JAKARTA, biem.co — Aliansi Mahasiswa Pertanian Indonesia menilai pemerintah memiliki banyak drama dalam mengurusi pertanian di Indonesia. Banyak kalangan yang belum menyadari akan keutamaan Hari Tani Nasional. Tepatnya pada tanggal 24 September 1960, lahirlah Undang-undang Dasar Pokok Agraria (UUPA). Yang didasarkan terwujudnya tonggak perubahan kaum tani dan diangkatnya kesejahteraan kaum petani.
UUPA yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa. Penetapan HTN berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno tanggal 26 Agustus 1963 No 169/1963 menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas bangsa.
Aliansi Mahasiswa Pertanian Indonesia yang terdiri dari Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI), Forum Komunikasi dan Kerjasama Himpunan Mahasiswa Agronomi Indonesia (FKK HIMAGRI) dan Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI) menilai bahwa Reforma Agraria saat ini hanyalah menjadi janji pemerintah saja.
Reforma Agraria sudah dimasukkan dalam Rencana Pembagunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sejak awal pemerintahan Jokowi. Sebanyak 9 juta hektar tanah ditegaskan menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) oleh pemerintah. Luasan tersebut dibagi dalam 2 skema pemberian, yaitu skema legalisasi asset (4,1 juta hektar) dan skema redistribusi tanah (4,5 juta hektar).
Namun dalam pelaksanaannya, program legalisasi asset melalui skema pemberian tanah transmigrasi yang belum bersertifikat (0,6 juta hektar) dan PRONA (3,9 juta hektar) lebih mendominasi pelaksanaan reforma agraria pemerintah. Program redistribusi tanah melalui skema pemberian tanah bekas hak guna usaha dan tanah terlantar (0,4 juta hektar) relative berjalan ditempat. Sedangkan pelepasan kawasan hutan (4,1 juta hektar) hanya berlaku untuk semua kawasan di luar pulau jawa.
Data Ombudsman RI menunjukkan terdapat 450 konflik agraria di sepanjang tahun 2016 dengan luas area konflik mencpai 2.829.255 hektar. Ombudsman RI mencatat adanya dugaan mal-administrasi pertanahan yang mendasari dan turut menambah jumlah konflik tersebut. bentuk mal-administrasi yang paling sering terjadi selama tahun 2016 berupa penundaan berlanjut (32,6%), penyalah gunaan wewenang (17,7%), penyimpangan prosedur (16%), dan tidak memberikan pelayanan (15%), sedangkan konsorsium pembaruan agraria (KPA) juga mencatat terdapat 450 konflik agraria di tahun 2016. Dengan luas area konflik mencapai 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 kepala keluarga.
Selain itu, yang terjadi saat ini adalah kebijakan impor yang dirasa tidak relevan. Keputusan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam melakukan impor beras tertuang dalam peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 tahun 2018. Menteri Perdagangan yakni Enggartisato Lukita memastikan jumlah impor beras untuk kebutuhan tahun 2018 pada batas 2 juta ton.
“Impor beras 2 juta ton dilakukan secara bertahap, dengan dua kali kebijakan impor dengan masing-masing jumlah 500.000 ton dan satu kali impor 1 juta ton,” kata Enggar, saat ditemui usai rapat di Kantor Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian.
Menurut Mendag, Keputusan impor komoditas beras didasari adanya prediksi lonjakan harga di pasaran yang masih diatas harga eceran tertinggi (HET). Sementara kebutuhan beras di pasaran belum memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jumlah 900.000 ton stok beras tertanggal 12/1/2018 masih dinilai kurang sehingga diterbitkanya keputusan untuk impor.
Namun berbeda menurut Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman. Amran menilai stok beras aman hingga akhir tahun. Artinya ini semua menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Tidak adanya data relevan mengenai stok beras Nasional. Melihat banyaknya polemik yang ada, untuk itu, Aliansi Mahasiswa Pertanian Indonesia menuntut:
- Wujudkan Reforma Agraria yang berpihak kepada rakyat (selesasikan konflik agraria dan kriminalisasi petani);
- Copot Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian;
- Bentuk Badan Otoritas Pangan yang independen sehingga dapat mewujudkan kedaulatan pangan. (red)