KolomRois Rinaldi

Muhammad Rois Rinaldi: Orang-orang Melek Politik yang Kagetan

Tiba-tiba negeriku jadi aneh.
Pemabuk dipertemukan dengan ahli kitab
di lorong-lorong.

Tiba-tiba negeriku penuh teror.
Pengeras suara bicara setiap waktu. Di kepala
siapa saja ada api.

Tiba-tiba negeriku bising sekali.
Semua orang bicara dengan lengkingan
dan diam di dalam lengkingan.

Tiba-tiba negeriku jadi lugu.
Tidak ada yang tahu mengapa
orang-orang buta berdebat  tentang penglihatan.

(Setelah Pemilihan Umum, dalam buku ‘Nada-nada Minor’, Muhammad Rois Rinaldi)

biem.co — Polemik dan perpolitikan di Indonesia, kini, seakan-akan merupa satu wajah yang bersisian. Keduanya membentuk wajah utuh. Begitu kira-kira yang “seakan-akan” itu. Namun, apakah kemudian hal tersebut perlu disepakati sebagai realitas atau perlu ditolak agar dapat menemukan realitas lain di luar realitas yang kini “seakan-akan” satu-satunya itu? Sementara tidak sedikit (untuk tidak mengatakan begitu banyak) manusia Indonesia yang mudah panik, lekas marah, gandrung mengklaim sebagai yang paling Indonesia, dan gagal memahami bagaimana manusia yang hidup di negara (belajar) demokratis ini mesti bersikap. Suatu keadaan yang cukup sempurna bagi kelompok “berkepentingan” untuk mendapat atau melanggengkan “kekuasaan” dengan hanya memanfaatkan sisi emosional rakyat.

Sebetulnya polemik di kalangan awam bukanlah sesuatu yang sungguh-sungguh perlu dikhawatirkan. Di dalam proses pendewasaan, lazim jika orang-orang awam politik terjebak di dalam polemik perpolitikan. Membicarakan keawaman sampai berbusa-busa, tentu bukan jalan yang akan membuat orang awam berubah dalam seketika. Butuh proses dan polemik dalam kadar tertentu juga bagian dari proses. Jika pun harus mengetengahkan persoalan polemik di dalam perpolitikan, yang perlu dipersoalkan bukanlah orang-orang awam “politik” yang begitu serius menyikapi permainan wacana yang dibangun oleh orang-orang politik, melainkan orang-orang “melek politik” yang kagetan.

Adalah sangat dapat dimaklumi (bukan dibiarkan) bahwa orang-orang awam tidak mengerti bagaimana mesin politik bekerja termasuk cara-cara yang ditempuh untuk memobilisasi massa; bagaimana meramu bahasa dalam membangun komunikasi politik sehingga tercipta wacana yang sesuai dengan kepentingan, termasuk partai-partai yang kerap mencari perhatian yang menyasar pada persoalan sangat sensitif yang pada dasarnya tidak sama sekali relevan dengan visi-misi partai; dan bagaimana suatu konflik dikelola untuk memastikan bahwa momen “menguntungkan” tidak lekas hilang. Mestinya ini menjadi lain hal bagi orang-orang yang “melek politik”.

Sayangnya, kesemestian tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Di lapangan, alih-alih turut merasa bertanggung jawab terhadap keadaan perpolitikan Indonesia yang jauh dari kategori sehat, tidak sedikit orang yang, pada tahap tertentu, tergolong “melek politik” terjebak di dalam pusaran yang sama dengan orang-orang awam politik. Misalkan, tidak sedikit yang melontarkan wacana baik lisan maupun tertulis, berupa catatan panjang klaim-klaim kebenaran atau kesalahan perkubuan sambil menahan mual di lambung. Seakan-akan dengan demikian, polemik yang dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas berpikir manusia Indonesia dapat terurai, padahal ada kemungkinan lain: menjadi biang kerok yang memperumit keadaan.

