biem.co — Sebetulnya saya tidak ingat persis, bagaimana dan di mana saya mengenal lelaki bernama lengkap Rudi Setiawan. Seperti sesuatu yang tiba-tiba saja, kami saling kenal dan terlibat dalam berbagai kegiatan keaktivisan, terutama dalam wilayah pergerakan aktivis mahasiswa sekitar tahun 2011. Tentu saja kami dapat duduk satu meja, berbicara dari malam hingga subuh, saling mengunjungi satu sama lain, dan menghabiskan bergelas-gelas kopi untuk sesuatu yang kami namai “konsolidasi senyap” karena kami memiliki kesamaan. Pertama, kami sama-sama mahasiswa. Kedua, sama-sama pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa di kampus kami, Rudi di Universitas Muhammadiyah Tangerang, saya di STT Fatahillah Cilegon. Ketiga, kami pada akhirnya sama-sama terlibat dalam riuh redam pergerakan Persatuan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Banten atau yang biasa dibuat lebih singkat dengan sebutan PBB (Persatuan BEM Banten) dan setiap hal yang melingkupinya.
Dalam sebuah pergerakan adalah lazim jika orang senantiasa saling memantau, memerhatikan, dan menilai untuk kemudian mempertimbangkan apakah seseorang atau sekelompok orang dari organisasi tertentu dapat dipercaya sebagai kawan atau sebaliknya. Sebab, konon, dalam sebuah barisan pergerakan selalu ada kemungkinan lahirnya seorang pengkhianat yang dapat menciderai, bahkan merusak barisan. Semisal, aktivis yang diam-diam jadi mata-mata penguasa untuk memastikan apakah suatu barisan berbahaya bagi kekuasaan atau tidak. Rudi, menurut saya ketika itu, termasuk orang yang dapat dipercaya untuk dijadikan sebagai kawan seperjuangan, sehingga pada akhirnya saya bersedia ketika ia meminta saya membantunya mengurus PBB.
Berbeda dari Kebanyakan
Sudahlah menjadi rahasia umum bahwa aktivis-aktivis Tangerang Raya (Kabupaten/Kota Tangerang, dan Tengerang Selatan) ketika itu, lebih tertarik bergiat di Jakarta, ketimbang harus ripuh bergiat di Banten yang cenderung dingin dan sepi. Alasannya sederhana, di Jakarta dinamika pergerakan lebih menantang adrenalin, kemungkinan capaian baik capaian pergerakan secara komunal maupun capaian karir pribadi lebih menjanjikan, dan akses lebih mudah. Tetapi Rudi lain dengan kebanyakan aktivis Tangerang Raya (ketika itu). Ia bergerak ke arah Selatan dan Barat Banten, yakni Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Serang Raya, dan Kota Cilegon untuk membangun sebuah komunikasi lintas kelompok dan lintas kota pergerakan; untuk sesuatu yang ia sebut membangun kesadaran tentang harapan baik yang harus didahului dengan mengetepikan ego komunal dan primordialisme berlebihan.
Sebagian orang ketika itu mungkin berpikir bahwa Rudi melakukannya karena ia memegang amanah jabatan tertinggi di PBB. Sehingga mau tidak mau, ia harus benar-benar mendatangi wilayah-wilayah yang ada di Banten, menemui aktivis-aktivis mahasiswa. Tetapi saya tidak melihat hal itu dijadikan motif utama olehnya. Sebagai pribadi yang matang, ia menatap Banten sebagai sebuah provinsi yang harus diurus dengan baik oleh semua pihak, tentu saja di dalamnya ada dirinya sebagai pribadi, sebagai mahasiswa, sebagai aktivis, dan sebagai Sekretaris Jenderal PBB, terlepas apakah Banten ketika itu dipandang sebagai daerah yang salah urus atau belum benar-benar diurus.
Keyaninan saya itu berdasar pada pernyataan yang pernah ia sampaikan kepada saya suatu ketika dahulu. Ia mengatakan bahwa mengurus Banten harus lahir dari semangat pengabdian, bukan pengakuan. Ia tidak peduli betapa besarnya suara-suara megah pergerakan mahasiswa di tingkat Nasional. Ia yang sebetulnya memiliki jangkauan yang luas untuk pergerakan Nasional, lebih memilih mengabdi untuk Banten. Tidak peduli jika pada akhirnya ia menjadi aktivis yang tidak mendapatkan pengakuan secara luas sebagaimana yang kerap diidam-idamkan oleh aktivis-aktivis yang salah bergerak sejak dalam pikiran. Maksudnya, aktivis-aktivis yang silau pada pengakuan.
Artikulator yang Masif
Dalam suatu forum, saya pernah mengatakan bahwa setelah Rudi, saya tidak yakin pemimpin PBB selanjutnya dapat menjalankan PBB dengan baik. Sebuah pernyataan yang tentunya terkesan pesimistis dan tidak menarik. Saya juga melihat wajah-wajah junior saya yang jengkel ketika itu. Tetapi maksud saya bukan untuk membuat orang lain pesimis atau meremehkan generasi setelahnya.

