Opini

Harits Hijrah Wicaksana: Polemik Rancangan Qanun Poligami di Aceh

biem.co – Polemik tentang poligami timbul-tenggelam, namun selalu menjadi isu yang rentan. Setiap kali terjadi peristiwa yang berkaitan dengan poligami, pada saat itulah polemik setuju-tidak setuju terhadap hal tersebut pun muncul.

Dewasa ini, publik sedang diramaikan dengan pemberitaan terkait usulan rancangan qanun atau peraturan daerah di Aceh yang didalamnya mengatur terkait poligami.

Dalam membahas hal ini tentunya kita dapat melihat dari berbagai sudut pandang. Jika melihat sudut pandang dalam ajaran agama Islam, tentunya hal ini tidak melanggar bahkan diperbolehkan dengan syarat-syarat salah satunya yaitu kemampuan untuk berpoligami itu sendiri.

Kata ‘mampu’ di sini bukan hanya dalam hal lahir dan batin, tetapi mampu bersikap adil dalam pelaksanaannya.

Secara praktis, di Indonesia poligami dibatasi dalam arti yang sama dengan poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001) karena lembaga perkawinan Indonesia mengizinkan poligini, namun tidak poliandri.

Secara historis, polemik tentang poligami telah muncul seiring dengan perjuangan bangsa Indonesia pada masa kolonial. Setidaknya sejak tahun 1910-an dan 1920-an, perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam menentang poligami tertandai dalam sejarah (Locher-Scholten 2003:40).

Nasionalisme, di samping kesadaran sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat, yang mulai mengakar dalam jiwa perempuan Indonesia memicu penentangan perempuan terhadap poligami dalam wujud sistem Nyai, yaitu hidup bersama antara perempuan Indonesia dan orang asing, terutama orang Eropa dan Tionghoa (Locher-Scholten 2003:43).

Protes-protes yang disuarakan organisasi perempuan Indonesia ketika itu sudah mengimplikasikan konstruksi gender.

Budaya patriarki yang kuat membuat poligami tetap eksis. Sistem hukum dan politik yang didominasi laki-laki semakin memberi peluang poligami merajalela.

Atas nama apapun poligami tak lebih legalisasi penyaluran nafsu. Semua adalah pengentalan dan pemapanan superioritas laki-laki, dan bahwa laki-laki adalah pemilik perempuan.

Di Indonesia sendiri, poligami merupakan praktik pernikahan yang dilegalkan. Meskipun ada batasan-batasan mengenai poligami, namun secara tertulis poligami telah diperbolehkan di negara Indonesia.

Hal ini terlihat dari peraturan tentang poligami yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan. Ada beberapa aturan atau undang-undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami, antara lain tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 3 tentang Perkawinan, yang berbunyi:

Pasal 3 ayat (1), pada azasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ayat (2), pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Kendati demikian, poligami tetap menjadi hal yang sulit diterima di masyarakat. Poligami merupakan isu yang sudah terjadi sejak lama di masyarakat namun masih menjadi polemik.

Dalam sudut pandang kaum feminisme tentunya poligami menjadi pertentangan. Itu karena dalam sudut pandang kaum feminisme, poligami memjadikan kaum perempuan sebagai objek hawa nafsu dari kaum laki-laki.

Selain itu, pandangan kaum feminisme menginginkan equality antara kaum laki-laki dan perempuan dalam posisi sosial dan masyarakatnya.

Terlepas dari itu, banyak hal yang perlu dibahas sebelum akhirnya dibuat kebijakan khusus tentang poligami disahkan.

Saya menilai perlu diadakan kajian mendalam atau studi kelayakan. Studi kelayakan ini tentunya di lihat dari berbagai sudut pandang, baik sudut pandang agama, sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan lain-lain.

Sehingga alasan-alasan yang dibuat untuk menguatkan opini pengesahan konsep poligami lebih kuat dan terstruktur.

Hal tersebut saat ini nampaknya sedang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan DPR Aceh dengan diadakannya berbagai forum kajian bersama para akademisi di berbagai kampus di Aceh.

Menurut kabar yang didapatkan, rencananya pada 1 Agustus mendatang akan diadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait qanun Hukum Keluarga yang salah satu bab mengatur tentang poligami tersebut sebelum keputusan tentang draft qanun yang harus diselesaikan sebelum tanggal 3 September 2019 itu selesai.

Jadi, kita tunggu saja tanggal mainnya, bagaimana hasil dari pembahasan yang dilakukan oleh DPRA itu. Semoga hasilnya terbaik dan dapat diterima oleh semua pihak.


Dr. Harits Hijrah Wicaksana, M.Si, adalah Ketua STISIP Setia Budhi.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button