Memang “netral” bukan berarti tidak berpihak. Netral dapat bermakna keberpihakan. Keberpihakan orang-orang yang netral tidak terletak kepada “kepentingan” kelompok, melainkan pada apa yang menjadi dasar suatu keadaan atau suatu sistem. Dasar-dasar yang dimaksud, dalam konteks perpolitikan dan Pemilu, adalah Undang-undang dan prinsip-prinsipnya. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan lahir pemikiran-pemikiran yang “terkesan” memojokkan salah satu kubu. Hanya saja perlu ditempuh suatu jalan yang dapat meminimalisir keterjebakan orang-orang awam dalam prasangka-prasangka dangkal yang pada akhirnya bukan menjadi mengerti, melainkan menjadi semakin kebal dari pengetahuan. Ini jauh lebih bahaya dari sekadar menghadapi orang awam yang belum terjajaki oleh praktik “mobilisasi massa”.

Bayangkan saja jika semua orang mengatakan bahwa keadaan A adalah salah dan keadaan A disebabkan oleh X dan Y.  Mestinya X dan Y melakukan K agar keadaan menjadi B, sementara X dan Y adalah dua kelompok besar yang memerlukan keadaan A untuk kepentingannya masing-masing. Pada keadan tersebut, Z adalah korban dari keadaan A yang diciptakan oleh tindakan-tindakan X dan Y. Apakah akan berguna berseru di depan X dan Y atau orang-orang yang sudah membai’at dirinya sebagai bagian “garis keras/pengikut setia/pengikut buta” dari X dan Y bahwa setiap apa yang dilakukan X dan Y harus mengikuti jalan yang benar, menegakkan kejujuran, dan mengutamakan keselamatan bersama? Apakah kepentingan X dan Y akan serta merta mau dikorbankan untuk sampai pada keadaan B? Apakah pengetahuan-pengetahuan tentang bagaimana menciptakan keadaan B penting bagi X dan Y serta para pengikut kepentingannya, sementara kepentingan betul-betul tidak menginginkan keadaan B terjadi?

Sekali lagi diingatkan, keadaan A yang menjadikan Z sebagai korban adalah keadaan yang mau tidak mau harus diciptakan oleh X dan Y, dalam keadaan yang sedemikian, apakah Z kemudian dapat memastikan mana yang benar dengan hanya menunjukkan kelebihan dan kekurangan X dan Y? Bukankah X dan Y berkemungkinan besar melakukan kesalahan yang sama fatal? Apakah argumentasi bahwa memilih yang lebih sedikit keburukannya adalah argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, sementara pendekatan yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu sendiri tidak jelas? Tidakkah keadaan yang lahir adalah sebaliknya, ia akan membuat Z memasuki keadaan yang lebih buruk: memilih lalu menjadi pendukung buta X atau Y? Jika sudah demikian, apakah para pendukung buta adalah wajah dari demokrasi yang sehat yang sesuai dengan akal sehat, sementara kemungkinan berpikir secara terbuka dan adil sudah ditutup?

Sebentar, mungkin pertanyaannya perlu ditingkatkan, apa sebetulnya tolok ukur akal sehat dalam konteks demokrasi? Bagaimana menyikapi X, Y, dan Z dalam kacamata akal sehat demokrasi? Ukuran masing-masing dari asumsi masing-masing? Bagaimana menentukan sehat dan tidak sehat, sementara alat diagnosanya jauh dari sumber hukum? Sumber hukum, Undang-undang, pada beberapa kasus, diseret-seret berdasarkan kepentingan saja. Dengan kata lain, Undang didatangkan untuk melanggengkan kepentingan, sehingga selalu saja ada praktik penghilangan satu bagian dan melebih-lebihkan bagian yang lain. Jika sudah demikian, tidakkah orang-orang awam menjadi lebih mumet?

