Oleh Dzulkifli Jumari
biem.co — Salah satu hal menarik yang perlu diperhatikan dan dipahami bersama di tengah geliat perindustrian masa kini, ketika sekolah-sekolah dari sekolah umum hingga kejuruan terus meluluskan anak didiknya, adalah ketenagakerjaan. Lulusan Sekolah Menengah bersaing tidak hanya dengan sesama lulusan sekolah menengah, melainkan juga dengan lulusan S-1. Sebuah kenyataan yang kerap menjadi “bara dalam sekam” di dalam dinamika sosial manusia secara umum.
Karena persoalannya bukan hanya terletak pada para lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang bersaing untuk mendapatkan pekerjaan itu, dimana lowongan pekerjaan senantiasa tidak dapat menampung mereka—mereka yang rata-rata memiliki tujuan utama proses pendidikannya untuk menjadi pekerja.
Ihwal ketenagakerjaan kita, persoalan yang kerap lahir, meruncing, dan kadang berakhir pada bentrok antarmasyarakat atau bentrok antara masyarakat dengan para pelaku industri adalah kebiasaan memparadekan apa saja tanpa terlebih dahulu melihat persoalan secara mendalam dan luas. Sehingga pada keadaan tertentu melahirkan tindakan berlebihan dari pihak yang berada pada posisi kuat.
Jika pelaku industri kuat, yang terjadi adalah tindakan yang semena-mena terhadap masyarakat, misalkan pemukulan, pengusiran, hingga diskriminasi. Kasus semacam ini sudah banyak terkuak di media massa, bahkan ada yang dibunuh oleh pembunuh bayaran atas perintah pelaku industri dan tentu saja aparatur pemerintah tertentu. Jika yang kuat adalah warga, beberapa kasus yang terjadi adalah penyerbuan pusat-pusat produksi suatu industri, hingga pada tindakan perusakan yang barbar. Keadaan tersebut, siapapun yang berada pada posisi kuat, bukan keadaan yang dicita-citakan oleh bangsa ini.
Di dalam keadaan semacam itu, rupanya yang cukup kuat dijadikan alasan terjadinya pertentangan (jika tidak boleh dikatakan kerusuhan) antara warga dan pegiat industri adalah semangat primordialisme yang terlampau berapi-api.
Sebenarnya pada perspektif tertentu, wajar saja semangat primordialisme itu. Masyarakat mana yang sudi dijadikan penonton dari perkembangan dan pertumbuhan perisdustrian? Mereka tentu ogah jika hanya disuruh jadi pengangguran yang menopangkan dagu sambil memperhatikan orang-orang yang keluar-masuk pabrik, yang entah mereka didatangkan dari mana. Bukan juga hal yang berlebihan ketika tumbuh keinginan dari warga untuk menjadi bagian setiap detik pertumbuhan dan pergerakan yang ada di daerahnya. Apalagi tanah yang dijadikan tempat perindustrian adalah tanah yang dahulu dibajak oleh orangtua mereka.
Semangat primordialisme wajar lahir dan menguat di manapun dan kapanpun ketika dirasa ada ketimpangan dalam hal keterlibatan masyarakat di dalam pertumbuhan daerahnya sendiri. Namun keinginan sederhana itu bukan perkara mudah untuk diurai di dalam kenyataannya sebagai sesuatu yang boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Sebuah perusahaan dipastikan memiliki sistem perekrutan yang jelas dan kriteria yang juga jelas.
Sistem dan kriteria yang ditetapkan menjadi tolok ukur bagi setiap tindakan perekrutan yang dilakukan oleh perusahaan. Sehingga, sekalipun orang yang lahir dan besar di daerah tempat sebuah industri dibangun, tidak lantas dapat dijadikan landasan diterima sebagai tenaga kerja.
