KOTA SERANG, biem.co — Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Dr Azmi Polem menilai, rancangan qanun atau peraturan daerah yang didalamnya mengatur tentang poligami adalah bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak perempuan dan anak.
“Secara historis, pengambilan keputusan di Aceh itu jelas dan tegas. Sehingga saya menganalisa, adanya qanun tersebut merupakan cara mempertegas kaidah atau norma hukum yang muaranya adalah memuliakan hak perempuan dan anak itu sendiri,” katanya saat ditemui awak biem.co, Rabu, (10/7/2019).
Lebih lanjut, dosen kelahiran Aceh, 45 tahun silam ini menjelaskan, diatur atau tidaknya dalam qanun, sejak dulu orang telah menikah dengan cara berpoligami. Sehingga adanya qanun tersebut dalam rangka memberi perlindungan secara fundamental terhadap istri-istri dan anak-anak yang lahir dari poligami.
“Kita bisa melihat, secara empiris banyak istri-istri dan anak-anak dari pernikahan poligami memerlukan secara maksimal pemenuhan terhadap hak-haknya yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan lembaga-lembaga publik seperti administrasi kependudukan, akta kelahiran, warisan, dan lain sebagainya,” imbuh Azmi.
“Menurut hemat saya, hubungan yang diikat dengan norma hukum secara praktis lebih mudah dalam pemenuhan dan pencapaian hak-hak dari istri dan anak-anak dari hasil poligami,” sambungnya.
Kendati demikian, meski poligami diperbolehkan oleh agama serta tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan akan diatur dalam qanun di Aceh, Azmi menjelaskan, hal itu pada dasarnya banyak atau tidaknya orang berpoligami dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Tidak terletak pada kaidah, norma hukum atau qanun tersebut.
“Jika merasa mampu untuk berlaku adil dan diperbolehkan oleh istri sebelumnya, silakan. Tetapi kalau saya, bukan yang berposisi pada yang pro atau kontra terhadap poligami. Saya lebih memihak perlu adanya norma hukum lebih lanjut. Hal ini bentuk kepastian hukum dari suatu perbuatan, dalam hal ini poligami,” tuturnya.
Selain itu, Azmi berpandangan, adanya rancangan qanun yang didalamnya mengatur tentang poligami bukan untuk mendorong laki-laki di Aceh berpoligami.
“Tetapi memberikan batasan agar lebih berhati-hati, penuh perencanaan dan berpikir matang saat akan memutuskan melakukan praktik poligami, Karena ada implikasi hukumnya berimbas timbulnya kewajiban dan pemenuhan hak atas perbuatan (red: menikah poligami) yang dilakukan,” tandasnya.
Untuk diketahui, Pemerintah dan DPR Aceh saat ini sedang membahas rancangan qanun tentang hukum keluarga yang salah satu isinya mengatur soal praktik poligami secara terperinci.
Rancangan qanun itu telah masuk program legislasi (proleg) pada akhir 2018. Pembahasan qanun tersebut masih terus dilakukan antara lain dengan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang akan dilaksanakan pada 1 Agustus 2019 mendatang. (Eys)