Opini

Eko Supriatno: Menggugat Kinerja Birokrat

biem.co — Prestasi paling jeblok dipegang Banten adalah terkait silpa tahun anggaran 2018 sebesar Rp1,079 triliun. Penulis mencermati bahwa silpa masih terlalu besar. Dilihat dari aspek perencanaan, berarti masih banyak kegiatan yang tertunda bahkan tidak dapat dilaksanakan. Ini berarti target yang sudah ditetapkan tidak terealisasi.

Dikabarkan rata-rata penyerapan anggaran sudah di atas 50 persen, meski tidak mencapai 70 persen. Para bupati atau wali kota di Banten umumnya memberikan alasan sulitnya dan panjangnya prosedur yang harus dilalui menjadi faktor utama atau seretnya penyerapan anggaran yang maksimal.

Mereka juga berargumentasi, takut salah melangkah dalam menggunakan anggaran karena salah-salah bisa berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau kejaksaan. Para birokrat umumnya bersikap konservatif, alon-alon asal selamat.

Penulis berasumsi rendahnya penyerapan sebuah anggaran berarti menunjukkan buruknya kinerja sebuah pemerintahan. Dengan kelebihan silpa, ini menunjukan lemahnya sisi perencanaan anggaran, karena seharusnya silpa tersebut bisa dialihkan ke program yang menyentuh masyarakat secara langsung.

Apapun dalih dan alasan yang disampaikan para birokrat, seperti bupati atau wali kota atau pejabat yang menangani pencairan dan pelaksanaan anggaran, rendahnya tingkat penyerapan anggaran itu bisa disebut sebagai buruknya kinerja pemerintahan.

Pembangunan yang dilakukan Pemprov Banten belum menunjukkan hasil yang memuaskan karena jalan di tempat. Sementara itu, realisasi serapan fisik Pemprov Banten hingga awal Juni 2019 baru mencapai 40,24 persen atau tak sesuai target yang ditetapkan 45 persen.

Realisasi serapan fisik berpengaruh terhadap realisasi serapan keuangan. Hingga awal Juni 2019, realisasi keuangan baru mencapai 30 persen.

Kinerja Gubernur Banten terkesan retorika. Semula harapan masyarakat sangat besar terhadap Wahidin Halim untuk melakukan perubahan di Banten. Karena salah satu jargon politiknya adalah pengobatan gratis hanya dengan modal KTP, dan juga pendidikan gratis. Namun apa yang terjadi sudah hampir tiga tahun memimpin Banten, kampanye andalannya ini tidak bisa terwujud.

Bahkan yang lebih mirisnya lagi, APBD Banten Tahun Anggaran 2018 hanya terserap 88%, padahal sesuai dengan peraturan silpa anggaran itu idealnya hanya di kisaran 6%, namun ini sudah mencapai 12 %. Ini menandakan ada yang tidak beres, ada apa dengan Gubernur yang katanya sangat pintar dan piawai ini bisa begitu? Berarti bisa ditarik kesimpulan, kinerja gubernur ini diduga ada yang tidak beres.

Anggaran pemerintah sekarang sejak diundangkannya UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara merupakan anggaran yang berbasis kinerja. Rendahnya penyerapan sebuah anggaran berarti menunjukkan buruknya kinerja sebuah pemerintahan.

Beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) yang terkait langsung dengan fungsi pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, masih belum optimal terutama dalam hal melakukan perencanaan program atau kegiatan.

Koordinasi dan sinergisitas antar OPD harus terus ditingkatkan. OPD juga perlu membuat perencanaan program yang langsung berkaitan dengan pencapaian indikator makro pembangunan agar relevan antara indikator dan tolok ukurnya.

Kepada eksekutif untuk dapat memaksimalkan penerimaan pajak daerah, karena masih banyak potensi dari pajak yang belum bisa tergali secara maksimal.

Pemprov Banten belum memiliki database tentang penduduknya dan hanya mengandalkan Badan Pusat Statistik (BPS). Berharap kedepan semua OPD masing-masing ada datanya. Misal: data kemiskinan, data pengangguran dan data lainnya soal kondisi kemasyarakatan. opd-opd harus dijadikan agen data dan kemudian dari data-data itu disinkronisasi.

