biem.co – Saya bukan siapa-siapa. Hanya seorang mahasiswa tingkat akhir yang menyewa sebuah rumah ukuran tiga kali lima yang terletak di sebelah rel kereta. Mereka yang tinggal di sini biasanya adalah penduduk asli kota yang seiring dengan menjamurnya pengembang berdatangan selama satu dasawarsa belakangan, mereka mesti merelakan sepetak tanah peninggalan orang tuanya demi menyambung hidup yang selalu menemui minus pada buku catatan keuangan keluarga tiap bulannya.
Pemilik rumah yang saya sewa, sudah sembilan bulan menumpang di rumah menantunya lantaran usia yang kian renta tak lagi membuatnya sanggup melunasi tagihan listrik dan air. Persaingan menjadi kuli di perkotaan kini begitu ketat. Mereka yang ikut bersaing dalam urusan bertahan hidup semakin segar, muda dan terpelajar. Dari mulai urusan ngelas, mengangkut, mengantar, sampai mengerjakan bangunan saat ini dibabat habis oleh orang-orang yang sekadar menginginkan uang jajan tambahan.
Itulah alasan mengapa saya tak terlalu termakan gengsi untuk segera menyelesaikan studi yang telah memasuki semester ke empat belas ini. Apa pula balapan nilai tinggi-tinggi, konyol sekali. Toh kalau hanya urusan kemapanan ekonomi, nanti malam jika ingin, saya bisa saja menginap di hotel manapun yang saya mau. Saya berani jamin, saldo di rekening saya lebih tinggi dari kawan-kawan seangkatan yang akhir bulan ini menanti slip gaji. Urusan menginap di hotel, saya tidak perlu memberi tahu maksudnya apa, karena akan sulit dipahami. Hanya mahasiswa semester empat belas yang paham.
Mereka yang berpikir dapat mengunci kepercayaan diri saya dengan ceramah mengenai masa depan, sudah kalah langkah sejak langkah pertama, padahal cara saya mengais rupiah hingga saat ini belum serius sepenuhnya. Belum sampai menghitung beda dua ribu perak. Saya masih alpa pada capaian target dan keteraturan jam kerja. Mungkin kalau kelak saya sudah kehilangan keisengan sehari-hari, pada percakapan mengenai jaminan masa depan saya akan tanya, berapa tabungan mesti disisihkan jika ingin beli rumah dan mobil dibayar kontan.
Tapi saya tidak ingin melanjutkan kesombongan dalam paragraf ini. Konon dalam pergaulan borjuis, mereka yang terlalu congkak adalah yang paling lemah. Sedang kelemahan itu sudah saya kubur pada salah satu ruangan di dalam rumah ukuran tiga kali lima ini. Ruangan itu dua kali sehari saya singgahi untuk buang hajat. Ke luar dari situ, pesona saya tampak begitu kuat dengan flannel yang kainnya lusuh serta janggut tak terurus.
Memang saya tak tampak menarik perhatian lawan jenis bila sedang menghadiri pesta atau sekadar menyaksikan konser musik di acara tahunan mahasiswa. Tapi percintaan bagi saya hanyalah urusan remeh, tinggal merogoh sisa receh di kantong sebelum menggantung celana. Bukankah cinta adalah penyebab utama bagi mahasiswa seperti saya untuk jadi serba kompromis? Waktu, pikiran, dan tenaga saya terlalu mahal untuk digadaikan karena terbawa suasana selepas menyaksikan drama telenovela.
Tidak, bagi saya menceritakan ini bukanlah potret kesombongan, melainkan penderitaan. Penderitaan yang saya pilih adalah ketiadaan cinta. Penderitaan itu pula yang melonggarkan waktu, pikiran, dan tenaga saya untuk mengalahkan para pecinta dalam urusan menikmati hidup.
Memang ada beberapa dari mereka yang masih lancar berfoya-foya sambil kerasukan cinta. Tapi cobalah ditelisik chat pribadinya di grup WhatsApp keluarga, kelicikan alasannya untuk terus menggerogoti harta orangtua dengan dalih segala macam keperluan iuran pendidikan tak bisa ditolelir oleh prinsip saya yang sudah sejak di sekolah menengah urusan perutnya menolak ditanggung oleh orangtua. Tapi cerita ini bukan ajang menghakimi mana cara hidup yang lebih mulia. Saya lebih senang memberinya label, cara untuk menjadi mahasiswa mandiri yang kaya raya.
***
Semua dimulai ketika pada suatu malam yang dingin, saat jam di dinding menunjukkan pukul tiga.
Saya terbangun ketika mendengar notif pesan masuk pada gawai dari Ibu di kampung halaman. Isinya adalah resep masakan ayam bakar khas rumahan. Saya bergegas memulihkan tenaga sambil mencari secarik kertas kosong yang terselip pada salah satu tumpukan buku di kamar.
