biem.co —“Habiskan nasinya, kalau enggak nanti nasinya nangis,”
Begitulah wejangan yang diberikan oleh orang tua kita dahulu saat memakan makanan namun tidak habis karena alasan kenyang.
Ada sebuah perjalanan panjang bagi bahan baku makanan yang kita konsumsi setiap hari. Mulai dari penanaman bibit atau benih, perawatan tanaman dengan memberikan pupuk dan menyiramnya dengan baik, memasuki masa panen dan pasca panen, diolah menjadi makanan yang tersaji diatas piring, sampai menjadi limbah. Mulai dari sayuran, buah-buahan, daging yang diolah menjadi sate, sampai jus alpukat kesukaan. Namun apakah kita sebagai manusia sudah memperlakukan makanan tersebut dengan baik agar memberikan dampak yang baik juga untuk tubuh?
Sebuah perumpamaan yang bisa dibayangkan oleh sobat biem. Jika dalam satu hari sebuah restoran cepat saji memasak makanan untuk pelanggan, akan tetapi pelanggan yang sudah memesan makanan tersebut tidak menghabiskan makanannya. Satu orang dalam satu restoran yang membuang makanan memang nampaknya tidak jadi masalah besar, namun jika dalam satu restoran yang memesan makanan ada 30 orang dan 15 orang diantaranya membuang makanan, apakah sudah dikatakan suatu masalah yang besar? Ada yang menjawab sudah, ada juga yang menjawab tidak menjadi masalah. Toh kita sudah membayar makanannya.
Bagaimana jika kita perbesar lagi skalanya menjadi 10 restoran dengan jumlah pelanggan yang sama? Ada 30 pelanggan dan 15 orang diantaranya dalam 10 restoran membuang makanan secara bersamaan. Masih belum dikatakan sebagai masalah besar? Bagaimana jika hal itu terjadi di satu provinsi. Banten misalnya?
Tentu akan menjadi cikal bakal masalah besar. Ada banyak waktu, tenaga, bahan baku, dan cost yang terbuang. Dampaknya juga akan merambat kemana saja. Dimulai dari perilaku manusia yang suka membuang makanan, bisa berpengaruh terhadap kehidupan sosial, bahkan ekonomi sekalipun. Dengan tingginya permintaan suatu produk tentunya akan menekan persediaan yang ada. Alhasil, akan terjadi kelangkaan suatu barang agar persediaannya tidak habis. Sedangkan masyarakat di negara manapun jika sudah memasuki masa kelangkaan barang, pasti akan berontak kepada pemerintah setempat. Meminta agar harga produk diturunkan. Produk apa saja termasuk harga bahan baku pangan. Mulai bingung? Apa korelasi dari ulasan barusan? Mari kita sejenak membaca beberapa fakta dibawah ini.
Sebuah penelitian yang dilansir dari Grid Id, berdasarkan laporan dari Barilla Center for Food & Nutrition, menunjukkan bahwa Indonesia menjadi peringkat ke-2 sebagai negara pembuang makanan terbesar, ada sekitar 300 kg makanan per kapita terbuang setiap tahunnya di Indonesia. Sedangkan untuk laporan di tahun 2018 oleh organisasi yang sama, Indonesia masuk ke peringkat nomor 8 sebagai negara yang kekurangan gizi di antara 67 negara. Terkejut? Ini belum seberapa. Mari lihat lagi penjelasan lain dibawah ini.
Dampak jangka panjang yang bisa jadi akan ditanggung oleh umat manusia kedepannya jika masih berperilaku suka membuang makanan adalah perubahan iklim. Bagaimana bisa? Dilansir dari National Geographics Indonesia, produksi makanan yang terus-terusan berlebihan justru meningkatkan gas rumah kaca yang dipancarkan, namun tidak mengurangi jumlah orang yang kelaparan. Menurut penelitian, menghindari pembuangan makanan dari hasil pertanian dapat membantu mencegah dampak iklim, seperti cuaca ekstrem dan kenaikan permukaan laut.
Baca Juga
Dilansir juga dari Health Detik, pada tahun 2018 terdapat 62 balita di Provinsi Banten khususnya daerah kumuh di kota Serang terjangkit gizi buruk. Angka tertinggi ada di kecamatan Kasemen dengan jumlah 25 balita, Taktakan 9 balita, Serang 12 balita, Walantaka 6 balita, Cipocok Jaya 2 balita dan Curug 8 balita gizi buruk. Ini baru di satu kota. Belum lagi dari daerah lain seperti kabupaten Lebak, Pandeglang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, Kota Cilegon, dan Tangerang Selatan. Salah satu fakta ini membuktikan penjelasan data yang terlampir dari Center for Food & Nutrition diatas bukan?
Ada banyak cara untuk memperbaiki salah satu dari sekian banyak krisis. Salah satunya dimulai dari melakukan hal terkecil dari diri sendiri. Segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Dengan kita yang mengubah sikap agar lebih bijak dalam memperlakukan makanan yang kita makan, akan berdampak besar bagi kehidupan 5-10 tahun kedepan. Kita bisa mengatur seberapa banyak makanan yang kita makan sehingga tidak terbuang, dan kita bisa berbagi sebagian harta kita kepada mereka yang lebih membutuhkan. Jika semuanya dimulai dari kemauan diri sendiri dan ingin bergerak, nampaknya kita bisa sama-sama meminimalisir berbagai krisis untuk kehidupan selanjutnya. (FS).
Fina Septiani, usia 22 tahun. Lahir di Tangerang, 12 September 1996. Mempunyai hobi fotografi, menulis, dan membaca buku. Fina biasa menulis di Blog dengan nama pena Helena Vector.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.