biem.co — Pada hari Selasa, saya dengan adik saya memasuki ruang XXI Studio 6 di Cilegon untuk menonton film Ambu. Sebagai orang yang kurang getol menonton film di bioskop, saya membutuhkan alasan yang cukup kuat untuk menonton. Pada kesempatan ini, setidaknya ada empat alasan yang boleh dikatakan cukup kuat.
Pertama, saya menyukai akting Widyawati. Ia adalah aktris senior yang setiap aktingnya perlu disaksikan dan jadi bahan pelajaran bagi saya yang juga bergelut di dunia panggung. Kedua, saya selalu penasaran dengan film-film yang berlatar ruang kultural. Kadang saya deg-degan menonton film berlatar ruang kultural semacam ini, karena khawatir hanya jadi tempelan.
Sebaliknya, saya akan merasa sangat puas ketika menemukan film yang benar-benar menjadikan kultur sebagai sesuatu yang utuh. Ketiga, sebagai orang Banten, saya mengapresiasi apa saja karya yang beraroma Banten, termasuk film berlatar Baduy yang terletak di Kabupaten Lebak ini. Bukan berarti yang tidak beraroma Banten tidak saya apresiasi, hanya saja, sifat primordialisme di dalam diri seseorang selalu ada. Keempat, saya pecinta film bertema ibu.
Dari empat alasan itulah saya duduk di kursi paling belakang, tepatnya di nomor kursi 11.6 dan adik saya di 10.6. Di kursi itulah saya meyaksikan film yang diproduksi oleh Skytree Picture dan disutradarai oleh Farid Dermawan dengan seksama. Tidak sekalipun berpaling (ini semacam lirik lagu pop, ya?). Karena dalam menikmati karya seni, apapun, harus utuh agar apa yang didapatkan pun utuh. Menurut informasi, film Ambu ini merupakan film perdana Skytree Picture.
Kesan pertama yang saya dapatkan adalah peran Laudya Cynthia Bella yang boleh dikatakan cukup apik memerankan seorang ibu muda bernama Fatma yang telah memiliki seorang anak gadis (remaja) berusia 16 tahun bernama Nona yang diperankan oleh Luthesa. Ini memang terkesan agak aneh atau janggal jika menggunakan kacamata umum. Ibu muda, tapi memiliki anak usia 16 tahun? Bagaimana bisa? Tetapi menjadi logis ketika penonton mengetahui bahwa di Baduy baik perempuan maupun laki-laki menikah muda. Untuk perempuan Baduy, pada usia 14 tahun sudah banyak yang menikah.
Bella juga berhasil berperan sebagai istri yang tabah menghadapi suami pengeretan (Nico yang diperankan Baim Wong) yang pengangguran dan selalu memerasnya. Ia pun cukup berhasil pula berperan sebagai pemilik katering yang bijak ketika menghadapi para karyawannya yang harus pindah kerja karena katering ditutup, mobil dijual, rumah juga dijual sehingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke tempat lahirnya di Banten Selatan, Baduy.
Adegan Fatma yang mengajak anaknya, menarik perhatian saya. Fatma yang sibuk mengangkat koper besar dan Nona yang sibuk dengan lampu-lampu kecil dalam tomples yang disebut lampu kunang-kunang. Keduanya berjalan bersama, tapi membawa semesta harapan yang berbeda dan dunia yang berbeda. Kontras sikap anak dan ibu hadir dengan baik pada bagian ini. Selain itu, misteri keberadaan Ambu dalam percakapan sebelum dan sepanjang perjalanan di dalam kereta ke Stasiun Rangkasbitung, naik becak ke terminal, hingga naik angkutan umum ke Baduy juga menarik perhatian.
Beberapa misteri setidaknya membuat otak saya bekerja. Misalkan, mengapa Fatma berbohong kepada Nona ketika Nona kecil. Ia mengatakan bahwa neneknya telah mati, tapi pada akhirnya ketika Nona dewasa, ia mengakui bahwa ia dan mantan suaminya telah berbohong. Mengapa pula Fatma sering memegang dadanya dengan ekspresi kesakitan beriringan dengan ekspresi sedih menghadapi kelakuan Nona yang milenial, egois dan kritis.