Saya menghitung harga dengan perkiraan berdasarkan pengalaman saya berbelanja di pasar ketika rutin memasak untuk sahur di bulan ramadhan. Saya kalkulasikan harga untuk bahan-bahan pada resep tersebut agar dapat diolah menjadi tujuh ratus porsi. Selesai mendapati kisaran nominal perkiraan, catatan tersebut saya serahkan kepada seorang teman sekaligus tangan kanan saya dalam urusan ayam bakar ini.
“Harus jadi sepuluh juta, terima bersih,” kata saya dengan segenap keyakinan. “Bagaimanapun caranya!”
“Gila kau,” rungut teman saya yang sering gagal percaya pada dirinya sendiri itu. “Ayam bakar bisa berubah jadi ayam kecap kalau begini ceritanya.”
“Mau jadi ayam gosong pun aku tak peduli. Tujuh juta untungnya nanti kita bagi berdua. Lagipula, kau seperti takut kita bakal kehilangan pesanan saja. Aku berani bertaruh, kertas resep berikutnya sedang menunggu jarak dua minggu dari hari ini.”
Sebagai mahasiswa semester akhir, saya tega-tega saja menyuguhkan ayam yang rasanya hambar kepada mahasiswa baru yang lucu-lucu ketika tiba hari ospek nanti. Lagipula, mereka harusnya diajarkan rasa lapar, karena pada hari-hari berikutnya menu nasi pakai sayur adalah makan siang paling mewah yang sanggup mereka dapatkan di warung makan kumuh seberang kampus.
Ayam bakar pada hari pertama hanya akan menipu mereka dari kenyataan yang menanti perut-perut mungil mereka. Kenaikkan 20 persen iuran semester baru saja diketok palu di meja Pimpinan Fakultas. Sementara berkas pengajuan tunjangan pendidikan baru saja masuk kantong sampah di belakang gedung direksi perusahaan tempat orangtua mereka bekerja.
Pesanan tujuh ratus porsi ayam bakar pada hari itu tidaklah jatuh dari langit. Pesanan ini merupakan hasil kesepakatan percakapan siang hari di warung kopi enam bulan sebelumnya. Bagaimana hukum sebab-akibat ini dapat terlaksana, hanya mahasiswa semester empat belas yang dapat menguraikannya.
***
Kala itu matahari sudah terbenam ketika saya selesai mencatat nama-nama yang mesti dihubungi selama satu minggu ke depan. Sambil menyeruput kopi yang mulai nampak ampasnya, saya perhatikan kembali daftar nama pada secarik kertas itu, belasan urutan paling awal adalah dosen muda yang menggantungkan harapannya kepada murah tangan dari Pimpinan Fakultas terpilih nantinya agar segera diangkat menjadi dosen tetap. Mudah saja membuainya, pikirku, sebagai pentolan organisasi mahasiswa yang enam periode berturut-turut berhasil memenangkan calonnya dalam kontestasi ajang pemilihan Ketua BEM di Fakultas.
Sama halnya seperti kepada mahasiswa baru, beasiswa dan posisi penting di salah satu lembaga otonom kampus adalah barang jualan paling menggiurkan kalau bayarannya cukup dengan satu tancapan paku pada kertas. Dosen muda butuh segera direkomendasikan untuk menambah gelarnya dengan biaya yang dianggarkan oleh kampus dengan tandatangan pimpinan Fakultas, agar dapat lolos syarat administratif untuk menjadi dosen tetap.
Baca juga:
Tandatangan itulah yang sakral hukumnya di institusi berpendidikan. Sementara untuk mendapatkan tunjangan lebih dari upah lelah perbulan yang serba kurang bagi keluarga kecilnya, tunjangan hasil kerja paruh waktu jika ditempatkan pada salah satu pusat studi penelitian di kampus, menjadi juru selamat penyeimbang defisit neraca keuangannya.
Dosen muda, nilainya satu suara.
Lanjut kepada deretan nama di bawahnya, staff dan pegawai Fakultas. Setengah dari nama itu sudah tidak asing di telinga. Hubungan antara saya dengannya terjalin lewat selipan amplop di dalam map ketika saya hendak menempuh jalan pintas agar dampak kemalasan saya mengikuti rumitnya sistem perkuliahan tidak sampai membuat status mahasiswa pada tanda pengenal saya terhapus. Kini berarti tinggal kemampuan saya memberikan siasat guna memunculkan harapan kepada nama sisanya bahwa mereka tak lama lagi akan menggantikan posisi nama-nama yang sudah tidak asing tadi. Staff dan pegawai, nilainya satu suara.
Kini tinggal beberapa daftar yang bukan nama orang. Baiknya saya ceritakan lewat kejadian pada hari-hari menjelang pemilihan.
Lewat seminggu dari perkiraan waktu aman saya untuk mengamankan suara, hitung-hitungan saya menunjukkan calon yang hendak saya amankan ketinggalan lima suara. Sebenarnya, dari daftar nama sebelumnya, target saya untuk mengamankan paling tidak setengah plus satu suara sudah tercapai. Bahkan plus lima, kalau mereka menepati komitmennya pada hari pemilihan. Tapi yang gawat adalah perebutan suara yang tidak dapat saya pengaruhi, yaitu, suara dari dosen tetap dan Guru Besar.
