biem.co — Leon Trotsky pernah menubuatkan kondisi manusia masa depan dengan penggambaran yang agaknya berlebihan. Ia mendeskripsikan manusia masa depan akan sangat kuat, lebih pintar, lebih cepat mengerti dan gaya hidupnya akan mempunyai kualitas yang sangat dramatis. Sampai sini, mungkin masih bisa disebut relevan, namun setelah penggambaran itu, Trotsky meneruskan, “dari rata-rata manusia itu akan setingkat Aristoteles, Goethe, dan Marx”.
Kenyataan yang terhampar hari ini, jelas berbeda jauh dari nubuat Trostky beberapa puluh tahun silam. Baik Aristoteles, Goethe maupun Karl Marx, ketiganya merupakan tokoh yang orisinil. Mereka pembaharu yang otentik pada masanya. Sedangkan manusia-manusia yang kita jumpai hari ini, di era keserbamajuan ini, hanyalah sekedar epigon-epigon yang kadar otentisitasnya belum layak disandingkan dengan Marx maupun Aristoteles—kalaupun ada, hanya segelintir saja. Persentasenya mungkin jauh dari rata-rata jika dibandingkan dengan populasi floating mass sebagai mayoritas.
Setelah kian menderasnya laju perkembangan teknologi dan keserba-majuan mendapatkan bentuknya yang kian paripurna, manusia hari ini seperti mengalami kemunduran. Hal ini terlihat jelas dari kegagapan manusia itu sendiri ketika dihadapakan dengan semesta keserba-mudahan yang ditunjang oleh banyak penemuan dalam dunia teknologi.
Singkatnya, ada kesenjangan nyata yang terjadi antara modernitas sebagai objek dan manusia sebagai subjek. Karena orientasi manusia kapitalistik sebagai—meminjam istilah Eric Froom—homo economicus yang, segala kegiatannya mengerucut pada satu simpulan: menciptakan semesta keserba-mudahan di atas pijakan modernitas dengan komoditas-komoditas andalan mereka demi mendulang sebanyak mungkin pundi-pundi keuntungan.
Di sisi lain, masyarakat yang dijadikan “pasar”, terlena dengan segala kemudahan yang mereka dapatkan. Kegiatan “konsumsi” pun mengalami pergeseran nilai. Batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi kabur. Mengonsumsi adalah kebutuhan, mengonsumsi juga adalah keinginan. Belanja terus sampai mati, kata Efek Rumah Kaca dalam lagunya. Sisi ini menciptakan manusia yang berdimensi tunggal. Baik sebagai masyarakat konsumen, maupun masyarakat sebagai pemilik modal. Maka modernitas hanyalah apa-apa yang berdenyut di luar tubuh manusia, sementara isi kepalanya tetap dipasung untuk senantiasa purba.
Kita dihadapkan pada kondisi dis-eksistensi kultural dan dekadensi yang cukup menggelisahkan, di mana benda-benda jadi tuhan dan manusia lebih menikmati hidup dalam semesta simulacra. Manusia lebih nyaman mengasingkan diri dalam kesenyapan gadget, dalam hiper-realitas media sosial, dalam platform-platform live video streaming yang kian popular belakangan ini.
Meroketnya popularitas aplikasi live video streaming yang agaknya menggeser popularitas media sosial dengan beragam platformnya belakangan ini, cukup menyita perhatian penulis karena, dalam hemat penulis, kehadirannya sedikit-banyak menghadirkan permasalahan baru yang cukup serius bagi generasi muda kita.
Melangkah sedikit lebih maju daripada fitur video call yang terintegrasi dalam berbagai platform media sosial, aplikasi live video streaming memungkinkan penggunanya berinteraksi secara interface dengan banyak pengguna lain dalam satu waktu. Kelebihan dari video live streaming ini adalah, ada fitur gift yang nantinya bisa ditukarkan dengan sejumlah uang. Yang kemudian penulis coba soroti di sini adalah, dari beragam cara yang ditempuh oleh para pengguna aplikasi ini (yang rata-rata perempuan) untuk menghibur para “tamu” yang datang ke room-nya, terkadang cendrung sangat tidak sehat. Seperti dengan mempertontonkan kemolekan tubuh, goyangan yang merangsang fantasi seksual, buka-bukaan pakaian, dan aktifitas sejenisnya yang mengerucut pada tindak amoral yang sebenarnya tidak cocok dengan kultur timur bangsa kita.
