biem.co — Ada banyak film bertema remaja akhir-akhir ini yang bermunculan di layar bioskop. Tahun ini, tercatat sudah ada 10 judul film bertema remaja yang tayang sejak awal tahun hingga akhir Juli 2019. Dan dari sekian banyak film berlatar kehidupan remaja, ada satu film yang paling menyita sorotan publik, terlebih di kalangan media sosial.
Ya, film itu berjudul Dua Garis Biru, film yang cukup banyak menimbulkan pelbagai reaksi khalayak ramai, terkhusus warganet. Sejak kemunculan teaser pertamanya, film ini menuai banyak kecaman dari pelbagai kalangan. Dari mulai aksi pemboikotan hingga petisi agar film tersebut dilarang tayang di bioskop. Padahal, tanggal tayangnya saja belum diumumkan.
Alih-alih pro dan kontra yang semakin menjadi, perilisan trailer film Dua Garis Biru (setelah teaser film) malah memuncaki trending YouTube nomor satu di Indonesia. Tidak hanya banyaknya penolakan, dukungan untuk film tersebut tidak kalah meriah.
Seorang sutradara kenamaan Indonesia, yakni Joko Anwar, lewat wawancaranya bersama Najwa Shihab di salah satu acara televisi, mengaku prihatin dan sangat menyayangkan adanya tindakan boikot dan petisi terhadap film yang bahkan tayang secara full di bioskop pun belum.
Kontroversi film tersebut yang mengangkat tema remaja dengan mengaitkan hal-hal yang dirasa tabu namun marak terjadi di negeri ini. Tentang seorang gadis Sekolah Menengah Atas (SMA) bernama Dara (Zara JKT48) yang memiliki kekasih bernama Bima(Angga Yunanda), yang kebablasan dalam meramu kisah cinta monyet menjadi tragedi.
Dara hamil di luar nikah, hingga mau tidak mau, Bima harus menikahinya dan mereka harus berjuang di tengah pengetahuan dan pengalaman yang sangat minim tentang pernikahan dan menjadi orangtua.
Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan film yang tayang pada 11 Juli tersebut, hanya saja di negera berflower ini memang tidak mudah menjelaskan bagian-bagian kehidupan yang dianggap tabu.
Pernikahan di usia dini dengan kasus seperti Dara dan Bima tidak sedikit terjadi di Indonesia. Sayangnya, hal seperti itu lama-kelamaan malah seperti tidak perlu diasingkan lagi.
Jika sudah terjadi kasus seperti Dara dan Bima, reaksi masyarakat yang pernah saya dengar adalah “emang zaman sudah begini, mau bagaimana lagi.”
Rasa-rasanya sangat janggal, kenapa hal seperti itu bukannya diperbaiki atau dicegah malah dibiarkan menjadi budaya, bukankah itu budaya yang tidak baik? Bukankah kita ingin anak cucu kita selamat nantinya? menjadi generasi yang lebih baik nantinya?
Saya pernah diingatkan oleh seorang guru bahasa Indonesia saat masih di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), beliau pernah bilang, “Jika sesuatu sudah terlanjur rusak, selalu ada cara untuk memperbaikinya, terlebih jika kita mau dan sudi berusaha.”
Film Dua Garis Biru berusaha menampilkan hal-hal yang dianggap tabu untuk bisa menjadi media pengetahuan agar kita semua tahu, begini akibat jika kita tidak mau berubah sejak dini dalam berhubungan, menjadi orangtua itu pekerjaan seumur hidup bukan setahun atau dua tahun.
Di balik kontroversi yang ada, siapa menyangka film Dua Garis Biru bisa meraih 2 juta lebih penonton dalam penayangannya dan menjadi film kedua terlaris di tahun 2019 setelah Dilan 1991. Prestasi yang mungkin tidak ada yang menduga sebelumnya.
Bukan pula perkara yang aneh memang, banyaknya dukungan para pesohor film terhadap film Dua Garis Biru yang mereka komentari dalam akun-akun media sosial masing-masing, kebanyakan mengatakan, “film ini sangat sarat akan pesan moral terlebih untuk remaja-remaja masa kini mengenai sex education,” yang cukup ampuh membuat orang-orang tertarik menonton untuk lebih tahu perihal film tersebut dan berakhir merasa kagum dan tercerahkan.
Dan tulisan ini saya akhiri dengan kalimat yang pernah saya dengar dari kawan saya saat masih di SMK, katanya, “jangan pernah melihat buku hanya dari sampulnya saja.” (susi)
Susilawati, adalah alumni Akademi Indonesia Kreatif (AIKa) Tahun 2018.