II
Kemampuan layar menangkap ruang-ruang sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Baduy cukup menyenangkan mata. Ada upaya mendetailkan ruang kultural, semisal roda angkutan umum yang melintasi jalan berlubang dan becek (bagian ini saya ragu untuk mengatakan bagian dari kultur Banten), penjual kelapa muda di tepi jalan sementara angkutan umum yang membawa Fatma dan Nona melaju semakin jauh, penjual kain dan ayam yang berkeliaran, dan orang-orang Baduy yang berseliweran di Baduy luar, tepatnya di depan tugu Baduy.
Mata kamera sepertinya berusaha betul untuk terus mengeksplorasi keindahan Baduy yang terjaga selama ribuan tahun itu. Jembatan akar ketika pagi atau ketika malam saat bulan bulat sempurna tampak menggantung di langit, pohon-pohon besar dengan akar-akar besar menjalar, air terjun yang deras dan jernih, sungai yang mengalir jauh entah sampai mana, langit yang terang, rumah-rumah Baduy yang asri di tengah hutan lebat, dan kunang-kunang yang berterbangan di langit. Semua diupayakan hadir dengan baik tanpa terkesan seperti mengiklankan ruang.
Tentu dalam kesempatan ini, saya tidak akan memembicarakan setiap fragmennya. Selain karena saya khawatir akan kelelahan, saya juga khawatir nanti akan membuat orang malas menonton karena sudah tahu semua ceritanya dari tulisan saya. Itu kurang baik bagi kesehatan pasar film Ambu.
Secara umum, alur cerita bergerak secara acak, maju dan mundur terus-menerus dipertemukan dalam berbagai fragmen. Secara umum juga Ambu berhasil tampil sebagai film yang tidak membosankan dan tidak mudah ditebak. Sehingga saya betah berlama-lama menyaksikan setiap bagian cerita. Terlebih lagi alur yang cukup baik itu dipadukan dengan pola meletakkan bagian-bagian konflik yang mengalir seperti sungai Baduy dari hulu hingga ke hilir (semoga simile ini tidak terlalu berlebihan).
Konflik pertama yang dihadirkan adalah konflik antara Fatma dengan suaminya. Sepasang suami istri yang pada mulanya dimabuk percintaan ini pada akhirnya memutuskan untuk bercerai karena kelakuan suami yang semakin tidak karuan. Barangkali begitulah kalau cinta yang kelewat mabuk, jika sudah sadar dari kemabukan cinta, cinta itu ternyata tidak ada.
Konflik kedua adalah konflik antara Fatma dengan anaknya, Nona. Nona merasa begitu banyak yang disembunyikan oleh Fatma dari dirinya. Sehingga dalam sebuah dialog ia merasa asing dengan ibunya sendiri, bahkan ia merasa tidak pernah dapat menyayangi ibunya.
Selain konflik yang melibatkan keluarga kecil itu, konflik antara Fatma dan Ambu Misna (ibunya Fatma yang diperankan oleh Widyawati) hadir sebagai konflik yang, menurut saya, paling menguras emosi. Tarik menarik masalah masa lalu yang menyakiti hati Ambu dengan harapan Fatma yang ingin kembali diterima oleh ibunya sendiri setelah 16 tahun meninggalkannya terus bergejolak. Selain dengan Fatma, konflik lain yang dihadapi Ambu adalah dengan cucunya, Nona. Konflik ini memperuncing konflik antara Ambu dengan Fatma.
Konflik-konflik tersebut dikelola dengan baik, mengisi setiap bagian cerita. Terasa betul intensitasnya untuk menjaga emosi utuh dari film ini. Misalkan ketika Ambu menayakan apakah Fatma datang bersama para rombongan turis, lalu Fatma berkata bahwa ia datang bukan bersama rombongan turis melainkan ingin panggih (bertemu) dengan Ambu. Reaksi Ambu langsung sangat tegas, meski dari sorot matanya tampak betul ada kerinduan kepada anaknya itu. “Maneh teu meunang datang kadie deui!” katanya. Artinya, kamu tidak boleh datang kemari lagi.
Sikap Ambu yang keras dikarenakan sakit hati ditinggal anaknya sendiri demi lelaki Jakarta yang sedang melaksanakan tugas akhirnya, yakni KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Baduy, yang kemudian memboyong Fatma ke Jakarta sebagai istrinya. Selama 16 tahun, Fatma meninggalkan Baduy dan bagi Ambu, selama itu juga Fatma dianggap sebagai orang asing, bukan anaknya lagi.
