biem.co — Kasus Meiliana yang dianggap sebagai kasus penistaan agama menarik banyak perhatian. Pasalnya, Meiliana divonis 18 penjara lantaran mengeluhkan volume suara adzan yang terlalu keras dari masjid di lingkungan rumahnya di Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor N, menilai bahwa bentuk keluhan yang dilakukan Meiliana adalah hal yang wajar. Ia justru mengkritisi oknum-oknum yang memprovokasi dan menyebarkan berita kebencian terhadap masalah tersebut.
“Apa yang dikomplain itu, kan, seharusnya bisa didialogkan dengan terbuka, dengan baik. Tetapi kemudian muncul provokasi-provokasi, hoax, dan fake news, berita bohong yang memberitakan ibu itu menyerang, ibu itu meminta supaya menghilangkan suara adzan, dan akhirnya orang-orang datang ke rumahnya kemudian adu mulut. Tapi akibatnya terjadi pembakaran, kerusuhan, dan sebagainya,” ujar Bonar, dalam kesempatan wawancara bersama CNN Indonesia yang disiarkan di Trans TV, Kamis (23/08).
Menurutnya, dari duduk perkara yang terjadi, publik seharusnya bisa melihat siapa sesungguhnya pihak yang harus dikriminalkan. Dinilai Bonar, dalam hal ini, Meiliana tidak bisa dikategorikan sebagai penista agama.
“Saya pikir clear keterangan saksi ahli yang dinyatakan di pengadilan. Kita juga bisa mengetahui pendapat-pendapat lain tentang masalah itu. Jadi apa yang menimpa Ibu Meiliana ini sebuah bentuk ketidakadilan. Dia dijadikan kambing hitam, sebagai pencetus sebuah kerusuhan. Tapi sesungguhnya yang harus dilakukan adalah mencari siapa orang yang melakukan provokasi, menyebarkan kebencian dan berita bohong,” tegasnya.
Tak tanggung-tanggung, Bonar bahkan menyebut bahwa apa yang menimpa Meiliana bukanlah perkara hukum. Akan tetapi, katanya, ini hanya soal aparat yang berada di bawah tekanan massa.
“Pihak penegak hukum juga berkali-kali dalam kasus penodaan agama selalu tunduk kepada tekanan massa. Jadi ini yang kami cemaskan dan kritisi sejak lama, bahwa UU penodaan agama ini selalu dijadikan dalih, dipakai alat kelompok-kelompok tertentu untuk kemudian didiskriminasi dan dilakukan tekanan pada kelompok-kelompok yang lemah,” sambungnya.
Saat ditanya perihal vonis hukuman penjaran terhadap perusak Vihara yang jauh lebih ringan dibandingkan Meiliana, Bonar tak bisa berkomentar lantaran menurutnya perkara berat dan ringannya hukuman memang tergantung pada keputusan hakim.
Akan tetapi, ia tetap dengan tegas menyatakan bahwa kasus yang dialami Meiliana tidak patut untuk diproses hukum.
“Karena apa yang dia lakukan hanyalah komplain seorang ibu yang wajar. Seharusnya aparat dan hukum sejak awal harus lebih mendeteksi siapa sebenarnya pelaku utamanya. Nah, provokator sesungguhnya tidak pernah bisa dicari,” kata Bonar.
Berkaca soal toleransi, baginya masyarakat harus benar-benar memahami makna di balik kata tersebut. Yang mana toleransi artinya bisa berempati kepada pihak yang berbeda dan melihat orang yang berbeda itu setara dengan diri sendiri.
“Ini prinsip-prinsip dasar dalam menjaga kehidupan beragama. Kalau sejak awal kita sudah menilai bahkan menganggap orang yang berbeda keyakinan itu adalah lebih buruk dari kita, ya, ketegangan akan selalu ada. Dan kita harus tahu, bahwa Indonesia ini kan masyarakat plural, masyarakat majemuk. Jadi hal-hal semacam ini harus ditanamkan oleh pemuka agama dan tokoh masyarakat. Dan terlebih lagi adalah aparat pemerintah. Jangan menggunakan hukum hanya untuk melayani massa,” pungkasnya. (HH)