Puisi

Sajak-sajak Ibe S Palogai

Robot itu Menekan Tombol Off di Pinggul Kekasihnya

Lampu padam ketika lelaki itu keluar dari kubus pintu.
Ia tak mengetuk seperti masih mengenal yang belum dan
pernah terjadi di ruang ini, benda dan kenangan, waktu
dan pertengkaran.

Ia menyentuh pigura yang berdiri ragu-ragu di meja.
Merapikan letak jam dinding yang kewalahan menjaga
keseimbangan tubuhnya. Menutup buku yang kehilangan
pembatas – antara yang telah dibaca dan belum
dituliskan.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Cahaya keluar dari endapan yang jauh dan sunyi,
menyambut perempuan yang muncul memikul
kesedihan, kekalahan, dan air mata yang tak bisa ia
miliki sendirian. Ia mendekat dan memilih berdiri di
tempat paling tak terjangkau oleh lengan yang berusaha
menyentuh bayangnya.

Makassar – 2018


Hal-hal yang Selesai Direncanakan dan Belum Pernah Dilakukan

Kaukah seseorang yang mengonversi perasaan kecewa
menjadi instrumen. Sejumlah rasio yang menginginkan
kebahagiaan.

Apa hal terburuk ketika masa lalu meninggalkan
seseorang? Kalkulasi tentang jatuh cinta dan mencintai
adalah individualis yang menempatkan setiap data
sebagai hukum pernikahan beda agama.

Aku sangka tubuhku cukup kuat berjalan setelah hujan,
tetapi angin kumbang dan gigil siapa yang
membekapku?

Perpisahan adalah permainan numerik yang aku gunakan
sebagai kalimat selamat tinggal. Dan aku punya waktu
seumur hidup untuk membuktikan bahwa itu adalah
kesalahan.

Makassar – 2018


Permainan ini Bernama: Setelah Aku Mengejarmu dan Cintaku hanya Pelarian

Ialah nama yang aku pinjam dari buku catatan masa
kecil. Nama yang pernah kutulis dengan sandi morse,
sesekali hanya akronim seperti nama sebuah pulau, atau
inisial agar tak seorang pun tahu mengapa aku
meninggalkan rumah diam-diam hanya untuk datang ke
suatu perpisahan sebagai orang ketiga dan pulang
dengan rambut baru yang terluka.

Seminggu kemudian saya menyesal untuk rambut baru
dan menyesal lebih lama untuk nama itu. Tetapi rambut
baru tumbuh lebih cepat sementara nama itu mengalami
kamuflase terstruktur.

Mulanya sebagai luka kecil berwarna merah lalu pekan
selanjutnya menjadi biru navy seperti warna daster ibu di
malam hari. Luka itu menjadi ungu ketika saya beranjak
dewasa.

Buku itu telah hilang di antara tumpukan yang berusaha
kutemukan. Sementara luka itu kusamarkan dengan
menyulam rajah buku catatan masa kecil di punggungku.

Makassar – 2018


Menginterogasi Hasrat yang Brutal

Palang angin sebuah jendela menciptakan radang
tenggorokan bagi ingatan. Selepas pertengkaran di
petang yang gelisah, ia susun komponen tubuh
kekasihnya ke laboratorium bahasa.

Ingatan dan bahasa hanya balsam di material kulit
kekasihnya. Ia kerok hingga led merah menyala di
bawah dagu.

Kabel hitam terhubung ke dalam pinggul kekasihnya.
Setiap pikiran dan rahasia yang sembunyi terbaca di
layar virtual.

“Selalu mudah mencintai sesuatu yang mencurigakan
dari pada yang tak kau tahu tabiatnya.”

Tetapi apa yang tak ia tahu hanya awal luka baru.
Menghapus seluruh ingatannya hanya siasat cuaca yang
tersesat di sebuah jendela.

Makassar – 2018


Sofisme Egaliter

Dunia dimulai dengan pembagian simetris yang curang.
Tubuh berserikat pandang dengan benda-benda
melayang. Fragmen ruang dan gerak pinggul berperang
dalam perangkap. Hanya pernah dan semua mengulang
keburukan yang berbeda.

Pelangi pada malam hari melepaskan baju pertamanya.
Hanya padam kamar dan dunia remang yang terluka.
Mengapa ada cinta yang harus berdarah? seperti komedi
yang tak bisa ditertawai.

Makassar – 2018


Ibe S Palogai

Ibe S Palogai lahir di Takalar, Sulawesi Selatan. Giat di Institut Sastra Makassar. Buku terbarunya Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi (GPU, 2018). Dapat dijumpai di Instagram dan Twitter sebagai @ibespalogai.


Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button