Pemprov Banten harus mendorong penggunaan Sistem Informasi Managemen (SIM) pada setiap organisasi perangkat daerah (OPD) terutama terkait dengan e-government, agar dapat terkontrol secara baik oleh berbagai pihak/publik, menghindari praktek korupsi, sehingga tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat segera terwujud.

Pemprov Banten untuk meningkatkan manajemen pengelolaan dan sistem akuntansi pendapatan daerah, perlunya peningkatan pelayanan terhadap publik serta peningkatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) melalui restrukturisasi dan penyempurnaan manajemen sehingga dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai badan usaha yang profesional tanpa mengurangi pelayanan terhadap masyarakat.

Gubernur harus berani dan tegas dalam hal melakukan intervensi anggaran, khusus untuk kegiatan yang tidak tertangani oleh pemkab/pemkot dan pusat dalam hal infrastruktur jalan.

Dalam hal reformasi birokrasi, gubernur dalam hal pengisisan jabatan harus didasarkan pada kualifikasi dan kompetensi dengan prinsip the right man on the right place.

Pemprov Banten juga belum bisa dan mampu menyajikan daftar rinci terkait aset tetap sebagaimana hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Ketidakmampuan pihak pemprov dalam penyajian aset yang terperinci itu menunjukkan manajemen pemerintahan masih dilakukan asal-asalan.

Bahwa alur mekanisme pengelolaan aset belum dapat ditelusuri secara komprehensif, karena bagian perlengkapan sekretariat daerah provinsi Banten sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap pembuatan rincian atau daftar aset tersebut tidak mampu menyajikan daftar secara detail.

Penulis menyarankan agar kedepannya mulai defisit riil. Hal ini akan berkonsekuensi dengan meningkatnya belanja daerah, terutama belanja langsung untuk membiayai program pembangunan, sehingga bisa memberikan stimulus yang lebih besar kepada masyarakat.

Pemerintah juga harus meningkatkan manajemen pengelolaan dan sistem akuntansi pendapatan daerah, perlunya peningkatan pelayanan terhadap publik serta peningkatan Badan Usaha Milik daerah (BUMD) melalui restrukturisasi dan penyempurnaan manajemen sehingga dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai badan usaha yang profesional tanpa mengurangi pelayanan terhadap masyarakat.

Kinerja Buruk

Lantaran Banten merupakan daerah yang paling rendah penyerapannya sampai sekarang ini, maka bisa dikatakan Pemprov Banten memiliki kinerja yang paling buruk di antara provinsi lainnya.

Dalam ilmu pemerintahan, sudah lama diketahui bahwa “budget” atau anggaran merupakan “statement of policy” atau pernyataan kebijaksanaan sebuah pemerintahan dalam suatu periode satu tahun.

Ke arah mana sebuah pemerintahan akan melangkah diketahui dari kebijaksanan anggaran yang digariskannya. Dalam politik anggaran akan tampak bagaimana uang rakyat itu dialokasikan. Apakah seorang presiden, gubernur, bupati atau wali kota bisa dianggap pro-rakyat, semuanya akan tercermin dalam politik anggarannya.

Misalnya saja, kalau alokasi anggaran untuk fasilitas pejabat seperti mobil, perumahan, jas, gaji lebih besar daripada anggaran kesehatan, pendidikan atau pembangunan infrastruktur, sangat sulit sekali disebutkan kalau pemerintah itu prorakyat.

UU No 17 tahun 2003 yang berbasis kinerja sesungguhnya untuk mengukur dan mengetahui kinerja pemerintahan. Penggunaan keuangan diatur ketat tapi jelas. Jika di masa lalu pejabat bisa sesuka hatinya menggunakan anggaran, sekarang hal itu tidak bisa lagi.Setiap program kerja harus disetujui DPR/DPRD melalui apa yang disebut sebagai satuan tiga. Mau mengubah sasaran harus disetujui DPR/DPRD. Inilah yang sering dikeluhkan para pejabat bahwa sistem angaran menjadi sulit dan rumit.