Jika ingin mendapatkan yang “lebih” dari aksi sensual yang dipertontonkan oleh perempuan-perempuan muda di sana, maka para tamu di room tersebut diminta agar memberikan gift sebanyaknya.
Sisi eksploitatif sangat kentara di aplikasi ini, tapi bukan berarti semua pengguna aplikasi ini cenderung negatif. Banyak dari mereka yang masih merawat kewarasannya dengan tetap memperhatikan batasan-batasan wajar dalam meng-entertain pengguna lainnya.
Di sini sebenarnya titik krusial yang coba penulis kritisi. Bahwa, perempuan modern, pada titik ini, seolah dengan sikap apatisnya mengamini dan mengimani budaya patriarkhi sebagai sebuah hukum alam yang absolut atas mereka, yang celakanya, membuat mereka semakin liar, pragmatis dan tidak terkendali sehingga dengan sukarela menjadi budak dari hasrat kebertubuhan para pejantan di aplikasi tersebut yang mayoritas orang-orang muda berusia produktif.
Dalam konteks ini, perkembangan teknologi malah membuat generasi muda kita terjerembab dalam sebuah kontradiksi yang, penulis sebut sebagai, libido kebertubuhan. Kebertubuhan di sini ialah hasrat akan “tubuh” melulu sebagai objek dari pelepasan birahi dan tindak seksual lainnya yang menempatkan perempuan sebagai kaum liyan (second line) belaka dan cenderung mengeksploitasi, mensubordinasi tubuh mereka. Peran perempuan semata-mata dipandang sebagai pemuas nafsu lelaki.
Libido “kebertubuhan” pada akhirnya cenderung makin memarginalkan posisi perempuan di hadapan kemajuan teknologi–bahkan semakin mengukuhkan tindak “penjajahan” pada kebertubuhan perempuan itu sendiri, yang ironisnya, bahkan oleh masyarakat modern hari ini, tak jadi soal berarti yang patut dipikirkan bersama jalan keluarnya.
Secara masif terlihat seperti ada upaya normalisasi; bagaimana agar cacat nilai dari perilaku tidak sehat yang terekam dalam video live streaming tersebut bisa menginternal sebagai sebuah kewajaran dan hal yang lazim melalui dokumentasi yang intens oleh media penunjang lainnya yang dilakukan terus-menerus. Lihat saja bagaimana rekaman video aksi “tak layak” itu banyak bertebaran di YouTube dengan bermacam judul yang bisa membuat kontradiksi antara iman dan emen seseorang.
Disadari atau tidak, sikap “kampungan” dengan kecanggihan teknologi dan segala hal yang berbau seksual ini melestarikan budaya patriarkhi dalam bentuk yang lebih segar. Nilai-nilai patriarkal itu pun menginternal dan mengakar kian kokoh dalam domain bawah sadar masyarakat kita.
Dewasa ini, praktik tak terpuja terhadap kebertubuhan itu difasilitasi dan mendapatkan legitimasinya dalam wadah yang lebih mutakhir. Indikasi ke arah itu sudah terlihat seiring dengan dinamika perkembangan media sosial, dan pada gilirannya platform-platform live video streaming semacam Bigo Live, Nonolive, Live Me dan sebagainya, yang paling berjasa mengantarkan semangat patriarkal pada taraf yang lebih mengkhawatirkan. Dan sejauh pengamatan penulis, itu bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di belahan dunia lainnya, bahkan di negara-negara maju. Menjadi semacam “penjajahan global” gaya baru terhadap kebertubuhan perempuan.
