biem.co — Seperti biasa, mahasiswa akhir program Ilmu Sejarah selalu disibukan dan panik dengan persiapan-persiapan seminar proposal dan skripsi sejarah yang sangat njelimet.
Bagaimana tidak, mahasiswa Ilmu Sejarah dituntut untuk mencari berbagai sumber primer–yang mungkin sumber-sumber itu berupa dokumen yang penuh debu dan kertas yang mulai menguning–yang seringkali kami sebut dengan Arsip. Jikalau diibaratkan, arsip adalah ruh bagi kepenulisan sejarah, rekaman autentik berbagai peristiwa dan merupakan salah satu legalitas dalam karya tulis sejarah.
Di sela-sela liburan semester, saya mencoba bereksplorasi ke pelbagai Dinas Perpustakaan dan Kearsipan yang ada di Banten. Miris rasanya melihat realitas bahwa masih minimnya koleksi khazanah kearsipan, minimnya riset kesejarahan, minimnya kesadaran akan pentingnya arsip serta modernisasi sistem kearsipan mutakhir yang ada di Banten.
Padahal pada faktanya, Banten adalah salah satu daerah yang memiliki nilai sejarah yang amat menarik, unik dan panjang. Dari sini saya jadi teringat dengan quotes Bung Karno “JAS MERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Dengan mempelajari sejarah, orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia. Salah satu hukum itu ialah: bahwa kebesaran bangsa dan kemakmuran, tidak pernah jatuh gratis dari langit. Kebesaran dan kemakmuran sebuah bangsa ditempuh melalui perjalanan sejarah yang amat panjang dan berliku.
Tulisan ini ingin menjadikan quotes dari Bung Karno di atas sebagai landasan filosofis tentang pentingnya sebuah arsip dan mencoba untuk menggali kembali kesadaran berbagai pihak terkait akan penting dan berharganya nilai arsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca Juga
Stigma Arsip
Selama ini, sebagian orang berpandangan bahwa arsip selalu identik dengan barang bekas, tumpukan dokumen yang lapuk dan apek, serta lembaran-lembaran yang tak bernilai sama sekali. Arsip selalu dicitrakan sebagai khazanah dari rentetan administratif dan statis. Stigma semacam ini seringkali dipraktikan oleh beberapa elemen, baik masyarakat maupun pemerintah. Stigma ini perlu segera didekonstruksi agar termanifestasinya kita sebagai bangsa yang utuh.
Tolak Ukur Peradaban
Kita tentu bersepakat bahwa indikator sebuah peradaban adalah karya tulis. Salah satu tokoh yang menjadi pijakan peradaban, yaitu Herodotus. Ia mewariskan quotes sederhana yang mampu mengubah peradaban, “aku menulis untuk mengabadikan seluruh tindakan manusia”.
Bapak sejarah itu berhasil merekam peristiwa yang ditemui dan dituangkan ke dalam tulisan-tulisan sehingga tulisannya sekarang menjadi arsip penting bagi peradaban dunia. Impact dari kegemilangan Herodutus dalam memotret tindakan manusia dan filsuf-filsuf lainnya yang meninggalkan karya tulis menjadikan Yunani Kuno sebagai pusat peradaban dan intelektual tertua di dunia.
Rekam jejak kegemilangan peradaban Yunani Kuno dapat ditelusuri berkat adanya arsip. Oleh karena itu, arsip merupakan memori kolektif masyarakat. Diary kehidupan masyarakat yang berhasil terdokumentasi dengan baik akan mampu mengisahkan ulang kenangan masa lampau.
Elie Wiesel bahkan dengan keras mengatakan, “without memory, there is no culture. Without memory, there would be no civilization, no society, no future.”
Ungkapan Elie Wiesel memberikan pemahaman bahwa pelestarian memori sangatlah penting untuk keperluan eksistensi identitas sebagai suatu budaya, masyarakat, peradaban maupun demi mengisi jawaban pertanyaan masa lalu ketika sudah berada di masa depan. (Manda, 2018). Artinya, untuk menelisik peradaban dan intelektual suatu bangsa bisa kita lihat dari bagaimana cara mereka ‘mengabadikan’ jejek dan karyanya.
Amnesia Kolektif
Fungsi utama arsip adalah memberikan informasi tentang potret kejadian atau peristiwa di masa lalu, dalam domain arsip sejarah. Kekayaan arsip bisa didapat dari siapa saja dan di mana saja, baik warisan, limpahan, rampasan maupun kreasi personal asal tidak melanggar hak intelektual seseorang.
Tanpa arsip, sebuah bangsa akan mengalami sindrom amnesia kolektif, dan terperangkap dalam kekinian yang sarat dengan ketidakpastian, serta masa depan yang gelap. Karenanya tidak keliru jika dipersepsikan bahwa kondisi kearsipan suatu bangsa dapat dijadikan indikator dari tingkat spirit dalam memelihara penghargaan, dan membangun rasa nasionalisme atau semangat kebangsaan.
Pekerjaan Rumah
Untuk mengembalikan marwah arsip yang dianggap sebagai inferior dan peradaban suatu bangsa, penting untuk kiranya membenahi berbagai hal baik pada tatanan konseptual mapun aplikatif. Berikut beberapa langkah yang perlu dijalankan oleh berbagai pihak terkait dalam membenahi kearsipan.
Pertama, merangkai dan mengeksplorasi kembali arsip-arsip daerah, ini penting guna sebagai identitas dan supporting system dalam penulisan sejarah daerah, kemungkinan-kemungkinan itu akan sangat nyata tatkala terdapat sumber rujukan untuk diolah kembali menjadi diorama sejarah oleh sejarawan.
Kedua, memberikan prioritas dan porsi yang seimbang terhadap upaya penelusuran khazanah arsip.
Ketiga, membangun tradisi keilmuan di kalangan aparatur pengelola kearsipan, dengan mengasah kepekaan terhadap pelbagai fenomena yang berobjek arsip.
Keempat, pangkas keruwetan birokrasi. Sudah menjadi rahasia umum akses birokrasi seringkali menjadi hambatan dalam penelitian sejarah.
Terakhir, menginternalisasi nilai arsip kepada seluruh elemen masyarakat. Arsip tentu berkolerasi dengan eksistensi dan identitas serta warisan budaya yang menandakan bahwa mereka (masyarakat) itu ada. Arsip adalah kebanggaan masyarakat yang telah berlalu. Arsip memang seperti tanda bukti kehadiran.
Ketakutan paling mendalam setiap orang adalah dilupakan, sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh nenek moyang kita. Arsip mencegah keberadaannya menghilang begitu saja dalam perputaran roda sejarah. Semoga kita dapat menjadi bangsa yang senantiasa menghargai warisan dari pendahulu kita (arsip). (red)
Fitra Riyanto, Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Asal Pandeglang.