JAKARTA, biem.co — Sejak berdiri dua tahun lalu, Partai Berkarya membuka kesempatan kepada semua anak bangsa, termasuk penyandang disabilitas, untuk berpolitik. Sapto Yuli Isminarti, penyandang disabilitas asal Malang merespon hal itu.
Sapto Yuli, demikian wanita pengusaha hijab itu, terdaftar sebagai calon legislatif DPRD Kabupaten Malang untuk daerah pemilihan (dapil) 7. Ia yakin mampu memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) di Kabupaten Malang.
“Mbak Tutut yang selalu memberi dorongan bahwa keterbatasan fisik bukan halangan untuk berkarya,” kata Sapto Yuli saat ditemui di Hotel Desa Wisata, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Rabu (21/03/2019) lalu.
Terakhir, dalam dialog dengan anggota Gerakan Bakti Cendana, Tutut juga kembali memberi dorongan kepada Sapto Yuli untuk bertarung memperebutkan kursi DPRD Kabupaten Malang.
“Mbak Tutut mengatakan, buatlah mulai dari hal kecil sebagai bagian membangun pondasi bangsa dan negara,” ujarnya.
Sapto Yuli lahir dari keluarga miskin. Namun ia bersyukur pernah hidup dalam jerat kemiskinan. Ia berusaha keras keluar dari kondisi tersebut dengan menjadi produsen hijab dan kerudung.
“Dari era Presiden Soeharto, sampai saat ini masalah terbesar bangsa adalah kemiskinan,” kata wanita pengguna kaki palsu itu.
“Keluarga saya juga saya miskin, dan saya bisa keluar dari kemiskinan,” sambungnya.
Menurut Sapto Yuli, upaya keluar dari kemiskinan dimulai dengan berkarya, mendesain hijab dan kerudung, serta memproduksinya.
Ia memenangkan banyak order pengadaan hijab, kerudung, t-shirt dan jaket dari berbagai organisasi.
“Penyandang difabel miskin itu pasti terpinggirkan, tapi jika punya semangat dan kemauan berkarya siapa pun bisa keluar dari kemiskinan,” katanya.
Sapto Yuli memimpikan difabel di Indonesia memperlihatkan karya di bidang apa saja. Di sisi lain, ia berharap pemerintah lebih peduli pada kaum difabel.
“Negeri kita sudah mulai ramah kepada kaum difabel, terutama di kota besar,” ujar wanita berusia 46 tahun itu. “Namun dibanding negara lain, Indonesia masih tertinggal,” ungkapnya.
Ia menyebut Sydney, salah satu kota di Australia, yang memiliki jaringan braille dan tanda tactile–atau penunjuk jalan untuk orang yang memiliki gangguan penglihaan–paling luas di dunia.
Menjawab pertanyaan soal kenangan era Presiden Soeharto, Sapto Yuli mengatakan bahwa dirinya terinspirasi dengan program pemberdayaan masyarakat yang dicetuskan pada masa pemerintahan Presiden Suharto, yakni Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (Kelompencapir), yang tak lain kegiatan pertemuan untuk petani dan nelayan di Indonesia.
“Sekarang saya namakan saja ‘Sarasehan Masyarakat Keliling’,” terangnya.
Saat itu, lanjut Sapto Yuli, ia berkunjung ke daerah-daerah mengajarkan penyandang disabilitas berwirausaha.
“Saya katakan kepada rekan sesama disabilitas, jika saya bisa berwirausaha, kalian juga bisa,” pungkasnya.
Menurut Sapto Yuli, keinginan terbesar dalam hidupnya adalah memperjuangkan program Soeharto untuk mengentaskan kemiskinan lewat pemberdayaan masyarakat, pola hidup sehat, dan mandiri. (hh)