Jika modernitas hanya mengalirkan manusia menuju alienasi dan perayaan kebertubuhan yang senantiasa merawat semangat patriarkal, maka tak ayal modernitas tak ubahnya sebuah kontradiksi bagi dirinya sendiri yang pada akhirnya malah menegasikan peran manusia sebagai komponen inti dari entitas aktual (dalam bahasa Whitehead) menderasnya kemajuan itu sendiri. Inilah salah satu paradoks lugas dari modernitas.
Dalam filsafat proses yang ditawarkan oleh Whitehead, ia menjelaskan bahwa himpunan peristiwa sepanjang sejarah manusia, segala sesuatu yang terus mengalami fase “menjadi” dalam kehidupan ini, adalah entitas aktual. Manusia, sebagai entitas atau subjek yang terus berproses, termasuk dalam komponen entitas aktual tersebut. Subjek yang memprehensi data. Motor penggerak perubahan, dari masa ke masa. Sebuah ironi tentunya jika kemudian modernitas dengan segala produk ciptaannya saat ini malah membuat manusia mengalami kemunduran, baik dari segi moral maupun intelektual. Adakah manusia hanya jadi tumbal dari laju modernisasi? Bantalan bagi kemajuan itu sendiri?
Manusia dalam pandangan Ali Syariati
Karl Marx melalui materialisme dialektisnya menyatakan bahwa: segala gerak di alam ini didasarkan pada pergulatan benda-benda; dari dinamika sesuatu yang bersifat materil. Sementara itu Plato beranggapan bahwa dunia ini lengkap dengan segala isinya hanyalah mimesis (tiruan) dari alam ide. Tradisi metafisik kehadiran inilah yang kemudian diwariskan dan mengangkat logosentrisme sebagai kiblat filsafat barat. Pada perkembangannya narasi besar tradisi filsafat barat tersebut menemukan katarsisnya yang monumental dalam konsep materialisme dialektis Marx yang menafikan dengan sangat radikal segala yang berbau metafisis.
Libido kebertubuhan dan “gairah” keberbendaan yang ditopang dan digenjot secara konstan—dan tidak langsung—oleh kapitalisme, pada akhirnya merawat hasrat terpurba dari manusia yaitu felicity yang dalam istilah Thomas Hobbes, diartikan sebagai: maksimalisasi diri pada kenikmatan (pleasure) demi minimalisasi dari kesengsaraan (pain). Kapitalisme, di bawah panglima neo-liberalisme, adalah entitas yang paling bertanggung jawab hari ini atas segala dekadensi dan kejumudan yang menjadikan manusia melulu sebagai objek.
Secara politis, kapitalisme modern memperalat kebudayaan dengan sedemikian rupa dan menjadikannya sebagai batu lompatan untuk menggenjot produktifitas produksi. Manusia diperalat dengan hiper-realitas iklan-iklan—dan perangkat penunjang kekuasaan simbolik lainnya—untuk terus menerus menjaga “libido” mengonsumsi mereka. Berangkat dari trend dan gaya hidup, kebutuhan-kebutuhan palsu pun diciptakan. Rasionalitas tujuan yang sepenuhnya bersifat mekanistik dan berbahasa fungsional (Marcuse), dengan tegas mempersetankan rasionalitas nilai (Weber).
Kenyataan ini terjadi paralel dari dua arah sekaligus; dari sisi pemilik modal yang berkepentingan memproduksi dan memperkaya diri, juga dari pihak masyarakat sebagai konsumen yang kian bergairah untuk terus mengonsumsi. Kondisi ini meng-alienasi manusia modern dari banyak hal, termasuk dari akal sehatnya sendiri sehingga, untuk sementara ini, sangat relevan jika dikatakan bahwa Marx dengan materialisme dialektis yang diusungnya merupakan kebenaran teraktual dewasa ini di tengah peradaban teknologis yang berdimensi tunggal. Singkatnya, dialektika ide (abstrak) telah mati, yang ada hanyalah dialektika (materialis) mimesis yang bersifat menipu, fana, menghinakan dan mengoyak akal sehat.
