biem.co — Saya mulai dari ketertarikan saya untuk mengulas, lebih tepatnya sedikit memberikan pandangan saya secara pribadi, terhadap film The Nun yang hingga saat ini, film tersebut masih diputar di bioskop.
Awalnya memang tidak terpikir untuk menulis apapun, pengalaman menonton film The Nun bagi saya hanya sekadar honeymoon singkat bersama suami setelah serentetan tugas-tugas kantor yang menumpuk dan minta perhatian lebih dibandingkan suami saya.
Namun, keesokan harinya setelah menonton, teman saya kemudian sedikit memberikan tanggapannya melalui blog pribadinya, yakni samsiralam.com. Ia menuliskan pengalaman teror oleh iblis—yang kita kenal sebagai Valak—yang terasa tak henti-hentinya dari scene pertama hingga terakhir.
Kemudian beberapa hari setelahnya, saya menemukan tulisan Iqbal pada kanal basabasi.com. Nampaknya ulasan yang Iqbal tulis cukup pedas dengan sebutan bahwa film The Nun hanya film low budget yang mengejar profit tinggi—ya, kira-kira seperti itulah ulasannya.
Pada akhirnya, penilaian merujuk kepada selera tertentu seseorang dan latar belakang si penonton. Saya juga tidak tahu, tulisan mengenai ulasan film The Nun yang saya tulis ini menjadi tulisan yang keberapa dari himpunan orang-orang yang menuliskan hal serupa. Saya hanya merasa tertantang dan gatal saja ingin kemudian bersuara juga soal penilaian film ini.
Secara pribadi, sebagai seseorang yang sebetulnya tidak brani-brani amat untuk nonton film horor, saya merasa sangat senang, “Seramnya dapat, terornya juga dapat.” Bisa dikatakan paket komplit. Tetapi kemudian, kecurigaan saya atas intrik di balik pembuatan film inipun muncul. Siapapun yang menonton The Nun, rasanya akan sepakat bahwa nuansa Kristen sangat kental dari adegan pertama hingga adegan terakhir.
Saya merasa, ada sisipan dakwah dan kepercayaan orang Kristen yang dibagikan secara gamblang kepada penonton. Dari mulai latar cerita, tokoh utama, hingga iblis yang kemudian hancur lebur karena darah Tuhan Jesus. Saya tidak bersikap skeptis karena sedari awal sudah saya katakan, menonton film The Nun saat itu hanya sebagai Q-time yang saya rencanakan beberapa hari sebelumnya.
Lebih jelasnya, dalam film tersebut tokoh perempuan utama merupakan biarawati, yakni Suster Irene, sementara tokoh pembantu laki-laki merupakan pendeta. Tak hanya itu, sepanjang film tersebut properti, pakaian yang digunakan, hingga doa-doa yang dipanjatkan sangat jelas dan gamblang merujuk pada suatu dakwah keagaaman Kristiani.
Bahkan, di scene tertentu anda juga bisa mendengarkan dengan jelas isi dari doa-doa yang dipanjatkan oleh sejumlah biarawati secara bergantian, mungkin jika kita menonton film The Nun lebih dari satu kali bisa juga hafal doa-doa tersebut.
Pada adegan hampir akhir, ternyata misteri juga terpecahkan dengan “Maria akan menunjukkan jalan,” di mana sebuah patung Maria yang sudah tua telunjuknya bersinar dan menunjukkan arah jalan untuk mengalahkan iblis.
Betapa religiusnya film ini, bukan? Terakhir, sang iblis dari neraka juga dikalahkan dengan darah Tuhan Jesus. The Nun bagi saya adalah film yang sangat religius, terlepas dari adegan dan teror seram di dalamnya. (red)
Direview oleh Dhea Lintang Wengi, Script Writer di Banten Raya TV, pecinta kopi dan malam hari, bergiat di Kubah Budaya.