biem.co — Thomas Hobbes (1588-1679) pernah menyatakan “bellum omnium contra omnes”, yang artinya semua manusia akan berperang melawan semua. Menurut Hobbes untuk mempertahankan diri, pada suatu saat nanti manusia akan agresif dan melakukan peperangan dengan sesama manusia. Peperangan tersebut tentunya dikarenakan etnosentrisme dari setiap kelompok yang menganggap bahwa dirinya paling benar, dan tidak pernah mau mengakui kesalahannya.
Pernyataan Hobbes tersebut pada akhirnya terjadi. Saat ini peperangan antar manusia sudah di mulai, bahkan peperangan tersebut mungkin saja akan terus di warnai dengan pertumpahan darah, jika tidak ada rasa empati yang ditimbulkan antar sesama manusia. Belum lama ini dunia internasional dihebohkan dengan serangan terorisme di Selandia Baru, teroris yang menyerang Masjid Al Noor tersebut tidak hanya mengandalkan pelurunya saja untuk menghabisi para korban, tetapi juga ia menyebarkan aksinya melalui media sosial Facebook.
Aksi yang dilakukan oleh terorisme ini merupakan aksi yang menggunakan cara baru, karena biasanya terorisme melakukan aksinya secara diam-diam, namun yang terjadi kali ini, justru terorisme lebih memilih untuk mempublikasikannya di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini, teroris sudah benar-benar berani untuk melakukan aksinya, bahkan teroris tersebut sudah tidak takut terhadap apa yang akan terjadi. Oleh karena itu, kasus terorisme yang terjadi saat ini adalah “teorisme virtual”.
Jika di Indonesia, terorisme virtual sering kali diasosiasikan di mana para teroris belajar merakit senjata, atau belajar untuk melakukan aksi terornya melalui internet. Namun ternyata seiring berjalannya waktu, terorisme virtual sudah memberanikan diri untuk menyebarkan aksinya melalui media sosial. Karenanya, pada saat in media sosial bukan hanya media yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi terhadap sesama, tetapi juga kini media sosial sudah disalahgunakan untuk melakukan kejahatan. Entah apa yang ada dipikiran teroris tersebut, sehingga ia lebih memilih untuk menyebarkan aksinya melalui media sosial.
Karenanya serangan terorisme di Selandia Baru semoga menjadi serangan terorisme yang terakhir kalinya, dan jangan biarkan serangan tersebut terjadi pada negeri kita. Oleh karena itu, untuk mencegah serangan terorisme virtual, maka kita harus bersama-sama menemukan solusi dengan sebaik mungkin. Karena jika hal tersebut dibiarkan begitu saja, maka terorisme justru akan lebih memberanikan diri untuk melakukan aksinya melalui media sosial.
Memperhatikan Identitas di Media Siber
Shirley Turkle dalam bukunya The Second Self: Computers and the Human Spirit (1984) dan Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet (1995) menyatakan, bahwa internet telah menghubungkan miliaran individu dari belahan Bumi mana pun dalam ruang baru yang berimplikasi pada cara khalayak berpikir selama ini tentang seksualitas, bentuk dari komunitas, dan bahkan identitas diri. Di ruang siber sangat berbeda dari kenyataan di mana individu akan menemukan dunia baru termasuk identitas, baik yang esensial maupun non-esensial.
Bahkan dalam kondisi yang lebih ekstrem, identitas menjadi palsu, tersamarkan, dan individu menjadi individu lain di layar komputer (Nasrullah, 2014: 145). Salah satu alasan mengapa individu memilih identitas mereka yang berbeda di internet, karena identitas mereka di dunia nyata tidaklah bisa mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial mereka (Wood dan Smith, 2004: 59, dalam Nasrullah, 2014: 59).
Identitas di media siber tentu tidak harus sama dengan identitas aslinya, misalnya para pengguna media sosial tentu bisa membuat sedimikian rupa agar terlihat seperti orang yang kaya raya, tetapi kenyataannya dia adalah seorang pengemis. Fenomena ini sudah menjadi hal yang wajar terjadi di media sosial, sehingga pada akhirnya fenomena tersebut menjadi polarisasi bagi semua orang untuk tidak mau menampilkan identitas aslinya di media sosial.
Begitu pun dengan para teroris, tentu saja para teroris tidak akan menampilkan identitas asli di media sosialnya. Bisa jadi, ketika di media sosial ia menjelma sebagai seorang yang sangat mendukung terhadap kampanye mengenai kemanusiaan, tetapi di kehidupan nyatanya ia adalah seorang teroris. Maka dari itu, hal ini yang harus kita perhatikan dengan sebaik mungkin, kita harus berhati-hati terhadap identitas palsu yang ada di media sosial, dan jangan terlalu memberikan kepercayaan lebih terhadap suatu akun yang mencurigakan. Jika ada akun media sosial yang berpotensi untuk menebar teror, maka kita jangan pernah takut untuk melaporkan akun tersebut.
Mengalahkan Agitasi
Secara etimologis, agitasi berasal dari bahasa Prancis agiter yang berarti menghasut. Webster Dictionary menjelaskan kata agitasi berasal dari bahasa Latin agitates atau agitare yang berarti mengacaukan. Menurut kamus Oxford, mengagitasi adalah membangkitkan perhatian (to excite) atau membuat kacau pikiran (sir it up) (Shoelhi, 2012: 142). Dimanapun itu kasusnya, seseorang akan menjadi terorisme jika ia sudah tidak pernah merasakan keadilan lagi. Ketika ketidakadilan itu datang pada dirinya, kemudian agitasi yang sangat radikal pun akan mencuci otaknya sampai ia sadar, bahwa ia harus melakukan teror untuk melawan ketidakadilan tersebut.
Agitasi yang paling berbahaya ialah agitasi yang datang dari seseorang yang mengaku bahwa ia adalah ahli agama. Tidak jarang juga, terorisme menjadi semakin agresif, ketika ia merasa bahwa agama yang ia peluk telah dinodai ataupun telah dikalahkan oleh agama lain. Memang tanpa dipungkiri, pada saat ini agama sudah menjadi jembatan untuk membuat ajaran-ajaran radikal menjadi ajaran yang dipercaya bahwa ajaran tersebut sebagai ajaran yang benar. Ketika agitasi yang sangat radikal itu sudah menguasai pikirannya, maka ia akan mempunyai kepercayaan bahwa dengan melakukan teror terhadap orang lain, lalu pada akhirnya ia akan menjadi penghuni surga.
Pada saat ini kita tidak pernah tau, siapa aktor yang menyebarkan agitasi untuk membuat individu menjadi seorang teroris. Maka dari itu, untuk melawan agitasi tersebut, kita harus mengasah pikiran agar selalu mengutamakan akal sehat dalam menghadapi situasi apapun itu. Jika ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai ahli agama, maka cobalah untuk berdebat dengannya, sampai ia mengakui bahwa ajaran yang ia yakini merupakan ajaran yang salah. Oleh karena itu, terorisme akan kalah dengan orang yang dapat berpikir dengan logis.
DAFTAR PUSTAKA
Nasrullah, Rulli. 2014. Teori dan Riset Media Siber. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Shoelhi, Muhammad. 2012. Propaganda dalam Komunikasi Internasional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Ilham Akbar, adalah Mahasiswa Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public Relations.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.