Memang tidak ada salahnya mengetengahkan yang demikian, karena khazanah pemikiran manusia Indonesia memerlukannya, tapi perlu dikoreksi jika yang demikian saja yang diketengahkan, karena yang pada akhirnya lahir hanya “penokohan”. Seakan-akan ihwal demokrasi Indonesia adalah ihwal “penokohan” dalam parade dukung mendukung yang mau tidak mau mengerucut pada konflik horizontal baik verbal maupun non-verbal; baik berlandaskan pengetahuan maupun berlandaskan ketidaktahuan. Akibat turunannya, orang-orang Indonesia pada umumnya hanya akan sampai pada tahap “mobilisasi massa”, sulit untuk sampai pada “partisipasi massa”. Mobilisasi massa tidak perlu dirasionalisasi melalui perspektif akal sehat, sementara partipisasi massa membutuhkan rasionalitas. Jika yang langgeng adalah “mobilisasi massa”, jelas harapan menjadikan anak Bangsa Indonesia dapat dididik menjadi melek politik dan memahami serta menerapkan demokrasi, ibarat menjauhkan panggang dari apinya.

Kepanikan melihat dinamika sosial politik kita memang tidak layak ditertawakan, karena setiap manusia (yang berpikir) layak merasa terganggu dan mungkin layak panik. Sebab semestinya masyarakat Indonesia sudah tercerdasakan oleh rentetan Pemilu yang telah dilakukan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia sejak 2004. Akan tetapi berupaya mencerahkan dengan menghadirkan “sesuatu” yang sesungguhnya menjadi sumber “kegelapan Nasional” adalah pikiran yang perlu dipikirkan ulang. Persoalannya, kini, bukan lagi bagaimana mengurai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh partai politik beserta mesin-masinnya, yang membuat masyarakat gampang dibuat termehek-mehek oleh manuver mesin politik, yang membuat perpolitikan Indonesia seperti infotaimen yang penuh gimik.

Masyarakat Indonesia yang gandrung termehek-mehek begitu, dikarenakan tidak dapat mengatur jarak antara dirinya dengan kepentingan politik, sehingga cenderung sentimentil, bahkan untuk hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Jika masyarakat yang termehek-mehek ini disuguhi dengan “kebaikan dan keburukan” masing-masing kubu (politik), akan memperparah keadaan. Bukankah sudah jadi rahasia umum bahwa sulit sekali menasehati orang yang kasmaran? Begitu juga sulitnya menasehati orang yang termehek-mehek dalam urusan politik, terlebih jika konten nasehatnya menambah beban emosi. Oleh sebab itu, orang-orang melek politik jangan pula kagetan. Hal utama yang harus diutarakan bukan siapa paling banyak melakukan kesalahan, sambil membela X yang diserang Y atau sebaliknya, melainkan bagaimana sebetulnya tindak tanduk perpolitikan dan bagaimana rakyat mesti menyikapinya.

Misalkan X dan Y melakukan manuver yang salah menurut dasar-dasar hukum yang ada. X dan Y sama-sama melakukannya. Mengapa X dan Y dikatakan melakukan kesalahan? Apa dasarnya? Tentu bukan perasaan atau obrolan keberpihakan. Jika X dan Y mengerti bahwa apa yang dilakukan adalah salah, maka X dan Y melakukannya karena sesuatu yang disengaja. Jika X dan Y melakukan kesalahan dengan sengaja, maka ada sesuatu yang dituju. Jika ada sesuatu yang dituju tapi sesuatu itu ditempuh dengan cara salah yang merugikan Z, maka sesuatu yang dituju oleh X dan Y bukan tujuan yang dituju oleh Z. Jika sesuatu yang dituju oleh X dan Y bukan sesuatu yang dituju oleh Z, maka Z tidak sama sekali layak termehek-mehek, sebaliknya harus waspada dan melihat dari jarak yang proporsional, bukan malah mendekatkan jarak dan menjadi sangat emosional. Sebab, tidak sama sekali rasional jika Z termehek-mehek karena sesuatu yang sesungguhnya merugikan Z.

