Opini

Iin Solihin: Jelang Rapat Kerja Nasional Mathla’ul Anwar “Dari Kampung Masuk Kota”

biem.co — Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) pada 30 Agustus – 01 September 2019 akan menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang bertempat di perguruan Mathla’ul Anwar (MA) Pusat Menes, Pandeglang-Banten. Perhelatan Rakernas akan dihadiri pengurus wilayah, kabupaten/kota, lembaga pendidikan MA se-Indonesia, perwakilan organisasi keagamaan dan unsur lainnya se-Banten.  

Dipilihnya Menes sebagai tuan rumah Rakernas, secara artikulatif memiliki pesan dan nilai kesejarahan. Menes sebagai tempat Rakernas PBMA seolah menjadi sinyal dan hasrat ajakan untuk bernapak tilas, agar ingatan publik tetap terjaga. Kiyai H. Entol. Moh Yasin pada 10 Juli 1916, secara lincah merangkul, berdiskusi dengan para tokoh masyarakat dan kiyai di Menes, mereka berbagi ide seputar masalah ketidakadilan, kemisikinan dan kebodohan yang tengah dihadapi.

Mereka berdialog secara akrab, gagasan saling disodorkan untuk diracik jadi sebuah solusi yang akhirnya menghasilkan kesepakatan menjadikan pendidikan (dakwah-sosial) sebagai strategi untuk memajukan kehidupan rakyat, dan cita-cita itu pun terwujud, proses belajar mengajar di madrasah dapat dimulai pada 10 Syawwal 1334 H-09 Agustus 1916 M. Rakyat pun akhirnya bisa sekolah.

Kiyai H. Entol. Moh Yasin sebagai figur cerdas menghadapi kesulitan justeru menjadi peluang. Persoalan ketidakadilan kolonial Belanda terhadap pendidikan bagi inlander (pribumi) bersifat diskriminatif. Kiyai H. Entol. Moh Yasin sadar dirinya membutuhkan sosok lain untuk membantunya. KH. Mas Abdurrahman pun di ajak berpartisipasi untuk meracik pengajaran di lembaga pendidikan madrasah dan akhirnya memberikan sebuah nama “Mathla’ul Anwar” (tempat terbitnya cahaya).

Kesulitan biaya operasional pendidikan disikapi secara lihai, Kiyai H. Entol. Moh Yasin dan Kiyai di Menes, berembuk, mengajak masyarakat terlibat patungan (uang), tenaga, pikiran, wakaf tanah, hingga jimpitan (patungan beras remeh) yang sebagian disumbangkan pada kaum dhuafa, dan sebagian dana untuk membeli sebidang tanah (lahan) yang kini dinamakan “kebon remeh” milik MA adalah uang hasil pungutan beras jimpitan.

Perjalanan pendirian lembaga pendidikan MA adalah kisah perjuangan rakyat, bukan hanya kisah membangun sekolah. Tetapi lebih dari itu adalah tentang hasrat yang kuat ingin berubah dan maju, bergerak meraih kebahagiaan dan ilmu yang di raih pun berharap dapat bermanfaat tidak hanya bagi dirinya, tapi untuk bangsa dan negara.

MA “Dari Kampung Masuk Kota”

Organisasi MA berdiri pada 10 Juli 1916 di Menes, Pandeglang, Banten. Didin Nurul Rosyidin dalam buku Membela Islam Mathla’ul Anwar di Tengah Arus Perubahan Agama, Sosial, Budaya dan Politik di Indonesia (2018) menceritakan MA sebagai kisah perjalanan “Dari Kampung Masuk Kota”. Secara artikulatif, MA dilahirkan di kampung, tumbuh subur dipelosok-pelosok pinggiran desa, kecamatan, kabupaten dan masuk ke kota-kota besar yang kini sudah tersebar sebanyak 30 wilayah di Indonesia.

Perjalanan dan pertumbuhan organisasi MA, secara kuantitas cukup berhasil jika dilihat keberhasilannya dalam melebarkan sayap di 30 provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dan menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan dengan negara Turki, Malaysia dan singapura.

Tetapi secara kualitas dan popularitas, organisasi MA belum se populer dibandingkan dengan organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah (1912) dan NU (1926) baik dilihat dari capaian-capaiannya seperti jumlah lembaga pendidikan, jumlah universitas, rumah sakit dan amal usaha lainnya. Bahkan Muhammadiyah (1912) dan NU (1926) pun memiliki jumlah program kerja lebih luas yang dijadikan garapannya selain dalam bidang pendidikan, dakwah maupun sosial.

