biem.co — Perhelatan politik lima tahunan ini memang sering menghadirkan “serba-serbi” tersendiri. Persaingan Pilpres kali ini lebih ketat, dikarenakan Jowoki dan Prabowo kembali bertarung. Yang membedakan ialah sosok Cawapres dari masing-masing kandidat. Jokowi memilih Kiyai Ma’ruf Amin, sedangkan Prabowo memilih Sandiaga Uno.
Jokowi sebagai petahana meminang Kiyai Ma’ruf Amin tentu banyak yang terkejut. Tetapi jika dilirik dari perjalanan pemerintahan Jokowi. Jokowi sering menggandeng NU (Nahdhlatul Ulama) dalam agenda-agenda keagamaan. Maka tidak dipungkiri, Kiyai Ma’ruf Amin yang juga tokoh NU sekaligus Ketua MUI (Majlis Ulama Indonesia) Pusat dalam beberapa momen terlihat sering bermasamaan. Di sanalah chemistry keduanya terjalin sangat erat.
Suatu hal yang sangat mengejutkan masyarakat yaitu dimumkannya Kiyai Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi, padalah wacana sebelumnya santer nama Mahfud MD yang akan mendampingi Jokowi. Menurut Mahfud MD keputusan itu diambil secara mendadak. Yang pada akhirnya Mahfud MD angkat bicara terkait masalah tersebut.
Dalam acara ILC (Indonesia Lawters Club) Selasa malam kemarin membawakan tema menarik. “Antara Mahar Politik Dan PHP”. Di dalam forum, Mahfud MD blak-blakan bagaimana kronologi dirinya di-PHP Jokowi. Ia menjelaskan bahwa, “NU akan keluar dari Jokowi kalau yang diangkat bukan dari NU sebagai Cawapres dan yang menyuruh itu Kiyai Ma’ruf Amin”.
Selain itu, banyak fakta-fakta yang diungkapkan oleh Mahfud MD mengenai proses keputusan Cawapres di antara NU dan Partai Koalisi. Ungkapan Mahfud MD sampai detik ini tak ada satupun yang membantah, berarti artinya semua yang dikatakan oleh Mahfud MD itu benar dan tidak mengada-ada. Setelah malam itu, penuh kontroversi, di berbagai media mainstream, khususnya di media sosial. Karena Mahfud MD dianggap membeberkan hal privasi satu kelompok, namun tidak sedikit juga yang mendukung Mahfud MD.
Tentu publik menganggap ini sudah terang benderang bagaimana kejadian pembatalan Mahfud MD termasuk di dalamnya skema terpilihnya Kiyai Ma’ruf Amin sebagai Cawapres Jokowi. Untungnya Mahfud MD berusaha berjiwa besar, menerima semua hasil realitas politik yang memang dinamis.
Bagaimanapun NU terbawa dalam “permainan” politik praktis, suka atau tidak saat ini NU harus siap menerima konsekuensinya. NU merupakan Ormas Islam terbesar di Indonesia, tentu masyarakat berharap agar organisasi ini tidak dinodai oleh kepentingan politik. Sangat disayangkan NU hingga saat ini yang konsisten mengawal NKRI, justru terbelit persoalan yang berkaitan dengan kekuasaan. Tahun ini ialah tahun politik praktis, karenanya masyarakat sulit untuk percaya bila NU sekarang tidak terlibat dalam pemenangan Kiyai Ma’ruf Amin, yang secara jelas struktural beliau adalah Rais ‘Aam PBNU.
Akhirnya NU dihadapkan pada posisi yang membingungkan dirinya sendiri. Posisi strategis NU hari ini, membawanya pada benturan dengan politik praktis. Jika tidak pandai menyikapi dinamika politik, NU bisa terjebak dalam permainan kekuasaan. Jika ini benar, NU akan menjelma tidak hanya jadi simpatisan partai politik melainkan betul-betul berperan seperti partai politik kembali.
Urusan politik praktis serahkan pada partai-partai yang menjadi afiliasi politik warga Nahdiyyin. Tidak elok bila NU terlibat secara langsung dalam urusan politik, tak usah sampai mewajibkan, biarkan jamaah NU menilai dan memberikan pilihanya sesuai dengan keinginannya masing-masing. Dari acara ILC tersebut, publik mulai menerka bahkan sudah bisa menyimpulkan apa dan bagaimana seharusnya meyikapi politik praktis belakangan ini.
Posisi NU memang sangat sentral, selain peran syiar Islam, juga punya kader dan simpatisan yang jumlahnya juta-an, jadi jelas memiliki bobot politik yang tinggi dan sangat diperhitungkan. Asumsi demikian kurang sejalan dengan kenyataan bahwa NU lahir dengan memegang khittah sebagai jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengemban Mazhab Ahlul Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah (ASWAJA).
Maka dari itu untuk menghindari gesekan politik antar ormas islam, lebih baik NU tak ikut campr sama sekali urusan politik paktis, supaya NU jadi rule model Ormas Modern yang selalu bersikap bijak dalam situasi dan kondisi apapun.
Sejalan dengan pendapat Ketua Umum Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir. “Sebenarnya semua ormas posisinya harus di situ (netral). Sebab, kalau ormas berpolitik kayak parpol, nanti lalu lintas dunia ‘persilatan’ politik itu bisa kacau-balau. Jadi biarkan parpol yang urusan politik praktisnya.Kita menjalankan politik moral kebangsaan,” di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), Minggu (12/8/2018). Pernyataan Ketua PP Muhammadiyah tersebut disampaikan secara normatif dan tidak merujuk pada ormas tertentu.
Ormas sudah sepantasnya tidak terlibat dalam urusan politik praktis, dalam situasi Pemilu serentak jauh lebih penting menjadi penengah masyarakat. Peran Ormas dialihkan untuk memberikan pendidikan politik yang sehat, transparan dan demokratis. Dalam konteks ini, politik NU lazimnya lebih fokus pada ikhtiar keumatan dalam mewujudkan maslahat bagi semua masyarakat. Oleh karenanya, hanya dengan orientasi kemaslahatan itulah persatuan dan kemajuan bangsa bisa terwujud. (*)
Nakisul Ulum, adalah Wakil Ketua Alumni Ponpes Al-Mubarok 2017-2019.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.