Konflik antara Nona tidak kalah menguras perasaan. Bagaimana seorang cucu yang sejak kecil percaya bahwa neneknya telah mati kini harus menghadapi neneknya yang–kata Nona–jutek. Tak pelak, gadis kota yang milenial ini tidak saja gagap menghadapi pemukiman Baduy yang tanpa listrik dan tanpa sabun, melainkan juga gagap menghadapi neneknya, sehingga ia pun bersikap keras kepada Ambu, terlebih ketika Ambu marah mendapati Nona sedang merokok di toko Jaya dengan membawa-bawa nama ibunya. Nona hampir saja menyerang neneknya jika tidak dilerai oleh Jaya.
Selain konflik-konflik kasat mata yang telah dipaparkan di atas, konflik batin dalam film ini cukup dominan. Konflik batin yang dirasakan Ambu pada satu sisi, konflik batin yang dirasakan Fatma pada sisi lain, dan konflik batin yang dirasakan oleh Nona pada sisi yang lainnya lagi adalah rangakain konflik batin yang cukup menguras airmata (saya harus jujur, saya sempat menangis).
Bagaimana tidak, Ambu dihadapkan lagi dengan anaknya yang telah pergi selama 16 tahun. Luka kembali terbuka dengan sangat lebar. Ia merasakan lagi rasa sakitnya dicampakkan anak sendiri hanya karena seorang lelaki yang pada akhirnya Ambu ketahui dari celetukan Nona bahwa lelaki bajingan itu memperalat anaknya seperti sapi perah yang harus menghasilkan uang untuk suami dan anaknya.
Ambu marah, tapi bagaimana pun ia adalah seorang ibu. Fatma adalah anaknya. Nona adalah cucunya. Ambu tidak betul-betul sanggup bersikap semena-mena terhadap keduanya. Amarah dan cinta di dalam jiwa ambu bertarung setiap waktu. Terlebih ketika Ambu tahu bahwa Fatma mengidap kangker payudara, Ambu sangat terpukul, bingung dan limbung.
Di sisi lain, Fatma yang sudah menjual rumah, mobil, termasuk usaha kateringnya berusaha menyelamatkan nasib Nona dari suaminya yang bajingan, sebelum ia meninggal karena sudah divonis dokter. Satu-satunya cara yang ia punya adalah dengan menitipkan kepada ibunya. Tetapi sikap ibunya—yang meski membolehkan ia dan anaknya tinggal sebagai tamu di Baduy—semakin hari semakin mengeras.
Pada beberapa bagian cerita dihadirkan juga bagaimana kerinduan Fatma terhadap Ambu. Di ambang kematiannya, bagaimana pun sebagai anak ia ingin merasakan pelukan ibu. Ia sangat merindukan kehangatan Ambu, tapi pelukan Ambu yang diharapkan tak kunjung dirasakan.
Di sisi yang lain lagi, Nona yang anak kota yang milenial yang manja yang kritis merasa dirinya dibenturkan pada keadaan yang pada mulanya sama sekali tidak pernah terbayangkan olehnya. Ia jengkel, marah, dan bingung. Ia sering uring-uringan. Karena itu, ia bersikap dingin dan ketus kepada ibunya. Konflik batin Nona ini lebih sering dilerai oleh sosok pemuda Baduy bernama Jaya yang diperankan oleh Andri Mashadi. Setidaknya dengan adanya Jaya Nona memiliki teman yang cukup menyenangkan. Kehadiran Andri Mashadi dalam film ini menarik. Ia dapat memerankan dengan baik sebagai sosok pemuda Baduy yang tidak berani menatap mata ketika bicara, yang polos, yang berbicara seadanya.
Konflik Batin Fatma juga menemukan peraduannya pada sosok Hapsah yang diperankan oleh Enditha Wibisono. Hapsah adalah sahabat Fatma ketika ia masih menjadi anak Baduy yang belum dimabuk cinta. Kehadiran Hapsah dalam film ini sangat berarti. Tokoh dengan karakter ceriwis, memiliki empati yang sangat tinggi, dan lembut hatinya. Tokoh Hapsah diperankan dengan baik sehingga dari awal hingga akhir cerita kekuatan tokoh ini sangat membantu alur cerita.
