biem.co — Ketika pulang dari sebuah perjalanan pada tangal 30 Mei 2019 pukul 01.00 WIB, penulis menemukan seonggok tas plastik indah tergantung di pintu garasi depan rumah, yang ternyata berisi sajadah yang sangat indah. Menerima suvenir hari raya tersebut, langsung dikirimkan pesan melalui WhatsApp kepada dua orang yang ‘bertanggung’ jawab dengan pengiriman suvenir tersebut untuk mengucapkan terima kasih atas kiriman yang telah diterima.
“Hampura teu saupami,” begitu jawaban WhatsApp yang diterima 30 menit kemudian. Teu saupami adalah istilah dalam Bahasa Sunda yang dapat dimaknai tidak setara atau sepadan atau tidak senilai. Lalu dikirimkan jawaban bahwa sajadah memiliki makna filosofis yang mendalam sebagaimana termaktub dalam syair lagu ‘Sajadah Panjang’ yang dipopulerkan oleh grup musik Bimbo.
Menurut Wikipedia, sajadah adalah alat yang terbuat dari kain yang biasanya memiliki gambar dan corak bernafaskan Islam. Sajadah digunakan kaum Muslim untuk menjaga agar tetap terjaga kebersihannya ketika melaksanakan salat. Sementara salat adalah salah satu ibadah utama yang memberikan ciri bahwa seseorang sebagai Muslim atau bukan.
Dari sekilas pengertian tersebut, maka tergambar peran penting sajadah sebagai alat yang lazim digunakan untuk melakukan ibadah dalam penghambaan diri dari manusia sebagai mahluk kepada Allah SWT sebagai Sang Maha Pencipta atau Sang Khalik.
Bila ditelisik lebih jauh dalam syair yang ada pada lagu ‘Sajadah Panjang’, maka dapat disimak pengertian yang mengandung filosofis mendalam dari sebuah sajadah. Yakni sebagai sebuah ruang kecil yang memiliki makna yang sangat luas sebagai tampat untuk bersujud dan menundukkan diri kepada Sang Khalik.
Bahkan jika disimak secara teliti, maka sejatinya tugas kehidupan adalah mengabdikan diri kepada Allah SWT melalui ruang kecil seluas sajadah, hingga sekedar ter-interupsi untuk melakukan kegiatan lain seperti mencari rezeki, bekerja, atau beraktivitas lain hingga diseru kembali untuk berdiri di atas sajadah ketika azan tiba.
Bagi seorang penganut sufistik, pekerjaan utama manusia sebagai mahluk dari Sang Khalik adalah untuk salat, sehingga sejatinya aktivitas lain adalah sekadar selingan untuk menunggu waktu salat.
Sempitnya ruang sebuah sajadah, dapat juga dipahami bahwa tidak banyak yang dapat dimuat sebagai bekal untuk menghadap Sang Maha Pencipta, cukup hanya ruh dan amal kebajikan yang melekat dalam diri sebagai bekal menghadap-Nya pada kehidupan masa depan.
Atau sesempit apapun hidup seorang manusia, maka perasaan kita bisa menjadi sangat luas ketika melakukan ibadah di atas sajadah, karena kita merasa dekat dengan Sang Maha Pemilik Kehidupan yang menentukan berbagai takdir untuk manusia.
Selain makna di atas, sajadah dapat dipahami sebagai kesucian di atas kesucian, karena kita harus memastikan lantai tempat kita melaksanakan salat adalah suci. Namun demikian untuk meyakinkan perasaan kita, maka kita tepat menghamparkan sajadah di atas lantai tersebut untuk sebuah perasaan atau keyakinan atas kesucian tampat kita dalam beribadah.
Selain untuk menjaga kesucian, ukuran sajadah juga otomatis menjadi area yang membatasi kita dalam melaksanakan ibadah salat. Ini dapat ditafsirkan sebagai batas ukuran akan hak kita dalam kehidupan. Kita tidak boleh melewati ukuran hak kita dan mengambil hak orang lain. Sehingga dalam urusan sosial kemasyarakatan harus ditetapkan dengan jelas dan tegas ukuran ukuran yang menjadi hak seorang warga.
Terakhir, dapat disampaian bahwa sajadah dapat digunakan sebagai simbol landasan melangkah dalam menjalani kehidupan, agar kita selalu melangkah di atas alas kesucian niat, bahwa semua aktivitas yang kita lakukan adalah semata-mata sebagai bentuk peribadatan seorang hamba kepada Allah SWT, sebagaimana bunyi ayat:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya merekamenyembah-Ku”.(QS. Adz Dzariyat: 56).
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440H, dan temukan sajadah masing masing sebagai alas untuk melakukan gerak langkah dalam meneruskan kehidupan dan penghidupan di masa yang akan datang. (red)
Boyke Pribadi, lahir di Bandung, 25 Juli 1968. Adalah Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten, Alumni Taplai Lemhannas, serta aktif menulis artikel tentang politik, ekonomi, dan pelayanan publik. Ketua Umum MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) Provinsi Banten. Pernah menjadi Anggota Tim Pemeriksa Daerah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (TPD-DKPP) Provinsi Banten (2015-2017). Direktur komunikasi & kerjasama Banten Institute of Regional Development (BIRD). Penggagas scenario planning “Banten 2045”, Sekretaris Umum ICMI Provinsi Banten.