Beberapa indikator yang menjadikan MA belum populer salah satunya pertama, kurangnya tingkat publisitas literatur-literatur buku, jurnal dan buletin tentang organisasi MA yang belum begitu masif disuguhkan yang genuin lahir dari organisasi MA tentang perspektif dan konsep yang mengulas persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya, hak asasi manusia dan sebagainya. Terlebih dalam bidang dakwah, organisasi MA hingga saat ini masih menyimpan tokoh-tokoh kharismatik dan figur-figur pendakwah ampuh yang hingga kini belum dimunculkan untuk menjadi rujukan publik.

Padahal meminjam ide peneliti moncer Robert W. Hefner (2013) bahwa organisasi MA sebagai gerakan cultural approach yang orientasi perjuangnnya diarahkan lebih pada proses pencerdasan, dan pemberdayaan sosial, pada 09 Agustus 2019 yang diperingati sebagai tanggal kelahiran Mathla’ul Anwar telah berusia 103 tahun, tentu sudah tiba waktunya MA membuka mutiara-mutiara yang tersimpan agar kembali menjadi tempat terbitnya cahaya.

Maka Rakernas PBMA yang akan digelar dengan tema “Teguh Memberi Penerang Bagi Umat” yang dimaknai bahwa teguh artinya kuat dan konsisten tidak surut oleh waktu tidak lekang oleh zaman. Dan penerang artinya memberikan pencerahan, pencerdasan, membina, membimbing umat ke arah kehidupan yang lebih baik. Umat artinya umat manusia secara universal.

Jejak, pesan dan sejarah perjalanan keberhasilan Kiyai.H. Entol. Moh Yasin bersama tokoh dan para kiyai sebagaimana disuguhkan di awal, ada baiknya diadopsi untuk dijadikan tauladan ingatan menemani Rakernas PBMA ini untuk kembali jadi momen perayaan bersama, utamanya mereka yang hadir di acara rakernas agar dirangkul, sumbangan ide-ide bernas dan pemikirannya yang segar dibutuhkan agar dapat dijadikan bahan rujukan.

Karena bagaimanapun, organisasi MA dengan cita-citanya yang luhur sebagaimana tertuang di AD/ART dan Khittah MA tahun 1916, dalam bidang pendidikan, dakwah dan kesejahteraan sosial tidak akan terwujud, jika tidak adanya partisipasi dari berbagai pihak untuk hadir bersama merumuskan upaya solutif yang diketengahkan dapat dijadikan parameter apakah gagasan yang ditawarkan MA cukup relevan dengan realitas perkembangan jaman kiwari atau tidak.

Jangan sampai sejarah organisasi MA sebagai miniatur perjuangan rakyat gagal mempertahankan jejak kebesaran yang pernah ditorehkan, terlebih organisasi MA saat ini sudah berkembang dan besar, namun jangan sampai terjebak pada rutinitas mengurus organisasi tanpa dibarengi melahirkan wacana segar pemikiran-pemikiran ke-Islam-an yang ramah dan terbuka.

Oleh karena itu, agenda Rakernas hendaknya bukan dijadikan agenda rutin organisasi MA. Tetapi lebih dari itu menjadi momen penting dan penentu upaya menjaga reputas organisasi MA sebagai organisasi keagamaan terbesar ketiga secara nasional setelah Muhammadiyah (1912) dan NU (1926) untuk menghasilkan  rekomendasi dan program kerja yang solutif dalam mensikapi isu-isu aktual yang tengah dihadapi baik di tingkat daerah hingga nasional.

Publik secara luas, akan sabar menanti, dan akan menunggu kabar rekomendasi dan program kerja yang dihasilkan Rakernas PBMA, dan semoga hasil Rakernas PBMA dapat berkontributif mempercepat proses kemajuan bagi umat, bangsa dan negara agar lebih baik. Hal itu sebagaimana ungkapan bijak sebaik-baiknya perbuatan, adalah dilakukan semasa hidup. Karena mati bisa kapan saja (PLN). Semoga!

Hadaanallah waiyakum ila shiratim mustaqimWassalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh


iin solihin

Iin Solihin, Alumnus Magister Komunikasi Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button