Dalam contoh kasus di atas, Z perlu diberitahu bahwa ada skema sederhana yang dapat disikapi dengan sederhana, yakni dengan tidak menumpukan pembelaan kepada kelompok baik X atau Y, melainkan kepada perangkat yang digunakan sebagai tolok ukur untuk menghukumi tindakan X dan Y adalah salah. Dalam hal Pemilu, tentu saja Undang-undang dan perangkat yang mengikat serta mengatur lainnya, termasuk prinsip-prinsip Pemilu. Ini tidak saja agar rakyat lebih rileks dan kepentingan rakyat benar-benar dimenangkan di tengah “sikap anomali” loyalitas para politikus kepada partai, melainkan agar kelak jika salah satu dari kekuatan politik itu memenangkan kontestasi, tidak lahir lagi orang-orang awam yang marah jika kelompok politik yang menang dikritik, persis seperti anak-anak melenial salah minum obat.

Rakyat dalam Pemilu adalah penilai yang akan menentukan siapa yang layak dan tidak layak menjadi wakil dari kepentingan rakyat. Indikator penilaiannya jelas, Undang-undang dan perangkat yang mengikat serta mengatur lainnya sebagaimana sudah dikatakan di muka. Dengan kata lain, setiap tindakan melawan Undang-undang dan prinsip-prinsip Pemilu adalah tindakan yang mengurangi penilaian. Jika sama-sama penilai saling menggugat hasil penilaiannya, orang-orang yang sedang dinilai akan merasa tidak perlu melakukan hal-hal terbaik dan ringan saja melakukan tindakan yang melawan Undang-undang serta prinsip Pemilu. Karena jelas, yang perlu dilakukan adalah membuat para penilai terus bertengkar agar memberikan simpati berlebih kepada mereka tanpa perlu melihat apa yang sesungguhnya harus dilihat.

Inilah sebab yang mengakibatkan titik fokus orang-orang yang dinilai bukan indikator penilaian, melainkan “perasaan” para penilai yang terlepas dari indikator penilaian. Menjadi sangat sibuk membuat pencitraan, gimik ke-Nasionalisme-an, atau gimik ketaatan beragama.  Soal-soal citra lebih banyak dibicarakan ketimbang soal-soal yang mendasar, semisal jejak rekam, visi dan misi. Jika pun jejak rekam, visi, dan misi dibicarakan, dikemas dalam forum yang berisi orang-orang partai. Tentu lazim diketahui bahwa orang-orang partai dalam mengutarakan fakta dilatarbelakangi oleh kepentingan (politik), sehingga jika rakyat terlalu melibatkan perasaan yang emosional, akan terjerumus dalam persoalan siapa yang dipilih, sementara tentang mengapa harus memilih dan apa yang menjadi landasan bagi seseorang ketika menentukan pilihan dibuat samar sampai hilang dari ingatan.

Orang-orang melek politik perlu mengetengahkan ini. Memang tidak mudah, karena media massa pula seakan menuai “panen raya” setiap menghadapi kontestasi perpolitikan—yang terus mengetengahkan konflik dan isu politik. Namun tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Menjadi tidak mungkin jika orang-orang melek politik terarus ke pusaran orang-orang awam hanya karena hal sepele: kaget. Kaget memang persoalan sepele, hanya saja efek dari kaget tidak sama sekali sepele. Orang yang kaget dimungkinkan kehilangan kesadaran selama persekian waktu. Ketika seseorang kehilangan kesadaran, segala sesuatu yang dilakukan sangat dekat dengan kesalahan, secerdas apapun orang tersebut. (red)


Muhammad Rois Rinaldi, Wk. Sekretaris Sos-Bud Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Cilegon (2009-2011), Pendiri Ikatan Keluarga Besar BEM Cilegon (2012), Persatuan BEM se-Banten (2011-2012), Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Cilegon (2012-2015), dan Koordinator Indonesia Gabungan Komunitas Sastra ASEAN, Gaksa (2015-sekarang).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button