Posisi yang perlu dipahami adalah kepentingan bahwa sebuah kegiatan industri tidak dibuat untuk mengalami kerugian. Tidak mungkin sebuah industri dengan serta merta mempekerjakan orang yang dinilai tidak atau kurang memiliki kompetensi yang berkaitan langsung dengan pekerjaan yang ada. Kalau memaksakan diri untuk merekrut pekerja, tidak peduli memiliki kompetensi atau tidak, asalkan “pribumi”, perusahaan akan sulit berkembang, bahkan bukan tidak mungkin akan bangkrut, sebagaimana sejarah menasionalkan perusahaan-perusahaan Belanda dengan pekerja pribmu yang dilakukan oleh Soekarno.
Akibatnya, perekomian terkena dampaknya. Masyarakat pun, baik langsung maupun tidak terkena dampaknya. Perindustrian (suka tidak suka) sudah kadung dibangun. Jika industri tersebut mangkrak atau bangkrut, akibatnya tidak hanya pada pelaku utama industri tersebut.
Oleh karena itu, harus juga dipahami bersama, berdirinya kegiatan industri di sebuah wilayah tidak sekadar untuk mempekerjakan masyarakat sekitar—meski memang sudah menjadi kesemestian bagi perusahaan mendahulukan masyarakat yang lahir dan menetap di sekitar kegiatan perindustrian. Karena semua industri berdiri berdasarkan tujuan ekonomi, bukan tujuan sosial murni, sekalipun tujuan ekonomi tetap berkaitan dengan urusan sosial. Tujuan tersebut kemudian mendesak para pegiat industri untuk melakukan perekrutan tenaga kerja dari daerah yang jauh jika di daerah tempat sebuah industri didirikan tidak memenuhi kebutuhan.
Di sinilah keluasan berpikir dan keadilan didalam memahami suatu realitas sangat diperlukan, selain semangat primordialisme yang juga “perlu” dijaga. Setidaknya ada jarak antara emosi berlebih dengan kenyataan. Mungkin perlu dipikir ulang, tuntutan-tuntutan yang dilayangkan selama ini, apakah sudah tepat atau salah tempat? Mungkin perlu dikoreksi kemana semestinya tuntutan-tuntutan masyarakat perlu dilayangkan.
Jika selama ini tuntutan lebih sering berisi penerimaan ketenagakerjaan dan penekanan-penekannya juga hanya kisaran itu, tidakkah tuntutan itu juga perlu ditekankan pada minimnya kompetensi masyarakat di tengah perkembangan dan pertumbuhan industri yang begitu cepat? Peningkatan kompetensi bidang perindustrian tentu saja tidak dapat dilakukan oleh ibu-ibu PKK atau bapak-bapak petani korban gusuran. Dalam hal ini, pemerintah harus lebih serius memikirkan dan mencari jalan keluar.
Pintu utama dari minimnya kompetensi, suka tidak suka akan selalu sejalan dengan kualitas pendidikan. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi harus didorong semaksimal mungkin agar dapat meluluskan orang-orang yang dapat menghadapi perkembangan zaman. Jika kualitas pendidikan tidak sejalan dengan pertumbuhan perindustrian, masyarakat akan tersingkir. Rumus sederhana itu, saya pikir, bukan sesuatu yang sulit untuk dipahami dan diamini.
Masalah kualitas pendidikan inilah yang sering tidak dimasukkan secara serius, padahal inilah yang signifikan berpengaruh terhadap penyerapan ketenagakerjaan di sebuah kota. Sehingga keadaan dari tahun ke tahun belum menunjukkan kabar baik. Masyarakat di mana sebuah industri dibangun terus dihadapkan kepada ketidakpastian nasib anak-anak mereka yang lulus sekolah menengah, anak-anak mereka yang lulusan perguruan tinggi. Sehingga tidak dapat dihindari lagi, tuntutan demi tuntutan jadi teror di meja-meja birokrat dan korporat, termasuk tuntutan perekrutan tenaga kerja pribumi dengan jumlah berlainan di berbagai kota, kisaran 50% hingga 70%.
