KolomRois Rinaldi

Muhammad Rois Rinaldi: Hina Presiden? Belajar Kepada Cak Nun

Hina Presiden?
Belajar Kepada Cak Nun
oleh Muhammad Rois Rinaldi

 

I/

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Saya terkejut ketika memutar secuplik video di Youtube di mana Cak Nun bersama Najwa Shihab dalam acara Peringatan 2 tahun kasus Novel Bawesdan. Ia mengatakan: “Saya orang yang hina kalau mau mendatangi undangan ke istana. Masa ‘boss’ mau mendatangi ‘buruh’”.

Berani sekali, saya membatin.

Bukan berani pada presidennya yang membuat saya terkejut, tapi keberanian Cak Nun mengatakan itu pada zaman di mana netizen telah adikuasa dengan jargon “maha benar netizen dengan segala komentarnya”.

Menghadapi netizen yang gampang uring-uringan, bukan perkara mudah. Terlebih di tengah netizen itu, banyak buzzer yang siap menyalakan api untuk parade pembakaran, seperti dalam ucapara ilusi api abadi kaum majusi.

Tetapi saya kemudian menduga, barangkali dengan demikian dapat menjadi obat bagi orang-orang yang keracunan politik cheerleader (pemandu sorak). Di mana para tokoh politik yang sejatinya adalah wakil (pembantu) dari rakyat dipuja-puji seperti perlakuan budak kepada tuannya (saya harap ungkapan ini pun tidak membuat uring-uringan). Posisi yang sesungguhnya, jika dipahami dengan sungguh-sungguh, sudah menghinakan posisi “rakyat yang mulia”.

Sesuai dugaan, di media sosial berseliweran orang menghujat Cak Nun dengan tuduhan sombong, belagu, sok punya pengaruh, dan sejenisnya.

Ungkapan-ungkapan meluap yang tidak dapat ditemukan pijakannya itu, selain amarah sesaat karena daya pikir yang kurang memadai dan/atau kesabaran berpikir yang kurang terlatih berhamburan seperti laron. Beberapa netizen bahkan menghadirkan foto Cak Nun ketika hadir dalam sebuah kegiatan di mana dalam foto itu Soeharto sedang berpidato.

Narasi yang diantarkan, sebagian, mengatakan Cak Nun munafik dan sebagian mengatakan bahwa kesombongan Cak Nun hanya cari perhatian karena sekarang ia merasa lebih terhormat dari presiden, padahal dahulu ia juga orang yang tunduk kepada Orba.

Hanya dari foto, mereka sudah memiliki narasi lengkap yang ceritanya melingkupi keadaan, kejadian, dan tujuan. Saya memang telah melihat foto itu, tapi saya tidak tahu dalam rangka apa dan saya tidak tahu dengan tujuan apa Cak Nun berasa di sana. Lagi pula, apapun yang Cak Nun lakukan, sekalipun Cak Nun jadi ajudan Soeharto (misalkan) tidak sama sekali berpengaruh untuk pembicaraan ini.

Melihat kenyataan yang sedemikian lucu (walau kelucuan semacam ini bukan hal baru, bahkan nyaris hilang kelucuannya), saya jadi mengajukan beberapa bertanya begini: mengapa rakyat Indonesia yang lucu-lucu itu enggan belajar kepada Cak Nun, padahal mereka betul-betul membutuhkan pelajaran, bagaimana menjadi rakyat yang bermartabat dan berdaulat?

Pertanyaan tersebut selekas mungkin terjawab dengan sendirinya. Bagaimana orang-orang yang tidak tahu terhadap ketidaktahuannya dapat mengetahui apa yang harus diketahui? Soal bagaimana berbangsa dan bernegara di zaman sekarang, banyak yang memetakan sendiri-sendiri dan dengan sangat percaya diri mengatakan peta-peta yang mereka buat adalah peta yang benar, padahal peta-peta itu dibuat sesuka-sukanya saja, tanpa melihat peta-peta yang telah dibuat oleh para pendiri bangsa yang sudah semestinya dirujuk sebelum mereka merasa mampu memetakan.

II/

Perlu diketahui (tentu pengetahuan harus dipahami, disadari, dan difungsikan) pada mulanya sebuah partai dibentuk karena ada kepentingan rakyat yang majemuk yang harus diwadahi. Partailah yang kemudian dibentuk untuk dijadikan saluran resmi pendapat dan harapan-harapan rakyat. Melalui partai pula kemudian diusulkan nama-nama untuk mewakili kepentingan rakyat, karena demokrasi yang dianut Indonesia adalah Demokrasi Perwakilan.