Ali Syariati adalah seorang pemikir progresif revolusioner dari Iran, yang sebenarnya sangat keras menentang marxisme dan memiliki pandangan kritis paling sistemik terhadap marxisme. Namun di sisi lain, dari warna pemikiran revolusionernya, sedikit banyak agaknya Syariati pun cukup dipengaruhi oleh corak pemikiran Marx. Sebagai seorang pemikir yang tajam dan tetap menjaga identitasnya sebagai seorang muslim, Syariati mengukuhkan konsep tentang dialektika manusia bersumber dari penghayatannya atas teks-teks Al-Qur’an.
Menurutnya, kata insan dalam Al-Qur’an memiliki makna yang sangat dalam tentang hakikat manusia. Tidak seperti kata Basyar (manusia) yang cenderung memposisikan manusia dalam dimensinya yang paling hina, yaitu yang tercipta dari tanah, lempung. Maka insan, dalam pandangan Syariati, dimaknai sebagai manusia yang liyan. Manusia yang tengah dan selalu akan berproses menuju cahaya Tuhan. Manusia yang terberkati dengan (meminjam istilah Al-Farabi) emanasi cahaya ke-ilahi-an. Lebih lanjut Syariati menjelaskan bahwa, manusia terdiri dari dua kutub yang saling tarik-menarik.
Manusia, seperti yang kita mafhum, diciptakan dari tanah, namun dalam diri manusia ditiupkan juga ruh ilahi. Ruh ilahiyat menjadi tesis: sumber dari segala daya kreasi, rasionalitas, cinta, kemurahan, kelembutan, sementara tanah adalah anti-tesis yang melambangkan kejumudan, kemandegan, kelambanan, kemalasan—simbol dari kehinaan dan kerendahan.
Dinamika kehidupanlah yang kemudian membuat dua kutub yang saling berlawanan dalam diri manusia tersebut, mengalami tarik menarik otoritas. Jika kecenderungannya adalah ke tanah, jangan heran sifat manusia itu jauh dari nilai-nilai visioner, lebih mengedepankan kepentingan sesaat, opportunistik, materialis, condong memuaskan hawa nafsunya, dan menjadikan orang lain sebagai “bantalan” demi mewujudkan impiannya—sifat dasariah manusia yang sejatinya hina menurut Thomas Hobbes.
Namun, jika kecenderungannya lebih kepada hal-hal produktif yang bernilai positif, konstruktif, meski tidak harus melulu bersifat relijius, di sinilah manusia itu berada dalam titik optimalisasi unsur-unsur ketuhanan yang sudah terintegrasi secara asali dalam dirinya. Jika dikaitkan dengan konsep felicity milik Hobbes yang mekanistik dan terlampau antroposentris (memusatkan pada manusia), maka pendekatan deskriptif tentang manusia yang coba ditawarkan oleh Syariati adalah bentuk felicity yang bernuansa lebih islami.
Secara tidak langsung Syariati ingin menyatakan: “maksimalisasi diri dari kenikmatan demi menjauhi kesengsaraan adalah hal yang sangat mungkin di saat manusia mau terus menerus mendekatkan diri pada sang penciptanya tanpa melupakan lingkungan sosialnya. Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung.”
Pada akhirnya manusia dan modernitas hari ini adalah dua hal yang berbeda. Satu sama lain berjalan masing-masing dan umat peradaban teknologis hari ini, secara umum bisa kita saksikan, di hadapan semesta kecanggihan teknologi, tidak memperlihatkan upaya “menuju cahaya” yang signifikan sebagai insan dalam terminologi Syariati, malah sebaliknya: manusia seperti menukik balik, berpulang ke tanah yang rendah dan hina sebagai rawl material penciptaannya.
Maka kejumudan mana lagi yang kau dustakan?
Wallahu ta’ala a’lam… (red)
Syahid Azzakky, Freelance scriptwriter. Bergiat di Perpustakaan Sisi Kiri Jalanan. Menggemari kajian filsafat dan agama. Menetap di Ciangsana, Bogor. Tengah ikut menulis skenario untuk serial drama keluarga ‘Tiada Hari Yang Tak Indah’ yang segera tayang di SCTV dan menulis skenario dokumenter untuk program Indonesia Artistry yang dalam waktu dekat akan tayang di Tempo Channel.