Logis tidak logis, sesuai tidak sesuai dengan kebutuhan perindustrian, masyarakat hanya perlu tahu bahwa kehadiran industri ada gunanya bagi perekonomian mereka. Mereka hanya perlu memastikan, mereka tidak akan jadi orang-orang yang kelak disingkirkan karena tidak mendapat tempat di dalam pertumbuhan kota mereka sendiri.
Dalam hal ini, demontrasi tidak dapat disalahkan karena dilindungi oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”.
Menyalahkan atau tidak setuju dengan demonstrasi berarti berhadap-hadapan dengan Undang-undang. Akan tetapi, jika dapat dilakukan selain dengan demonstrasi, itu jauh lebih baik, misalkan melalui pertemuan-pertemuan tertutup yang memberikan waktu untuk dialog. Hanya saja pada kenyataannya, dialog kerap gagal dibangun dan masyarakat mengambil jalan terakhir.
Sepenuhnya meniadakan upaya pemerintah juga tidak etis pada persoalan ini, karena pada dasarnya pemerintah berusaha membuka kemungkinan-kemungkinan terbaik agar masyarakat dapat turut berperan aktif di dalam perindustrian. Semisal program-program pelatihan kompetensi yang sering dilakukan pemerintah guna mendorong pemenuhan kebutahan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri.
Akan tetapi mengatakan program tersebut berhasil juga agak merepotkan, karena pada akhirnya akan setiap upaya memiliki indikator keberhasilan yang dapat diukur, diuji, dan dinilai. Kenyataannya, terlepas naik turunnya jumlah pengangguran di berbagai kota di Indonesia, Indonesia tetap dihadapkan pada data jumlah pengangguran yang mengkhawatirkan.
Data tersebut tidak dapat disembunyikan hanya dengan membuat citra baik melalui media massa, atau klaim-klaim kosong di spanduk atau iklan berjalan di trotoar. Rasionalisasi yang sering disampaikan berbagai pihak, baik pihak industri maupun pihak pemerintahan, kepada masyarakat tidak lantas dapat meredam kekecewaan dan kekhawatiran, karena yang dibutuhkan oleh masyarakat bukan pembelaan-pembelaan dengan seribu satu teori atau janji-janji yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sementara dari generasi ke generasi bargaining position (posisi tawar) yang dimiliki semakin lemah, dikarenakan kepemilikan tanah telah beralih tangan dan klausul-klausul dalam sebuah perjanjian jual beli semakin samar dan terus berubah redaksinya dari waktu ke waktu.
Namun terlepas dari persoalan di atas, saya lebih sering berpikir begini: apakah satu-satunya cita-cita anak bangsa Indonesia hanya menjadi tenaga kerja, karyawan, buruh, atau posisi sejenisnya dengan sebutan yang lain-lain itu? Tidak mungkinkah atau tidak tertantangkah untuk keluar dari kotak kecil tempat bersaing mencari penghidupan yang layak selain di wilayah ketenagakerjaan? Apatah lagi di beberapa kota, tipe perindustriannya bukan tipe padat karya yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Sehingga pertumbuhan atau ekspansi perusahaan tidak selalu linier dengan keterbukaan lapangan kerja. Menuntut perekrutan tenaga kerja secara besar-besaran setiap tahun kepada perindustrian yang bukan tipe padat karya, kurang logis.
Tujuan akhir dari tuntutan-tuntan penyerapan tenaga kerja itu adalah kesejahteraan dan untuk sampai pada kesejahteraan tidak harus menjadi tenaga kerja di dalam sebuah industri besar yang didirikan oleh pemerinah atau korporasi raksasa. Keterlibatan masyarakat dalam perindustrian juga tidak melulu dimaknai dengan pemaknaan yang sempit. Keterlibatan masyarakat dapat ditempuh melalui upaya menjalin kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan. Misalkan masyarakat menjadi penyedia bahan-bahan yang dibutuhkan atau menjadi penyalur barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan.