Untuk menghindari kesalahpahaman, pada obrolan selanjutnya saya menjelaskan bahwa menjadi pengurus apatah lagi Sekretaris Jenderal PBB bukan saja soal menempati jabatan Sekretaris Jenderal, melainkan kemampuan melihat sumber anggaran, kerelaan kehilangan banyak uang simpanan, dan waktu serta tenaga yang ekstra. Karena itu yang dilakukan oleh Rudi sehingga kehadiran PBB seara khusus atau aktivis mahasiswa pada umumnya benar-benar dapat dirasakan di Banten. Itu pula yang harus dilakuan oleh generasi setelahnya. Sebab PBB tidak memiliki sumber anggaran yang jelas, sementara wilayah yang harus dijangkau sangat luas.
Sebagai contoh, Rudi rutin melakukan kegiatan blusukan dari kota ke kota, dari kampus ke kampus, dari sekretariat BEM yang ada di Tangerang hingga sekretariat BEM yang ada di Cilegon. Ia selalu memiliki agenda untuk datang, berbicara, mengetahui masalah keaktivisan dalam lingkup kampus maupun keaktivisan dalam lingkup kota, untuk ia rekam dan mencarikan jalan keluar baik yang bersifat khusus untuk satu persoalan di satu tempat, maupun secara umum dari masalah umum di wilayah Banten pada umumnya.
Perjalanan dari kota ke kota, dari kampus ke kampus, dari sekretariat ke sekretariat dengan jarak tempuh yang berjauhan adalah rutinitas yang tidak saja melelahkan, melainkan juga membutuhkan keberanian untuk memastikan daya yang dimiliki dan tentu keberadaan anggaran. Bagaimana pun ketika itu ia adalah mahasiswa, bukan pengusaha. Meski ia kerap menggunakan uangnya sendiri, itu jauh dari cukup. Oleh karenanya tidak jarang pula ia harus berbicara dengan kawan-kawannya di dalam kepengurusan BEM Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) agar bersedia mendukung penuh program-program PBB, dengan kata lain, Rudi mendorong BEM UMT untuk memperbesar anggaran luar kampus.
Saya pernah mendengar selentingan orang yang mengatakan bahwa Rudi terlalu berlebihan karena memperbesar penganggaran untuk urusan luar kampus dan oleh sebagian orang itu dianggap tidak etis. Tetapi, saya pikir, pandangan tersebut adalah pandangan yang tergesa-gesa. Karena apa yang dilakukan Rudi bukan sesuatu yang manipulatif. Lagi pula ada yang dapat dipelajari darinya terkait hal tersebut. Ia berhasil meyakinkan kawan-kawannya bahwa UMT harus menjadi bagian dari pergerakan keaktivisan di Banten. Tidak menjadi kelompok aktivis yang rigit dalam memandang suatu kepentingan. Kemampuan meyakinkan ini, tidak dimiliki semua orang. Begitu juga kesadaran di dalam suatu kepengurusan BEM di suatu kampus untuk memperluas jangkauan kebermanfaatan, tidak di semua kepengurusan dapat dibangun, dan Rudi mampu membangun kesadaran tersebut.
Di antara kegaduhan sistem pemerintahan dan riuhnya pergerakan aktivis mahasiswa yang memiliki kecenderungan berlebih untuk “turun jalan”, Rudi memilih mengarahkan para aktivis terhadap proses berpikir setiap kali ia blusukan. Karena baginya, sebagaimana yang pernah ia ungkapkan kepada saya, para aktivis akan mampu memetakan sesuatu dengan baik jika kemampuan berpikir konseptual sudah cukup matang. Meski begitu, ia bukan aktivis yang anti “turun jalan”, sebab ia juga seorang demonstran yang cukup sangar, tapi ia menghendaki sesuatu yang benar-benar matang, bukan pergerakan yang lahir dari ketergesa-gesaan atau dari api kesalahpahaman karena terlalu asyik di jalanan tapi lupa ngopi dan ngobrol.
Jika boleh dibuat gambaran umumnya, Rudi ketika itu adalah artikulator yang baik untuk menyampaikan nilai-nilai perjuangan yang diemban aktivis mahasiswa dan contoh yang cukup ideal dalam menyikapi realitas dan cita-cita bersama di antara sekian banyak serpihan kecurigaan antaraktivis, bongkahan amarah dan kebencian antarorganisasi yang telah diwariskan turun temurun, dan membatunya semangat primordialisme yang tidak ditempatkan di tempat yang semestinya. Ia adalah orang yang terus memperjalankan dirinya dengan sangat masif untuk mengartikulasikan tentang apa yang semestinya diperjuangan dan apa yang semestinya diketepikan di jalan pergerakan para aktivis.
Pemikiran-pemikirannya yang Spesial
Saya tidak tahu di mana dan dengan siapa ia berproses, sehingga ia sampai pada tahap kesadaran yang baik dalam dunia keaktivisan, dunia pergerakan. Sebab saya mengenalinya sudah sedemikian adanya. Saya pun tidak pernah menanyakan hal itu, sejak dulu hingga kini, karena saya tidak merasa perlu mengetahui proses kehidupannya sebelum kami saling kenal. Yang pasti saya meyakini ia telah melalui proses yang panjang, kritis, dan tertib, sehingga dapat membentuk diri sebagai pribadi yang “spesial” dengan pemikiran-pemikiran yang juga spesial.

