. Mengoreksi pengetahuan tentang Allah yang sangat sering diucapkan setiap harinya. Mengoreksi niat yang ada di dalam hati ketika menggagungkan Allah. Di mana posisinya sebagai manusia dan apa yang terlebih dahulu perlu diperiksa oleh seorang manusia yang ingin melakukan sesuatu yang disenangi Allah.
Kembali Gus Mus menghadirkan contoh dari keseharian dan beberapa pertanyaan yang menguji jamaah.
Dari cerita dan pertayaan-pertanyaannya dapat diserap maksunya bahwa jika seseorang ingin membuat orang lain senang, hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah mengenali orang tersebut. Kemudian mengetahui dengan sungguh-sungguh apa yang disenangi. Dari sanalah tindakan-tindakan yang dapat menyenangkan orang yang ingin disenangkan dibuat. Barulah seseorang dapat tepat dalam berucap, bersikap, dan bertindak sehingga benar-benar mampu membuat senang orang yang ingin dibuat senang. Begitu juga ketika seorang hamba ingin menyenangkan Allah, yang harus dilakukan adalah bersungguh-sungguh mengenal Allah. Apa yang Allah sukai dan apa yang dimurkai.
II/
Gus Mus bercerita tentang temannya yang berhasil mencium Hajar Aswad. Sebagaimana lazimnya orang berebutan mencium Hajar Aswad untuk mendapatkan sunah, teman Gus Mus yang tidak disebutkan namanya dalam cerita yang disampaikan Gus Mus begitu gembira dan bangga menceritakan trik yang ia gunakan sehingga dapat mencium Hajar Aswad, melewati jutaan jamaah dari berbagai penjuru dunia. Sejak Rukun Yamani hingga sampai di depan Hajar Aswad. Mati-matian ia menempel terus pada ka’bah. Bahkan tanpa ragu ia juga menceritakan kepada Gus Mus bahwa dengan sigap ia menyikut siapa saja yang mendekati Hajar Aswad, yang berpotensi menggagalkan misinya mencium batu dari surga itu.
“Alhamdulillah,” katanya.
“Astagfirullah,” kata Gus Mus.
“Loh kenapa, Gus? Mencium Hajar Aswad kok Astagfirullah?”
“Sampeyan mencium Hajar Aswad untuk menyenangkan Allah atau menyenangkan dirimu sendiri? Untuk mencari ridho Allah atau untuk mencari ridho dirimu sendiri?”
Teman Gus Mus diam sebentar sebelum pada akhirnya dengan yakin ia menjawab.
“Tentu saja untuk mencari ridho Allah. Untuk menyenangkan Allah.”
Gus Mus tertawa.
“Lucu kamu ini. Untuk menyenangkan Allah, hamba-Nya kamu sikuti. Mencium Hajar Aswad paling tinggi hukumnya sunah, menyikut hamba Allah itu haram. Bagaimana kamu mencari kesunahan dengan keharaman? Itu sama saja dengan korupsi untuk sedekah.”
Dari cerita tersebut Gus Mus ingin memberi contoh prilaku orang yang merasa telah melakukan sesuatu yang dapat menyenangkan Allah, padahal prilaku tersebut lebih dekat dengan kemurkaan Allah. Orang yang lupa bahwa untuk menjadi shalih tidak mungkin dengan cara menyakiti makhluk Allah, sebab keshalihan kepada Allah berarti juga mesti shalih kepada hamba-Nya.
Dalam kaitannya, Gus Mus menghadirkan dua contoh manusia. Manusia pertama ahli ibadah, kaya raya, setiap tahun menunaikan ibadah haji, dan membangun masjid di mana-mana. Tetapi ia semena-mena kepada karyawan-karyawannya. Karyawan-karyawannya dipekerjakan dengan cara yang tidak manusiawi. Tidak punya waktu shalat berjamaah, sebab peraturan jam kerja yang sangat ketat. Tidak mau rugi. Sementara manusia yang satunya lagi manusia yang sangat baik kepada manusia. Taat kepada orangtua. Memuliakan istri. Menghormati tetangga. Tetapi manusia tersebut tidak shalat.
“Mana yang lebih baik?” tanya Gus Mus.
Jamaah diam, bahkan tetap diam ketika Gus Mus mengulang pertanyaan yang sama dengan intonasi yang lebih tegas.