Jika secara perorangan masyarakat tidak mampu karena membutuhkan modal besar, masyarakat dapat membentuk koperasi yang sekiranya sejalan dengan kebutuhan tersebut. Jangan membentuk koperasi dengan tujuan meng-gol-kan proposal atau tender pribadi, itu namanya koperasi abal-abal yang pada akhirnya menjadi lingkaran setan kekalangkabutan perekonomian masyarakat.
Peluang lain juga masih terbuka sangat luas, tidak harus secara langsung bersentuhan dengan industri-industri raksasa. Bisa saja ditempuh melalui mengembangkan industri rumahan. Misalkan di Cibeber, Kota Cilegon, penduduknya merupakan produsen emping kecil-kecilan. Bagaimana caranya agar mereka mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk bersaing di pasar yang lebih luas, misalkan dengan pemberian modal usaha atau dengan membadani mereka dengan badan koperasi sehingga harga jual dan daya tawar mereka lebih kuat.
Jika pun hendak mengatakan bahwa modal usaha untuk usaha kecil sudah diadakan pemerintah, yang belum ada adalah pendidikan mengenai pengemasan dan jalan bagi usaha kecil menengah untuk sampai pada pasar yang lebih luas.
Baca Juga
Persoalan-pesoalan rumit yang telah saya kemukakan, boleh jadi sebetulnya dapat disederhanakan. Karena persoalan yang paling mendasar di antara persoalan-persoalan yang ada dan kerap menambah persoalan baru itu adalah cara kita berpikir.
Tidak ada salahnya berpikir ulang, apakah pro dan kontra terkait ketenagakerjaan itu benar-benar hanya karena jumlah tenaga kerja yang dapat diserap oleh perusahaan-perusahaan terlalu kecil atau karena masyarakat terjebak pikirannya sehingga seakan-seseorang tidak akan dapat hidup layak selain dengan cara menjadi karyawan? Bukankah ikan tidak hanya ada di dalam kolam ikan yang sengaja dibuat manusia? Tidakkah samudera menyimpan begitu banyak ikan, sehingga sulit memastikan jumlahnya? Mengapa memilih berpikir bahwa ikan hanya ada di kolam ikan, sementara ikan di lautan tidak terhitung?
Saya pikir, baik juga semangat primordialisme itu jika diarahkan dan dikelola dengan baik. Ianya menjadi tampak menyeramkan karena banyak kekurangtepatan dalam menentukan dasar berpikir saja. Perindustrian pula didirikan berdasarkan tujuan yang baik, yakni mempercepat pertumbuhan perekonomian.
Perindustrian kerap tampak begitu pongah karena kerap terjadi pelanggaran dalam berbagai aspek yang dilakukan oleh para pegiat industri dan dalam beberapa kasus, temuan-temuan penyalahgunaan kekuasaan pula. Misalkan dalam perizinan pendirian sebuah industri, termasuk Amdal, yang melanggengkan pelanggaran terhadap Undang-undang, yang secara langsung merugikan masyarakat.
Dan kita hari ini, dihadapkan pada dinamika sistem, fasilitas, dan pelaksanaan pendidikan yang belum sungguh-sungguh mampu menjawab persoalan yang nyata di depan mata. Kita dapat mengurainya pelan-pelan. Kita hanya butuh kerelaan untuk berpikir lebih dalam dan luas. (red)
Duzlkifli Jumari atau yang lebih akrab dengan panggilan Kanda Dzul ini lahir di Cilegon, tepatnya di Link. Penauan, Ciwandan, pada 12 September 1995. Dzul mulai aktif di dalam geliat dunia pergerakan kemahasiswaan dan kepemudaaan sejak tercatat sebagai mahasiswa di STIKOM Al-Khairiyah Citangkil, tepatnya ketika ia bergabung sebagai pengurus Badan Eksekutif (BEM) Mahasiswa STIKOM AK periode 2014/2015 dan 2015/2016.