Keberanian saya mengatakan Rudi adalah pribadi yang memiliki pemikiran yang “spesial” bukan lantaran hendak meninggi-ninggikannya, lagi pula tidak ada alasan untuk melakukan itu. Tetapi memang ia memilikinya, sesuatu yang jarang dimiliki oleh orang lain. Di antaranya adalah pemikirannya tentang keseimbangan antara mengurusi isu-isu vertikal (pemerintahan dan sebagainya) dengan urusan-urusan horizontal (sosial kemasyarakatan). Ia menolak jika seorang aktivis sibuk mendemo pemerintah tapi tidak sibuk mengurusi kebutuhan masyarakat.
Bagi Rudi, seorang aktivis harus adik memosisikan dirinya ketika dihadapkan pada suatu persoalan. Misalkan ketika menghadapi tingginya buta aksara di Banten pada tahun 2011-an yang dituntut oleh PBB, selain mengupayakan agar pemerintah segera mengambil kebijakan yang tepat, harus juga berusaha turun ke kampung-kampung, mengajarkan cara membaca atau bahkan mendirikan rumah baca. Agar, katanya, semua fungsi dapat diperankan dengan baik dan adil.
Pemikiran spesial lainnya, Rudi kerap menyerukan kepada para aktivis mahasiswa untuk membangun usaha atau berdagang apa saja sambil menjalani rutinitas kuliah. Memang akan sangat merepotan dan membutuhkan manajemen waktu yang sangat baik, tapi Rudi menilai itu harus dilakukan. Karena, menurutnya, seorang aktivis harus berusaha membiayai jalan perjuangannya sendiri. Minimal makan tidak minta kepada siapa-siapa.
Ia menentang keras jika ada aktivis yang mengatakan bahwa seorang aktivis pada akhirnya harus menyerah pada realitas: idealis yang realistis dalam pengertian sempit. Karena, bagi Rudi, idealis realistis adalah menyikapi keadaan dengan sebaik mungkin dan berusaha untuk tidak menjadi pribadi yang terjual atau menjual diri. Membuka usaha atau dagang kecil-kecilan itulah yang Rudi sarankan dan ia jalankan juga bersama kawan-kawannya.
Ada satu kritik yang sesekali ia sampaikan sambil nyengir dan sesekali tawa yang agak menggelegar, seakan-akan ia sedang bercanda, padahal ia sedang menegaskan sesuatu sebagai pegangan: “Ada senior yang mengumpulkan junior-juniornya untuk dijadikan bahan dagangan, untuk mendapatkan keuntungan. Ada senior yang mati-matian cari uang dengan cara berdagang atau bekerja di suatu perusahaan untuk membantu jalan perjuangan junior-juniornya. Biasanya kategori yang pertama ini lebih memukau ketika sedang berbicara, karena hanya kata-kata yang dia punya. Orang-orang yang berpikir tentu tahu mana kucing mana musang.”
Redaksi pernyataannya tersebut saya tulis tidak sama persis, karena saya tidak sepenuhnya ingat, tapi intinya sama. Pernyataan tersebut biasanya muncul di permukaan jika ada tanda-tanda pergerakan “oknum” tertentu yang “main-main” di dalam barisan atau di luar barisan.
Rudi Kini
Hingga kini ia masih berusaha hadir di tengah dinamika keaktivisan di Banten, meski kini cakupannya lebih terfokus kepada Tangerang Raya. Begitulah waktu mengantarkan jejak seorang manusia. Posisi dan fungsi sudah jauh berubah, meski selalu saja ada kemungkinan sesuatu yang tidak berubah. Begitu pula yang ada pada Rudi, napas pergerakannya masih ada dan tetap kuat.
Di Tangerang ia memiliki satu tempat khusus. Karena saya bukan pengingat jalanan yang baik, saya lupa di mana meski sudah dua kali mengunjunginya. Saya hanya ingat untuk sampai ke tempat tersebut masuk ke daerah pedalaman, jauh dari pusat kota. Semacam tempat persembunyian para grilyawan. Di sana ia berkumpul bersama kawan-kawan seperjuangan dan junior-juniornya. Mengajak mereka membuat barang-barang olahan tangan untuk dijual, meski ia secara pribadi sudah memiliki pekerjaan tetap. Tentu saja dalam rangka menjaga napas perjuangan dan memastikan bahwa kaderisasi terus berjalan sehat.
Hari jauh di depan, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, begitu juga dengan Rudi. Perubahan pada diri manusia adalah niscaya, namun ke arah mana perubahan itu, tidak ada yang dapat memastikan. Sebagai sahabat dan sebagai orang yang pernah berjalan bersamanya di jalan pergerakan, saya ingin ia tetap menjaga “napasnya”, di posisi dan peran apapun.
Muhammad Rois Rinaldi, Penulis.