“Takwa itu, baik kepada Allah, baik kepada hamba-Nya. Shalih kepada Allah, shalih kepada hamba-Nya. Hanya mengambil setengah dari yang satu itu, tidak bisa. Orang-orang ahli ibadah yang jahat kepada tetangganya, jangan mengharap surga. Orang-orang ahli ibadah yang berlebihan hartanya sementara tetangganya mati kelaparan, jangan pernah berharap menjadi penghuni surga.”
III/
Sebagai tokoh bangsa, pembicaraan Gus Mus tidak dapat tidak menyasar pada persoalan-persoalan mutakhir di negeri ini. Ia menyoroti gejala kurang baik di lingkungan sosial masyarakat Indonesia, wabil khusus pemahaman umat Muslim dalam beragama. Katanya, tahun baru penting dijadikan momen untuk berpikir lebih kritis. Tidak lagi menyampaikan sesuatu yang tidak dipahami. Tidak lagi asal menyebar informasi yang tidak dimengerti. Semua perlu dipahami sejak dari dasar. Dipahami maksud setiap pembicaraan yang didengar, agar tidak berbicara tapi tidak mengerti apa yang dibicarakan. Semangat luar biasa, tapi dasar pemahamannya tidak jelas.
“Ini yang membikin masalah di masyarakat kita. Karena ini!” ujar Gus Mus sambil memainkan kotak tisu yang kadang diletakkan agak dibanting dan kadang diangkat kembali, berulang-ulang. “Siapa Allah? Siapa Rasulullah? Apa yang dimaksud dengan agama? Rata-rata orang tidak mengkaji karena merasa sudah mengerti padahal tidak mengerti. Akibatnya banyak orang yang beragama tapi penuh beban. Penuh ketakutan.”
Jamaah bergeming. Gus Mus tampak sangat serius, bahkan terlalu serius untuk seorang Gus Mus. Ini tanda bahwa yang sedang dibicarakan benar-benar serius. Sama seperti ketika ia nge-twitt selain di hari Jum’at, bahkan lebih dari 2 postingan dalam satu hari. Kalau tidak salah ketika itu menjelang pengumuman calon wakil presiden dari salah satu Capres. Tidak hanya intonasi yang meninggi dan volume suara yang lebih keras, tapi dalam posisi duduk Gus Mus juga memeragakan gerakan orang yang terbebani dan ketakutan. Jamaah benar-benar bergeming.
“Ini bagaimana?” tanya Gus Mus tiba-tiba diiringi tawa kecilnya yang khas. Tawa jamaah pun pecah. “Sebetulnya agama itu untuk siapa? Anda kira untuk Allah? Allah tidak butuh apa-apa. Tidak memerlukan apa-apa. Termasuk tidak membutuhkan manusia. Mari kita ikhtisari diri kita sendiri. Agama itu bukan untuk Allah. Bukan untuk Rasulullah. Kita yang perlu. Kalau kita tidak mau? Silakan! Tuhan mempersilakan kita keluar dari bumi-Nya.”
Gus Mus dengan posisi tubuh dan fokus pandang yang bergantian memandangi wajah jamaah di sisi kanan depan dan kiri depannya, mengingatkan bahwa utusan yang dikirim Allah adalah manusia. Rasul akhir untuk umat zaman ini adalah Rasulullah shallahu ‘alaihiwasalam. Pemimpin agung yang menjadi teladan manusia. Manusia yang paling mengerti manusia. Rasulullah adalah manusia yang memanusiakan manusia. Sebab Rasululullah dipilih Allah untuk mendakwahkan agama yang diperuntukkan bagi manusia. Rasulullah tidak pernah memaksakan kehendak, apalagi mempersulit manusia.
Tanpa ada sedikit pun keraguan Gus Mus berani menjamin bahwa tidak ada perintah Kanjeng Nabi yang sulit bagi manusia. Semua ajaran yang dibawa oleh Rasulullah adalah sesuatu yang wajar sebagai manusia. Semisal, seorang hamba menyembah Tuhan. Itu wajar, karena Tuhan memang maha segala-galanya. Yang tidak wajar adalah menyembah sesuatu yang sebanding dengan dirinya apatah lagi menyembah sesuatu yang lebih rendah darinya, semisal batu. Gus Mus menyebutnya sebagai kedzoliman yang luar biasa. Begitu pula ajaran mencintai dan memuliakan istri. Itu wajar. Tidak wajar jika seorang perempuan dinikahi kemudian ditempelengi setiap hari.
“Baik dengan manusia, wajar. Kalau Anda dapat baik dengan kucing, anjing, dan kuda, sebetulnya itu tidak wajar. Lebih tidak wajar lagi, Anda tidak baik kepada manusia sementara Anda baik kepada kucing?” seloroh Gus Mus disambut tawa malu-malu jamaah.