Demokrasi Perwakilan artinya demokrasi yang didasarkan pada prinsip sedikit orang yang dipilih untuk mewakili sekelompok orang yang lebih banyak. Indonesia tidak dapat melaksanakan Demokrasi Langsung (demokrasi di mana rakyat secara penuh mengambil keputusan melalui musyawarah atau sejenisnya), karena luas wilayah dan jumlah penduduk tidak memungkinkan untuk dapat melaksanakannya.

Nama-nama yang diusulkan partai adalah nama-nama yang kemudian disepakati rakyat untuk dijadikan wakil yang menjalankan kepentingan rakyat. Di sinilah rahim lahirnya seorang presiden, seorang gubernur, atau seorang bupati/walikota. Dari sinilah juga lahir orang-orang yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Semua yang lahir dari kesepakatan rakyat harus bekerja bahkan kalau boleh sedikit demonstratif, mereka harus bernapas demi rakyat.

Jelas peran dan fungsinya. Rakyat adalah tuan dari semua pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang yang ditunjuk/terpilih. Posisi rakyat lebih tinggi dari seorang presiden. Tidak boleh ada bupati tunduk kepada partai melebihi tunduknya kepada rakyat. Tidak boleh ada presiden tunduk kepada partai melebihi tunduknya kepada rakyat. Loyalitas partai kepada rakyat, maka semua petugas partai harus loyal kepada rakyat, bukan jadi loyalis partai.

Jika posisi ideal tersebut dibalik atau sekadar dimiringkan, akibatnya tidak sepele. Rakyat akan dijadikan kubu-kubu yang berseberangan, sehingga saling melemahkan. Akibatnya, yang kuat adalah para wakil rakyat. Jika wakil rakyat kuat, sementara rakyat lemah, yang terjadi adalah kesemena-menaan: tujuan rakyat tidak menjadi tujuan orang-orang yang dipilih rakyat dan memang inilah yang menjadi salah satu kelemahan Demokrasi Perwakilan. Kepentingan para wakil rakyat dapat bergeser dari kepentingan rakyat jika rakyat lemah.

Bergesernya kepentingan tersebut akan menggeser beberapa posisi pada tempat yang bukan saja tidak tepat, melainkan menimbulkan kerusakan parah yang meliputi keamanan wilayah Negara hingga mentalitas bernegara. Sebab yang bergeser pada akhirnya adalah tujuan. Partai politik yang pada mulanya alat atau corong untuk sampai pada cita-cita Negara (dalam hal ini cita-cita rakyat) dijadikan tujuan. Sementara negara yang pada mulanya adalah tujuan dijadikan alat. Jika partai adalah tujuan dan negara adalah alat, rakyat dijadikan ornamen-ornamen belaka dalam parade perebutan kekuasaan para elit yang kadung ditempatkan oleh rakyat di tempat tinggi.

Akibat yang dapat dilihat secara kasat mata atau yang biasa didengar dari “bisikan para tetangga”, jika rakyat diposisikan sebagai golongan lemah, rakyat harus mengajukan proposal permohonan dana untuk mendirikan rumah ibadah. Rakyat harus memohon-mohon agar mendapatkan kerja. Rakyat harus mengemis-ngemis antre beras murah yang jelek mutunya, yang tidak layak dimakan manusia dari para wakilnya sendiri, ketika bahan pokok meroket. Posisi yang sangat hina ini tidak layak ditempati oleh rakyat di negara yang menggunakan sistem demokrasi.

Sampai di sini (mestinya cukup dapat dipahami dengan) jelas tujuan Cak Nun mengatakan hal tersebut.

Cak Nun melihat gejala itu dan terdorong utuk mendidik yang belum terdidik.  Adapun pernyataan rakyat jadi hina ketika harus menemui presiden, sebab presiden harus menemui rakyat adalah isyarat dari Cak Nun agar rakyat jangan lalai pada tugas pengawasan. Rakyat tidak boleh lalai pada posisinya yang tinggi karena memiliki mentalitas rendahan. Rakyat harus mampu menegaskan posisinya agar tidak terjerembab dalam jurang-jurang perpolitikan yang menyesatkan.

Bahwa presiden adalah simbol negara dan simbol negara harus dijaga kehormatannya demi kehormatan negara, itu tidak sama sekali perlu ditampik. Dalam hal pernyataan Cak Nun, berada di luar persoalan symbol negara. Kalau di dalam sebuah buku, sudah berbeda bab. Karenanya, tidak dapat dibentur-benturkan. Keduanya tidak saling menolak, sebaliknya, keduanya saling melengkapi. Tentu hal ini mudah dipahami oleh orang-orang yang berpikir. []

Tentang Penulis

Muhammad Rois Rinaldi, Koordinator Gabungan Komunitas Sastra ASEAN dan Redaktur Sastra Biem.co

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button