Konflik batin yang sesekali dapat mereda yang dirasakan oleh Nona dan Fatma tersebut berbeda dengan konflik batin yang dirasakan oleh Ambu. Ambu berjibaku dengan dirinya sendiri, tanpa teman yang dapat diajak berbicara. Ia harus menyelesaikan sendiri amarah, cinta, harapan, dan ketakutan-ketakutannya. Hal ini yang membuat batin Ambu begitu menderita. Ia menangis sendiri, termenung sendiri, marah sendiri.
III
Mengenai kualitas akting masing-masing aktris dan aktor secara khusus selain beberapa hal yang sudah saya singgung di atas, saya rasa cukup memuaskan, terutama akting Widyawati. Aktris senior ini bahkan mampu menggunakan ekspresi minor, yakni gerakan kecil dan cepat pada wilayah pipi ketika ia menahan amarah. Gerakan kecil dan cepat pada pipi biasanya hanya dapat terjadi oleh emosi yang refleks (gerakan otomatis). Tentu ini adalah sesuatu yang sangat sulit dan Wiyawati mampu melakukannya. Sementara Bella, terbilang aman. Begitu pula akting aktor dan aktris pembantu yang proporsional, saling menguatkan satu sama lain.
Jika pun harus memberi catatan ihwal akting, saya agak kurang nyaman dengan akting Baim Wong. Saya tidak tahu, mengapa dalam film ini Baim Wong tampaknya belum mampu membedakan cara berakting di dalam sinetron dengan berakting di dalam sebuah film layar lebar. Kehadirannya agak memecah nuansa film. Meski ia berperan sebagai protagonis yang suka mengamuk kepada istrinya, bukan berarti ngamuknya seperti orang ngamuk di dalam sebuah sinetron dengan teknik zoom-in dan zoom-out ekstra itu. Beruntungnya (mohon maaf untuk pernyataan ini), sosok Nico hanya hadir dua kali sepanjang film berjalan.
Aspek sinematografi? Saya tidak akan membicarakan sesuatu yang sama sekali tidak saya miliki dasarnya. Sebagai orang awam sinematografi, saya nyaman-nyaman saja dengan setiap bagian dalam film ini. Jika pun ada yang sempat mengganggu, ada satu bagian (saya lupa bagian mana) yang perpindahannya kurang halus. Satu bagian saja. Tidak lebih dari satu detik. Selebihnya, Baduy dihadirkan dengan angle-angle yang menarik. Termasuk angle ketika seorang tua Baduy meniup seruling dan pada bagian lain ada dua lelaki dewasa memainkan angklung bu’un. Angklung yang konon merupakan angklung tertua. Sebuah aksen manis yang cukup membantu membangun nuansa kultural.
Apakah saya merekomendasikan masyarakat untuk menonton ini? Saya hanya merekomendasikan untuk orang-orang yang ingin mengetahui lagi dan lagi bagaimana sosok seorang ibu. Bagaimana gambaran batiniahnya ketika menghadapi anak-anak yang sikap serta tindakannya jauh dari yang diharapkan. Karena film Ambu ingin mengantarkan pesan itu secara mendalam.
IV
Sebagai penutup, saya ingin menyoroti tentang lampu kunang-kunang. Mungkin sebagian penonton menganggap itu hanya tempelan, tapi bagi saya itu bagian penting yang memperkuat karakter seorang Nona.
Di muka bumi ini, banyak manusia yang memiliki satu hal kecil—yang menurut orang pada umumnya hanya hal remeh temeh—yang ternyata penting bagi diri seseorang. Misalkan ada orang yang sangat menyukai suara gemericik air, sehingga ketika ia marah pun, akan menjadi tenang jika mendengar gemericik air. Nona dalam film ini begitu merasa penting dengan “kunang-kunang”.
Meski dalam film ini tidak didetailkan mengapa menjadi penting. Wajar ada adegan ketika Nona marah kemudian Jaya menangkap kunang-kunang dan menunjukkan kepada Nona, kemarahan Nona langsung reda. Ini, rasanya, ada dalam teori psikologi, tapi saya tidak akan membicarakan teori itu. Silakan baca atau tanyalah pada ahli-ahli psikologi.
Selamat untuk film Ambu, rumah produksi Skytree Picture, sutradara Farid Dermawan, para pemeran, dan semua yang terlibat di dalamnya. Selamat juga untuk diri saya sendiri (bagian ini boleh ditertawakan), karena ini kali pertama saya tertarik mengulas sebuah film. (rois)