Belum hilang gema tawa jamaah Gus Mus langsung menunjuk ke arah kemudahan-kemudahan yang bukan hanya kemudahan, melainkan ada pahala di dalam kemudahan-kemudahaan tersebut. Ia memberi contoh orang yang sedang berpuasa. Banyak sunah di dalam berpuasa yang mengandung pahala, di antaranya menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan waktu sahur. Di satu sisi, orang yang seharian tidak makan tentu ingin segera berbuka. Itu kodrat manusia. Menahan lapar, bertemu makanan, diperintahkan menyegerakan makan dan dapat pahala. Sudah sesuai kodrat, Gusti Allah berikan pahala pula.
“Itulah agama Islam,” kata Gus Mus. “Perintah-perintah yang sesuai dengan sifat manusia dan dengan karena itu, mendapatkan pahala. Islam tidak memberatkan manusia, karena Islam itu mudah.”
Gus Mus yang mengaku tidak suka mendalil (mengeluarkan dalil) ketika tausiyah di daerah Jawa Tengah dengan sengaja sering menghadirkan dalil ketika tausiyah di Cilegon. Sesekali Gus Mus berseloroh bahwa ia berdalil karena orang Cilegon tidak percaya jika bicara tidak disertai dalil, sebagaimana orang-orang di Jakarta. Seloroh yang senantiasa disambut tawa malu-malu jamaah. Sebab itu, ia menyampaikan Surat Al-Baqarah ayat 185.
Yuridullahu bikumul yusra, Allah menghendaki kemudahan bagimu, yuridu bi kumul ‘usra, tidak menghendaki kesulitan bagimu.
“Ini di dalam khazanah pesantren namanya taukid,” kata Gus Mus “Mengukuhkan ketidakberatannya. Jadi jelas Tuhan tidak menjadikan dalam agama ini sesuatu yang sumpek. Kalau sampeyan sumpek dalam beragama, sampeyan salah. Ini agama untuk manusia dan yang diutus Allah adalah manusia yang mengerti manusia. Maka perintah Rasulullah selalu diembel-embeli kalau aku perintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakan semampumu. Ada perintah yang lebih mudah dari ini? Tidak seperti bos-bos itu. Kanjeng nabi tidak begitu.”
IV/
Mendekati menit-menit terakhi tausiyah, Gus Mus mengerucutkan pembicaraan pada tema. Ia mengutarakan bahwa hijrah ke tempat yang lebih baik tidak lantas kemudian meninggalkan pekerjaan dan kewajiban-kewajiban keduaniaan yang telah menjadi tanggung jawabnya. Sebab ihwal sesuatu disifati sebagai sesuatu yang duniawi atau sesuatu yang ukhrawi tidak terletak pada apa yang dilakukan, melainkan ada pada niat. Ada orang yang seakan-akan mengerjakan perkara-perkara ukhrawi padahal niatnya dunia. Ada orang membaca Al-Qur’an niatnya untuk dapat piala. Ada orang yang sepertinya duniawi, tapi nilainya ukhrawi. Ada orang yang sibuk berdagang niatnya ibadah untuk membiayai kebutuhan keluarga.
Hijrah pada pandangan Gus Mus adalah soal kepandaian menata niat. Ada orang terlihat tidak bagus tapi bagus karena niatnya bagus. Menata niat inilah yang menjadi tugas manusia, katanya. Berarti jika ditarik lebih jauh, hijrah yang dimaksud oleh Gus Mus adalah menghijrahkan niat kepada tempat yang lebih baik. Semisal dari shalat badan ke shalat jiwa. Dari puasa badan ke puasa jiwa. Dari dakwah badan ke dakwah jiwa. Tentu yang Gus Mus maksud bukan berarti meninggalkan yang bersifat badani, melainkan menariknya menjadi bernilai jiwa. Sebab manusia hijrah sebagai manusia. Hal-hal yang manusiawi tidak dapat ditiadakan atau ditinggalkan.
Pemarapan pada menit-menit terakhir tersebut tidak berdiri sendiri. Ianya bukan kesimpulan, melainkan bagian dari keseluruhan pamaparan Gus Mus yang disampaikan kurang lebih selama 1 ½ jam. Semoga para pembaca dapat menyusun setiap bagian yang ada sehingga menemukan bentuk utuh dari hijrah yang dimaksud oleh Gus Mus.
Jadi, dari mana dan kemanakah manusia hijrah?
Cilegon, 3 September 2019