biem.co — Bangsa ini terlalu bangga dengan sistem politik demokrasi yang selalu dianggap lebih baik daripada sistem politik yang lain. Nampaknya kita juga sudah dimabuk cinta yang sangat kepayang dengan kehadiran demokrasi yang dianggap sebagai katarsis dari berbagai permasalahan yang dialami oleh masyarakat.
Tanpa dipungkiri, demokrasi memang selalu membawa nama rakyat dalam praktik politiknya, sehingga hal ini yang menyebabkan demokrasi terlihat lebih baik daripada komunis, lebih baik daripada otoriter, lebih baik daripada liberal, dan lebih baik daripada sistem politik khilafah. Tentunya beberapa negara yang menerapkan demokrasi, akan terus berlomba untuk mensejahterakan masyarakatnya dengan sebaik mungkin, dan alangkah lebih baik lagi jika di dalam sistem politik demokrasi yang diterapkan oleh beberapa negara, tidak menciptakan oligarki politik yang menjijikan itu. Sehingga demokrasi tidak selalu dianggap sebagai sistem politik yang utopis.
Tetapi kita jangan terlalu memberikan cinta yang benar-benar tulus dulu kepada demokrasi yang ada di negeri ini. Karena ketika era reformasi telah berjalan selama puluhan tahun, demokrasi tidak pernah menjadi momok yang menakutkan, tetapi hanya menjadi guyonan bagi beberapa kepala daerah yang pada akhirnya tidak menciptakan demokrasi yang baik, tetapi mereka hanya menciptakan oligarki yang menjijikan dan menganggap demokrasi sangat mudah dikalahkan oleh intrik politik yang bermuara kepada tindakan korupsi.
Misalnya saja kemarin, masyarakat kembali dihebohkan dengan korupsi berjamaah yang terjadi di Cianjur. Hal ini merupakan contoh bahwa demokrasi di Indonesia ternyata sama juga buruknya dengan komunis, liberal, totaliter, dan sebagainya. Oleh karena itu, jangan heran jika masyarakat di negeri kita tidak pernah merasakan kesejahteraan yang baik. Karena memang masyarakat tidak pernah mendapatkan nutrisi yang berguna dari demokrasi. Sehingga membanggakan demokrasi pada saat ini, seperti membanggakan lukisan yang dibuat diatas air, tentu tidak ada gunanya.
Jangan Terlalu Percaya Diri
Jika korupsi masih merajalela, jika kebebasan berpendapat masih seringkali dibungkam, maka jangan pernah sesekali untuk membanggakan demokrasi sebagai tuhan yang selalu benar. Terlebih lagi saat ini, demokrasi seringkali dimaknai sebagai sistem politik yang harus pro terhadap rezim, dan jika tidak pro terhadap rezim maka hal itu bukan demokrasi. Padahal ketika masyarakat tidak pro terhadap rezim, maka hal tersebut adalah hal yang wajar. Bukan berarti karena rezimnya sering dikritik, maka hal itu merupakan faktor yang dapat merusak demokrasi.
Walaupun demokrasi mengalami berbagai masalah, tetapi menurut Bada Pusat Statistik (BPS), secara umum Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 72,11, dibandingkan dengan IDI di tahun 2016 yang hanya sebesar 70,09. Tetapi yang mengenaskan dalam data tersebut ialah, hak-hak politik yang turun 3,48 poin (dari 70,11 menjadi 66,63), sehingga sangat tidak lengkap jika secara umum IDI mengalami peningkatan, tetapi hak-hak politik mengalami penurunan.
Oleh karena itu, jangan terlalu percaya diri untuk mengaku dan selalu mendeklarasikan bahwa demokrasi di Indonesia lebih baik daripada demokrasi di negara lain. Percuma saja, jika negara ini mengaku demokrasi tetapi masyarakat masih belum mengalami keadilan yang sesungguhnya. Karena memang membangun demokrasi bukan hanya melakukan retorika dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi membangun demokrasi harus diawali dengan akal sehat yang tidak diatur oleh arogansi politik. Jadi sebenarnya, untuk menjadi demokrasi yang sesungguhnya, tidak perlu disampaikan melalui data, karena masyarakat tidak butuh data.
Masyarakat hanya membutuhkan keadilan yang merata, dan menginginkan para pemimpin agar tidak menciptakan oligarki yang justru terus menerus menjadi parasit yang selalu menggerogoti demokrasi.
Sudah Seharusnya Berkontemplasi
Memang demokrasi pada saat ini seolah menjadi santapan empuk untuk “lempar batu sembunyi tangan” bagi para elit politik. Sehingga bukannya menyelesaikan demokrasi dengan sebaik mungkin, justru yang lebih bodoh lagi para elit politik tersebut saling menyalahkan satu sama lain. Jadi seolah-olah fungsi dari elit politik yang duduk di kursi legislatif, yudikatif, maupun eksekutif seperti tidak menunjukan kinerja yang jelas, karena mereka tidak pernah memberikan panutan untuk saling bahu-membahu dalam membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi, tetapi justru mereka hanya menciptakan sensasi di media massa yang justru membuat masyarakat menjadi terpecah belah.
Hal ini dibuat semakin pelik, ketika masyarakat dihebohkan dengan aksi dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kemarin sempat membuat pemerintah kalang kabut karena ulahnya membunuh puluhan pekerja dari PT. Istaka Karya. Memang sangat benar hal ini merupakan kesalahan dari OPM sendiri yang tidak mengutamakan humanisme yang tidak sama sekali tertanam di dalam dirinya. Alih-alih menanamkan nilai-nilai Pancasila ke dalam dirinya, tetapi justru yang mereka ciptakan adalah tindakan membabi buta yang sangat tidak mencerminkan manusia yang beradab. Sehingga menurut mereka mempelajari demokrasi dan nilai-nilai pancasila, seperti tidak ada gunanya sama sekali. Dan pada akhirnya pun pemikiran mereka hanya berkutat mengenai kekerasan saja.
Alangkah baiknya jangan hanya menyalahkan OPM saja, karena bisa jadi organisasi tersebut menginginkan keadilan yang yang selama ini mereka nantikan, tetapi justru keadilan itu tidak pernah dirasakan dengan baik. Sehingga cara mereka protes kepada pemerintah melalui kekerasan yang sangat membabi buta itu. Dengan beberapa permasalahan yang ada, lalu apakah negara ini akan tetap dikatakan demokrasi, jika korupsi masih merajalela? Apakah negara ini tetap dinamakan demokrasi, walaupun keadilan masih belum diraskan oleh semua masyarakat? Tidak perlu menjadi bohong untuk mengaku negara ini sebagai demokrasi.
Oleh karena itu, menjadi negara demokrasi, bukan sebuah kebanggaan yang spesial, di dalam demokrasi memang pemerintah harus rajin untuk berkontemplasi agar dapat menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan justru memberikan kebanggaan terhadap data dan retorika yang palsu itu. (red)
Ilham Akbar, adalah Mahasiswa Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public Relations, Semester 6.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.