biem.co — “Teliti sebelum membeli”, begitu bunyi pepatah yang tidak asing ditelinga orang Indonesia pada umumnya. Meskipun sudah lawas namun ternyata masih sangat relevan digunakan tanpa perlu revisi. Ane kadang membayangkan kalau pepatah disejajarkan bak undang-undang yang konon butuh anggaran cukup besar untuk menyusun dan merombaknya, sudah berapa persen penghematan yang berhasil dipangkas dari pepatah kuno di atas. Tapi yaaa sudahlah, toh undang-undang itu kan proyeknya anggota dewan (Yth), yang pada tahun ini kursinya sedang diperebutkan. Tinggalkan dulu sejenak urusan politik ya gaes, meskipun jujur memang politik itu untuk semua urusan, kalau kata salah satu dosen ane di kampus ada yang bilang bahwa politik itu mulai dari urusan sajadah sampai haram jadah.
Balik ke kalimat pertama soal pepatah, menurut penelusuran ane dalam ilmu cocoklogy ukuran dasarnya adalah disiplin ilmu ekonomi, karena apa? disitu ada kata membeli. Dan ternyata setelah melalui kajian nalar kritis ane, didapatkan bahwa ada kecocokan pula dengan ilmu politik bahwa setiap pembeli itu adalah raja. Jadi kesimpulannya setiap raja yang ingin membeli harus teliti, ingat, harus teliti. Terlebih di era digitalisasi seperti saat ini, dengan strategi marketing yang dipasang banyak pembeli (dibaca;raja) yang terperdaya oleh suatu objek produk dagangan yang tidak sesuai dengan ekspektasi alias ketipu.
Baru-baru ini ane ngalamin langsung. Meskipun emang pada dasarnya adalah kekurangtelitian si RAJA tapi tetep aja nyesek, secara itu barang yang dibeli dengan cara transfer melalui aplikasi online harganya lumayan buat pertahanan hidup, apalagi ditanggal tua gini.
Kira-kira, ada yang penasaran ga ya sebenernya apa sih yang dibeli? Tapi ga penting juga, karena itu barang buat sebagian orang ga terlalu penting. Yang terpenting sekali lagi ane ngingetin buat raja/ratu yang hobi banget belanja online agar lebih teliti.
Sebut aja barang yang mau dibeli itu ane umpamakan buku (nama samaran) misal, sebagai mahasiswa yang dikasih tugas ngumpulin buku buat ngisi rak perpus di kampus sama dosen tentu ane berusaha keras buat ngedapetin tu barang. Terlebih lagi karena waktunya dibatasi dan judul bukunya ditentukan pula (udah kaya main catur lagi diskak). Karena ketentuan ketat yang ditetapkan tadi yang tentu mempersempit ruang gerak otak untuk berfikir mencari solusi, maka akhirnya ane manfaatin moda industri 4.0 yang ada, dengan cara searching di browser buku “Revolusi Iran”. Ga perlu lama langsung bermunculan baik gambar buku, berita, sinopsis, bahkan penulis bukunya yang ternyata seorang Jurnalis asal Lampung Nasir Tamara.
Singkat cerita, dari deretan opsi yang ada ane berlabuh pada pilihan untuk membeli lewat aplikasi Bukan Bapak karena selain harga yang ditawarkan paling ekonomis, juga jarak si penjual tidak terlalu jauh dari domisili. Ujung-ujungnya hemat ongkir.
Dalam aplikasi tersebut, disediakan kolom chat antara si calon pembeli dan penjual dan tanpa pikir panjang ane langsung dehh mulai tanya perihal harga yang terpasang apa sesuai, berapa ongkir yang harus dibayar, dan terakhir saya tanyakan susuganan (siapa tahu) ada bonus tambahan. Nahas yang terakhir bukan kabar baik bagi ane.
Tiga hari setelah kesepakatan dibuat, buku tersebut mendarat diantar kang kurir ampe ke depan pintu kontrakan, namun dibalik packing yang rapih ditemukan buku yang rapuh. Gileee lu ndro…. buku baru dateng begitu dibuka dari plastik segel di halaman kovernya aja udah langsung misah ama bagian isi. Alamaaak gimana ini nasib mahasiswa yang mau menghadap dosen besok pagi bawa buku kawe 17, jengkel campur syedih ane nyoba kroscek di ponsel liat chat kemaren ama tukang buku. Ternyata emang ane yang salah, tergiur harga miring tanpa tanya kualitas.
Semoga contoh (perumpamaan) pengalaman ini bisa bikin kita calon pembeli, penjual dan pihak aplikator dapat lebih bijak dalam berniaga.
Kalau diliat dari payung hukum yang berlaku, sebenarnya ada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya. (Wikipedia).
Namun ada baiknya pihak aplikator juga dapat menyaring secara selektif terlebih dahulu bagi calon penjual yang ingin menjual barangnya agar supaya peredaran barang tiruan dapat diminimalisir, karena saat ini UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta masih berlaku dalam rangka menekan angka pembajakan atas suatu karya. Kalau memang kadung menjadi member, paling tidak mintalah kepada si penjual untuk mencantumkan deskripsi produk yang ditawarkan sesuai dengan apa adanya, jangan ada apanya. Agar lebih transparan
Dan terakhir, sekali lagi ane mau ngingetin bagi calon pembeli yang hobi belanja lewat aplikasi, jangan ragu buat rewel. Karena nyesel di depan itu hanya berlaku bagi sebagian kecil yang pas kena sial, sisanya pasti nyesel belakangan. Sekian terima kasih dan semoga bermanfaat. (Agus Supriatna)