Keluhan ini tidak beralasan dan tidak sesuai fakta jika para biroktrat bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai ketentuan. Para bupati dan wali kota di Banten harus sungguh-sungguh memahami reformasi bahwa anggaran atau “budget” merupakan salah satu pilar demokrasi.

Dalam konstitusi sangat tegas disebutkan hak parlemen ialah legislasi, budget dan pengawasan. Dalam hal budget, dengan UU No 17 tahun 2003, parlemen tidak lagi menjadi tukang stempel seperti di masa orde baru yang lalu.

Sejatinya, uang dari APBN/APBD merupakan uang rakyat, yang penggunaannya sudah sewajarnya harus mendapat persetujuan parlemen yang mewakili rakyat. Tapi, rupanya banyak pejabat, terutamanya di tingkat lokal yang masih merasa bahwa ikut sertanya DPRD dalam proses anggaran hanya membikin repot saja.

Jika anggaran tidak berjalan dengan baik, para pejabat ini akan dengan gampang menuduh parlemen sebagai biang kerok. Mereka tidak pernah mencoba mengaca kepada diri sendiri, meneliti apakah ada kekurangan yang signifikan dalam pelaksanaan anggaran.

Para kepala daerah juga menuding Permendagri No 13 tahun 2007 sebagai sumber bencana bagi rendahnya kinerja. Peraturan ini dianggap bertentangan dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Pemerintahan Daerah dan menjadi sumber terhapusnya otonomi daerah. Meski menganggap bertentangan, tak ada bupati atau wali kota yang menggugat ke Mahkamah Agung agar dibatalkan.

Maklum, Permendagri itu merupakan alasan yang paling mudah untuk menutupi kelemahan menjalankan anggaran.

Sebenarnya, ada pertanyaan sederhana: mengapa mereka tidak mengundurkan diri dan meletakkan jabatannya saja? Biarlah warga Banten memilih pemimpin pemimpin baru yang bisa menjalankan anggaran dengan baik.

Penerapan SIMRAL?

Pemprov Banten menargetkan Sistem Informasi Manajemen Daerah (Simda) Barang Milik Daerah (BMD) sudah terintegrasi dengan Sistem Informasi Manajemen Perencanaan Penganggaran, dan Pelaporan (SIMRAL) pada tahun 2019 ini. Yang membuatnya adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Melalui kerjasama dengan lembaga non pemerintahan yang berada di bawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi ini, ber-aplikasi dan saling terintegrasi serta sangat mudah untuk dimonitor.

Seluruh anggota DPRD Banten masing-masing berhak mempunyai username. Yang pastinya telah diberikan kode password login kepada seluruh anggota DPRD. Dan tentunya kepentingan anggota DPRD adalah usulan-usulan pembangunan yang diusulkan anggota DPRD dan apa yang menjadi suara masyarakat di Dapilnya dapat di akomodir, minimal walau tidak terpenuhi tahun ini bisa menjadi waiting list untuk tahun mendatang.

Penerapan aplikasi SIMRAL di Banten merupakan bagian dari rencana aksi (renaksi) KPK ke Banten beberapa waktu lalu, yang bertujuan agar pelayanan-pelayanan yang berbasis teknologi informasi segera diterapkan di Banten. Seperti halnya: penerapan sistem elektronik, e-budgeting, e-planning, simral, dan e-samsat.

Perwujudan pelayanan berbasis IT, dan harus bisa diaplikasikannya. Diantara masukan KPK untuk Banten adalah: Pertama, KPK meminta agar ada pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) bagi pelayanan publik secara online di Provinsi Banten.

Kedua, KPK meminta kepatuhan dari para pejabat publik dan DPRD Banten agar menyampaikan laporan harta kekayaan. Sebab, LHKPN pejabat publik di Banten masih belum disampaikan secara keseluruhan.

SIMRAL dianggap dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas bagi aparatur di seluruh OPD dalam menggunakan kas daerah. Banten adalah provinsi pertama yang menerapkan aplikasi SIMRAL dan Banten masih terus berproses melakukan koordinasi dan meminta pendampingan dari BPPT dan sinergis dengan kab/kota.

Tentunya dalam hal ini perlu ada kebersamaan, soliditas, dan keterpaduan. (red)


Eko Supriatno, Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNMA Banten.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button