Dosen tetap, meski tidak dapat dipengaruhi karena tidak ada yang dapat dijanjikan pada mereka yang tidak membutuhkan akrobatik pertolongan tunjangan tambahan dari pimpinan fakultas, hanya memiliki satu suara. Tidak terlalu berpengaruh pada hasil nantinya. Yang bahaya adalah para Guru Besar, yang pakunya dihitung lima suara. Guru besar memiliki kecenderungannya masing-masing dalam memilih. Kecenderungan ini bersifat prinsipil, mulai dari perbedaan pandangan akademis, sampai pada perseteruan menyangkut pengelolaan pusat studi penelitian pada masa silam. Pada urusan yang belakangan ini, calon saya sering cari gara-gara. Ia defisit paling tidak selisih dua Guru Besar dari lawannya.
Baru satu ketukan pada pintu sekretariat lembaga pers mahasiswa, saya langsung dipersilakan masuk oleh salah seorang yang anggota yang tidak saya kenal.
Hm, sepertinya pengurus baru.
“Siap perintah, Senior! ketuanya langsung berdiri tegap seperti menghadap bendera ketika upacara Senin pagi. “Lama tak jumpa.”
“Saya lihat Pers di Fakultas ini makin produktif semenjak diketuai dirimu.”
“Saya tentu tak akan melupakan jasa Senior yang rela jauh-jauh datang ke rapat pemilihan waktu itu.”
“Itu cara balas budi yang baik. Kau memang harus banyak-banyak menghitung jasa senior agar tidak celaka.”
Dari percakapan pembuka, satu suara aman. Tinggal saya dengarkan basa-basi soal pencapaian lembaga yang dipimpin olehnya itu, yang kadang diselingi sindiran tentang mepetnya dana yang dicairkan dari Fakultas setiap kali ia mengajukan proposal anggaran untuk kegiatan lembaganya. Mata kail disambar ikan.
Ternyata tak sia-sia kedatangan misterius saya sebagai peserta peninjau setiap pemilihan ketua lembaga otonom mahasiswa. Dari sepuluh suara, lima sudah di tangan. Empat lembaga sisanya adalah lembaga yang secara tidak langsung dikuasai oleh organisasi mahasiswa yang sudah enam periode pemilihan, berturut-turut calon yang merka ajukan mental. Satu lembaga sisanya, boleh dibilang netral, maklum, lembaga tersebut bergerak di bidang kajian keagamaan. Setiap mahasiswa yang aktif di lembaga tersebut biasanya hanya mengucap istighfar dengan kalimat penolakan yang halus setiap diajak bicara soal pemungutan suara.
Baiklah, satu ketukan terakhir akan cukup untuk kemenangan si calon. Satu ketukan lagi, bila pintu membuka, saya akan segera menyiapkan proposal untuk pengajuan tender katering bagi setiap acara kampus. Tender adalah siasat agar cara saya menambah saldo di rekening terlihat fair dan berkelas.
Bagi pengusaha katering lain, proposal akan disiapkan dengan perhitungan dan daya pikat terbaik ketika pengajuan tender yang nantinya dibuka oleh Pimpinan Fakultas terpilih. Ini berbeda dengan katering saya, proposal sudah disiapkan ketika calon yang saya dukung terpilih sebagai Pimpinan Fakultas. Perhitungannya cukup soal apa yang harus saya lakukan untuk pemenangan dan berapa nominal yang dapat masuk ke kantong saya, tentu saja melalui tender-tender berkelanjutan. Urusan daya pikat menu makan dan bla bla bla itu, hanya dipikirkan oleh mereka yang menganggap tender sebagai persaingan bisnis.
Hanya mahasiswa semester empat belas yang tinggal di rumah sewa ukuran tiga kali lima di sebelah rel keretalah yang tahu rumus sederhana itu.
Selama empat belas semester, saya hidup untuk pendekatan persuasif semacam ini. Mengetuk satu pintu ke pintu lain. Melihat bayangan flannel dengan warna yang itu-itu saja, meski telah lusuh, yang berada di dalam ruangan tentu sudah hapal siapa yang akan masuk. Bahkan sudah paham maksud tujuannya. Berdasarkan pengalaman saya, pada pintu inilah ketukan pamungkasnya berada. Ketukan pintu terakhir yang tidak boleh salah alamat. Orang-orang di balik pintu ini memang akan sesegera mungkin menolak, menentang, dan akan mengajak saya pada perdebatan yang menguras waktu, pikiran, dan ludah.
Setelah ketukan ketiga, pintu yang tampak lebih angker dari biasanya itu terbuka.
“Wah, kita kedatangan makelar suara dari kubu sebelah. Setelah enam periode, ke sini mau cari suaka?”
Malang, 2018
Faris Naufal Ramadhan, Pegiat sastra di Komunitas Kalimetro Malang.
Rubrik ini diasuh oleh Muhammad Rois Rinaldi.